WARTAKOTALIVE.COM -- Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 3 Mahfud MD berjanji dan memastikan dirinya tidak bakal bisa didikte dalam hal penegakan hukum jika terpilih pada pemilihan presiden (Pilpres) 2024.
"Jadi apapun prosedurnya, kalau prinsipnya bersama untuk menegakkan konstitusi, maka tidak ada yang bisa mendikte Mahfud MD," kata Mahfud dalam kegiatan "Tabrak Prof!" di Kota Bandar Lampung, Lampung, Kamis (25/1/2024), seperti dikutip dari siaran streaming di kanal YouTube.
Mahfud juga menjawab pertanyaan dari peserta terkait proses pemilihan anggota kabinet jika dia dan capres Ganjar Pranowo terpilih.
Menurut peserta, meskipun Mahfud mempunyai pengalaman duduk pada jabatan publik di legislatif, eksekutif, dan yudikatif, tetapi independensinya dan Ganjar diragukan dalam membentuk kabinet yang terbebas dari kepentingan partai koalisi pengusung yang dipimpin Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Menanggapi pertanyaan itu, Mahfud menyebut partai koalisi pendukungnya dan Ganjar telah menyepakati tidak ada menteri yang dijadikan "Petugas Partai."
"Kesepakatan kami dengan partai-partai koalisi, tidak boleh ada yang saling menugaskan, tetapi kesepakatannya itu menegakkan hukum dan konstitusi sesuai dengan porsinya masing-masing," ucap Mahfud.
Baca juga: Istana Buka Suara Soal Isu Surat Pengunduran Diri Mahfud MD di Hari Jumat
Menurut Mahfud, tugas partai politik adalah menegakkan hukum dan konstitusi.
"Sehingga partai politik mengirim orang-orangnya ke DPR agar bisa menegakkan hukum dan seluruh perundang-undangan," ujar Mahfud.
Dinasti Politik
Mahfud MD juga mengatakan bahwa fenomena dinasti politik sebenarnya hampir terjadi di semua negara.
Hanya saja yang menjadi masalah adalah ketika untuk sebuah kebutuhan dinasti politik akhirnya merekayasa hukum yang berlaku.
Hal itu dikatakan Mahfud saat menjawab pertanyaan mengenai Mahkamah Konstitusi (MK) yang pernah membatalkan tentang pasal dinasti politik saat gugatan atas Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota atau yang dikenal dengan UU Pilkada, pada acara “Tabrak Prof!” di Bento Kopi, Kota Bandar Lampung, Lampung, Kamis (25/1/2024) malam.
“Yang jadi masalah kalau untuk memenuhi kebutuhan dinasti politik itu, melakukan rekayasa hukum terhadap hukum yang berlaku, sehingga yang tidak boleh dilakukan, lalu dilakukan menggunakan pendekatan-pendekatan yang kasar,” katanya.
Baca juga: Mahfud MD Ingin Mundur dari Menkopolhukam, Dian Farizka: Sudah Seharusnya
Mahfud menambahkan, saat uji materil UU Pilkada, dirinya sudah tidak menjabat sebagai Ketua MK.
Saat itu Ketua MK dijabat oleh Patrialis Akbar. Adakalanya, lanjut dia, dinasti politik itu tidak lagi menjadi objektif untuk kepentingan rakyat.
Dijelaskannya, kemudian muncul langkah-langkah dari seorang yang menjadi induk dari dinasti politik tersebut, untuk melakukan pemenangan atas dinastinya sendiri.
“Itu yang tidak boleh, dan itu sebenarnya jorok kalau dilakukan oleh pemerintah sebesar negara kesatuan Republik Indonesia ini,” paparnya.
Pada sidang uji materil UU Pilkada 2015 silam, yakni Pasal 7 huruf r yang terkait dengan syarat yang melarang bakal calon kepala daerah memiliki hubungan darah/perkawinan dengan petahana.
Menurut MK, pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28 i ayat (2) UUD 1945. Selain itu, MK melihat Pasal 7 huruf r juga memicu rumusan norma baru yang tidak dapat digunakan karena tidak memiliki kepastian hukum.
Baca juga: Pasal Tembakau di RPP Kesehatan, Mahfud Sebut Perlindungan Tembakau adalah Pengakuan Masyarakat Adat
MK menyadari, dilegalkannya seseorang yang memiliki hubungan darah/perkawinan dengan kepala daerah dapat membuat politik dinasti. Namun, hal itu tidak dapat dijadikan alasan. Lantaran ada UUD yang mengatur supaya tidak terjadi diskriminasi, apabila dipaksakan justru terjadi inkonsistusional.
Dalam pasal 7 dijelaskan cara menjadi pemimpin daerah itu seseorang yang mempunyai hubungan darah atau konflik kepentingan dengan petahana tidak diperbolehkan maju menjadi pemimpin daerah.
Ada pun yang dimaksud 'tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana' adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.
Sebagian Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mahfud MD Jamin tidak Bisa Disetir soal Kebijakan Hukum Jika Terpilih"