Bahkan, anak yang mencapai puncak trauma, bisa mengalami lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT) ke depannya.
Pasalnya, kata dia, ada kemungkinan sang anak takut menikah atau menjalani hubungan dengan orang lain.
"Banyak terjadi adalah dengan oral seks, anak dipaksa untuk melakukan oral seks kepada orang dewasa baik dari perempuan atau laki-laki," kata Novita.
"Pada perempuan apakah ada kemungkinan nanti dia bakalan takut menikah? oh sangat bisa. Dalam bentuk apapun, penetrasi ke lawan jenis dengan sesama jenis ataupun oral sex ini sangat bisa menjadikan juga LGBTQ, bisa juga terjadi Post Traumatic Stress Disorder," lanjut dia.
Dijelaskan Novita, PTSD merupakan kelainan yang membuat orang-orang yang menjadi korban pelecehan, ketakutan untuk mencari dukungan kepada orang lain.
Baik itu kepada orang tua dan orang-orang di sekitarnya.
Oleh karena itu, Novita memandang jika pelaku pelecehan seksual harus dihukum seberat-beratnya lantaran efeknya bisa berkepanjangan bahkan seumur hidup.
"Kalau menurut saya, hal ini akan terus terjadi kalau tidak ada sanksi atas hukum efek jera terhadap pelaku," kata Novita.
"Kalau sekarang maksimal hukuman 15 tahun, kemudian dipotong remisi dan lain sebagainya, bisa banding, bisa kasasi, bisa Mahkamah Agung, saya pikir ini akan terjadi. Jadi ini bagaimana?" lanjut dia.
Di samping itu, Novita juga mengarahkan agar para orang tua memberikan edukasi soal seks kepada anak-anaknya.
"Bahwa anak-anak sejak kecil harus tahu apa yang disebut dengan privasi badan. Terkait dengan apa yang ditutup badan, kemudian ditutupi oleh pakaian dalam, celana dalam, maksudnya diajarkan pakai pakaian dalam di bagian vagina dan penis dan juga di bagian belakang adalah anus," kata Novita.
"Itu (bagian) yang tidak boleh dipegang oleh siapapun kecuali dalam alasan medis. Kalau beranjak dewasa dan remaja ada payudara, ini ditutupi oleh bra. Itu juga menjadi bagian yang harus (dilindungi)," pungkasnya.
Baca berita Wartakotalive.com lainnya di Google News