Ketika Peristiwa 1965 meletus dan merembet ke berbagai daerah, istrinya di Tanah Air terbunuh karena dianggap simpatisan PKI.
Ayah Genong dan Kakak Genong, Kartina Kurdi, dibekuk aparat.
Ayah Genong adalah aktivis PKI yang punya kelompok kesenian ketoprak.
Sementara, Kartina Kurdi adalah Sekretaris Jenderal Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), onderbow PKI yang luas jaringannya di kalangan perempuan.
Setelah menyelesaikan pendidikan masternya, Genong menyusul teman-temannya ke Peking. Namun nasib rupanya kurang berpihak kepada Genong.
Keterbatasan informasi saat itu membuat Genong tidak tahu kalau RRT tengah dilanda revolusi kebudayaan.
Bersama eksil dari Indonesia lainnya, Genong diisolasi di daerah pedalaman dengan alasan pemerintah RRT ingin menjamin keselamatan tamu-tamu dari Indonesia.
Masa "isolasi" tersebut berlangsung lama, 8 tahun.
Kehidupan yang susah di RRT membuat Genong mulai berpikir untuk hengkang keluar dari Tiongkok.
Kembali ke tanah air bukan pilihan yang tepat.
Dari informasi yang didapat, Jerman Barat adalah surganya para pelarian politik.
Pemerintah Jerman Barat ketika itu (saat masih terpisah dengan Jerman Timur) sangat terbuka dan menjunjung tinggi penghormatan terhadap jaminan hak asasi manusia.
Setengah dari hidupnya, Genong Karsono harus hidup tanpa identitasnya di Jerman.
Mulai dari tukang cat, tukang kebun, pegawai pabrik kertas hingga pekerja pabrik pengolahan kopi pernah dilakoninya untuk bertahan hidup.
Genong meninggal pada 2008. Sepanjang hidupnya, ia yang berkewarganegaraan Jerman, begitu merindukan kampung halamannya, Yogyakarta.