MR mengaku tidak diizinkan mendokumentasikan kelahiran bayinya.
"Ketika lahir terus saya azan, terus pertama saya mau minta foto ke susternya itu, tapi tidak diizinkan. Terus saya paksa, 'Ini anak saya, saya mau foto, mau buat dokumentasi ke keluarga'. Terus saya foto itu cepet, saya fotonya sama video," kata MR.
Usai mengadzani anaknya, MR melihat bayi itu langsung dibawa masuk ke ruangan tanpa ada penjelasan mengenai segala sesuatu terkait kondisi bayi.
"Enggak diperlihatkan lagi jenis kelaminnya apa, enggak dibuka bedongnya, identitasnya ada apa enggak gitu maksudnya," ujar MR.
MR sempat bertanya kepada teman-temannya mengenai prosedur setelah bayi dilahirkan.
Baca juga: Kasus Bayi Tertukar, RS Sentosa Bogor Lempar Tanggung Jawab pada Perawat, Orangtua Siap Gugat
Mereka menjelaskan bahwa orangtua seharusnya dipertemukan terlebih dahulu dengan anak untuk melihat kondisi bayi.
"Dilihatin dulu ke bapaknya sama emaknya jenis kelaminnya apa, cowok apa cewek anaknya, ada kelainan apa enggak, kayak kakinya lengkap, jari-jarinya, tangannya apa gitu. Nah, kalau ini enggak," kata dia.
Sore harinya (16/12/2024), MR diberitahu pihak rumah sakit bahwa bayinya dalam kondisi kritis.
Ia diminta menandatangani surat tanpa sempat membacanya.
"Katanya, 'Pak tanda tangan dulu aja pak'. Ini surat izin untuk memasang oksigen," ucap dia.
Pada 17 September 2024, MR mendapat kabar bayinya meninggal dunia.
Jenazah bayi diserahkan dalam kondisi sudah dibungkus kain kafan, sehingga MR dan istrinya tidak sempat melihat tubuh anaknya.
Keesokan harinya, keluarga memutuskan membongkar makam bayi di TPU Cilincing karena FS belum pernah melihat anaknya.
MR meminta izin kepada pihak TPU untuk membongkar makam, pihak TPU mengizinkan dengan syarat tidak boleh dipublikasikan atau dokumentasi.
Saat makam dibongkar, MR mengaku kaget melihat jasad bayi yang berbeda dari yang di azanin.