Jadilah mereka stateless alias tidak memiliki berkewarganegaraan.
Tunjangan biaya hidup pun dihentikan. Keluarga di tanah air diawasi oleh aparat.
Surat-surat yang mereka kirim kepada sanak saudara dan kerabat di tanah air disensor dan dirampas aparat.
Ada yang kembali dengan “selamat” ke tanah air setelah melalui screening ketat.
Yang tidak “bersih diri” seperti Soesilo Toer harus mendekam di penjara.
Soesilo dianggap "tidak bersih" karena bersaudara kandung dengan Pramoedya Ananta Toer.
Kajian keilmuan politik dan ekonomi yang dipelajari Soesilo di Uni Soviet, dianggap Orde Baru bisa mengganggu stabilitas dan keamanan saat itu.
Sudah galib di masa Soeharto berkuasa, dosa sebagai kaum “kiri” ditimpakan baik ke garis keturunan atas, bawah, samping kanan dan kiri.
Dari sejumlah tekanan politik itulah sejumlah WNI harus hidup luntang-lantung di negara orang maupun di negara sendiri.
Misalnya Soesilo Toer yang harus dipaksa hidup melarat usai pulang ke Indonesia.
Selain harus hidup di Nusakambangan, adik penulis populer Pramoedya Ananta Toer itu juga harus hidup melarat di Blora, Jawa Tengah.
Hingga akhir hayatnya, lulusan pascasarjana University Patrice Lumumba dan doktor dari Institut Plekhanov itu harus hidup melarat sebagai pemulung.
Pun tidak jauh berbeda dengan Genong Karsono.
Genong Karsono ialah aktivis Pemuda Rakyat, organisasi mantel atau onderbow Partai Komunis Indonesia (PKI).
Empat tahun sebelum Tragedi 1965 pecah, usai menyelesaikan sarjana ekonominya di Universitas Res Publica (kini Universitas Trisakti, Jakarta) Genong mendapat beasiswa pascasarjana di Uni Soviet. Istrinya tidak ikut pergi ke Soviet.