Berita Nasional

Muhammadiyah dan MUI Terseret Isu Penggulingan Gibran, Anwar Abbas: Itu Bukan Urusan Kami

Editor: Valentino Verry
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

BANTAH TERLIBAT - Wakil Ketua MUI Anwar Abbas membantah bahwa MUI dan Muhammadiyah mendukung penggulingan Wapres Gibran Rakabuming Raka. Menurutnya, kedua organisasi tersebut tidak mengurusi politik praktis.

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Saat ini kursi Wapres Gibran Rakabuming Raka sedang digoyang oleh sejumlah pensiunan atau purnawirawan jenderal TNI.

Para pensiunan jenderal TNI menilai Gibran tidak kompeten jika menggantikan Presiden Prabowo Subianto.

Bahkan, mantan Komandan Korps Marinir (Dankormar), Letjen TNI Mar (Purn) Suharto, mengatakan wacana penggulingan Gibran tersebut didukung Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Terkait hal ini, Ketua Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah sekaligus Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas, bereaksi.

Baca juga: Presiden Prabowo Bertemu Try Sutrisno dan Purnawirawan TNI, Di Mana Posisi Gibran?

Menurut Anwar, itu tak benar, karena Muhammadiyah dan MUI tidak terjun dalam politik praktis.

Dia juga menegaskan terkait wacana pemakzulan Gibran bukan ranah dua organisasi besar Islam di Indonesia tersebut.

"Sehubungan dengan beredarnya berita bahwa MUI dan Muhammadiyah mendukung pemakzulan Saudara Gibran sebagai Wakil Presiden, maka perlu saya jelaskan bahwa MUI dan Muhammadiyah tidak berpolitik praktis," ucapnya dikutip dari Tribunnews.com.

"Masalah adanya desakan untuk memakzulkan wakil presiden itu jelas sudah masuk ke ranah politik praktis dan itu bukan merupakan urusan MUI dan Muhammadiyah," lanjut Anwar Abbas.

Baca juga: Prabowo Subianto Ingin Bertemu Purnawirawan TNI yang Desak Pencopotan Gibran Rakabuming Raka

Anwar menegaskan bahwa Muhammadiyah dan MUI hanya peduli agar pemerintah berbuat baik bagi bangsa dan kehidupan yang terbaik untuk rakyat Indonesia.

Dia mengatakan dua organisasi tersebut hanya ingin terciptanya keamanan dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia sesuai dengan yang diamanatkan dalam Pancasila dan konstitusi.

"Yang menjadi concern MUI dan Muhammadiyah adalah bagaimana pemerintah terutama Presiden dan Wakil Presiden bisa berbuat baik dan terbaik bagi bangsa dan negara ini," ucapnya.

"Sehingga rakyat bisa hidup dengan aman, tenteram, damai, sejahtera dan bahagia, serta bisa hidup dalam suasana yang berkeadilan dan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya serta ajaran agama seperti yang telah diamanatkan oleh Pancasila dan konstitusi," lanjutnya.

Baca juga: Suara Purnawirawan TNI Terpecah Soal Pemakzulan Gibran, Pengamat: Tidak Lagi Terikat Loyalitas

Sebelumnya, eks Komandan Korps Marinir (Dankormar), Letjen TNI Mar (Purn) Suharto, mengklaim telah memperoleh dukungan dari Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait delapan poin sikap dari Forum Purnawirawan TNI, termasuk pemakzulan terhadap Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden RI.

Dia mengungkapkan dukungan tersebut dilakukan setelah adanya pertemuan di salah satu tempat di Jakarta.

Bahkan, Suharto juga mengklaim pertemuan tersebut terjadi setelah pihaknya diundang secara khusus oleh Muhammadiyah dan MUI.

"Bahkan, saya diundang MUI dan Muhammadiyah. Bertemu dan mendukung Pak Harto (terkait delapan poin sikap Forum Purnawirawan TNI). (Dukungan perorangan atau organisasi?) Organisasi," katanya dikutip dari YouTube iNews, Rabu (7/5/2025).

