Dijelaskannya, kemudian muncul langkah-langkah dari seorang yang menjadi induk dari dinasti politik tersebut, untuk melakukan pemenangan atas dinastinya sendiri.
“Itu yang tidak boleh, dan itu sebenarnya jorok kalau dilakukan oleh pemerintah sebesar negara kesatuan Republik Indonesia ini,” paparnya.
Pada sidang uji materil UU Pilkada 2015 silam, yakni Pasal 7 huruf r yang terkait dengan syarat yang melarang bakal calon kepala daerah memiliki hubungan darah/perkawinan dengan petahana.
Menurut MK, pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28 i ayat (2) UUD 1945. Selain itu, MK melihat Pasal 7 huruf r juga memicu rumusan norma baru yang tidak dapat digunakan karena tidak memiliki kepastian hukum.
Baca juga: Pasal Tembakau di RPP Kesehatan, Mahfud Sebut Perlindungan Tembakau adalah Pengakuan Masyarakat Adat
MK menyadari, dilegalkannya seseorang yang memiliki hubungan darah/perkawinan dengan kepala daerah dapat membuat politik dinasti. Namun, hal itu tidak dapat dijadikan alasan. Lantaran ada UUD yang mengatur supaya tidak terjadi diskriminasi, apabila dipaksakan justru terjadi inkonsistusional.
Dalam pasal 7 dijelaskan cara menjadi pemimpin daerah itu seseorang yang mempunyai hubungan darah atau konflik kepentingan dengan petahana tidak diperbolehkan maju menjadi pemimpin daerah.
Ada pun yang dimaksud 'tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana' adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.
Sebagian Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mahfud MD Jamin tidak Bisa Disetir soal Kebijakan Hukum Jika Terpilih"