"Jadi pada waktu itu kita bersurat kepada mereka. (Perwakilan Muhammadiyah dan MUI -red) 'oh pak nanti kita undang bertemu di sana, tapi kami mendukung delapan (sikap Forum Purnawirawan TNI)," sambung Suharto.

Suharto mengatakan, dalam pertemuan tersebut, dirinya sempat bertemu dengan Sekjen MUI, Amirsyah Tambunan.

"Tadi dengan sekjen-nya (MUI), nama belakangnya Tambunan bertemu," jelasnya.

Lebih lanjut, Suharto juga mengatakan adanya pertemuan di Yogyakarta pada Senin (12/5/2025) dengan purnawirawan TNI lainnya terkait penggalangan dukungan untuk usulan pemakzulan Gibran.

Bahkan, Suharto menyebut nantinya pertemuan di Yogyakarta itu akan turut dihadiri oleh mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU), Marsekal (Purn) TNI Hanafie Asnan.

"Nanti, tanggal 12, kami ke Yogya atau sesudahnya dengan tim saya (Forum Purnawirawan TNI) karena itu mereka mendukung (pemakzulan Gibran)," katanya.

"Di sana, kami bertemu dengan unsur-unsur purnawirawan ABRI, termasuk di sana minta mundur karena adanya dukungan lebih besar lagi. Kami tadi berhubungan dengan Marsekal Hanafie Asnan," jelasnya.

Suharto juga mengklaim adanya dukungan di luar purnawirawan TNI terkait pemakzulan Gibran seperti pengajar dan masyarakat sipil.

"Ada dukungan juga dari dosen atau pengajar dan non-dosen," tegasnya.

Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, menganggap pemakzulan Gibran akan sangat sulit secara politik.

Bukan tanpa alasan Mahfud berkata demikian. Sebab, kata dia, koalisi Prabowo Subianto-Gibran saat ini sangat besar, bahkan sudah mencapai 81 persen.

Sementara, jika ingin memakzulkan presiden dan/atau wakil presiden, harus dimulai dulu dengan sidang pleno DPR, di mana setidaknya harus dihadiri 2/3 anggota.

Apabila melihat dominasi kekuatan politik koalisi Prabowo-Gibran tersebut, menurut Mahfud, sidang pleno itu sangat sulit terwujud.

"Usul pemakzulan Gibran itu secara teoritis ketatanegaraan bisa, tapi secara politik akan sulit," ucapnya.

"Enggak mungkin (bisa dilakukan pemakzulan) secara politik. Karena sekali lagi koalisinya (Prabowo-Gibran) sudah 81 (persen)," kata Mahfud. 

Mahfud pun menjelaskan, secara ketatanegaraan, terdapat enam hal yang membuat presiden dan/atau wakil presiden dapat dimakzulkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 7A Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Dalam pasal tersebut berbunyi: Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Meski nantinya DPR dapat menggelar sidang pleno tersebut, Mahfud menjelaskan prosesnya masih panjang lagi di Mahkamah Konstitusi (MK). 

Setelah dari MK, lanjut dia, dikembalikan lagi ke DPR untuk kemudian diusulkan ke MPR.

Maka dari itu, Mahfud menyebut pemakzulan Gibran itu sangat tidak mungkin secara politik.

"Jadi secara hukum mungkin. Secara politik akan sangat tidak mungkin," ujar Mahfud.

Kendati demikian, Mahfud menilai tidak ada yang hitam putih dalam politik.

Dia lantas menyinggung peristiwa sejarah yang berkaitan dengan pemberhentian presiden sebelumnya, seperti Soekarno, Soeharto, hingga Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

"Tapi, politik itu tidak hitam putih. Di dalam praktik, pemberhentian presiden itu tidak pernah ikut aturan, tidak pernah ikut konstitusi," ungkap Mahfud.

"Itu kan rekayasa konstitusional agar seolah-olah benar dan itu sebenarnya kuncinya adalah politik," ujarnya.


Baca berita WartaKotalive.com lainnya di Google News 

Ikuti saluran WartaKotaLive.Com di WhatsApp: https://www.whatsapp.com/channel/0029VaYZ6CQFsn0dfcPLvk09

Berita Terkini