Berita Nasional

14 Tahun Wafatnya Soeharto: Jatuhnya Orba hingga Nostalgia lewat 'Piye Kabare, Penak Jamanku to?'

Editor: Feryanto Hadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Stiker yang memuat foto mantan presiden Soeharto (alm) yang diplesetkan.

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA-- Hampir 24 tahun tahun kejatuhan Orde Baru (Orba) di bawah pimpinan Presiden Soeharto.

Presiden Soeharto menyampaikan pidato pengunduran dirinya sebagai presiden pada 21 Mei 1998.

Pidato tersebut juga menjadi penanda berakhirnya era orde baru setelah rezim tersebut berkuasa selama 32 tahun.

Peristiwa pada Mei 1998 ditandai dengan jargon reformasi.

Mundurnya Soeharto ini merupakan puncak dari kerusuhan dan aksi protes di berbagai daerah dalam beberapa bulan terakhir.

Baca juga: 14 Tahun Wafatnya Soeharto, Mengenang Masa Kecil, Karier Militer hingga Keberanian Bubarkan PKI

Presiden Soeharto pada saat mengumumkan pengunduran dirinya di Istana Merdeka, Jakarta, pada tanggal 21 Mei 1998. (Tribunnews.com)

Berikut isi pidato pengunduran diri Presiden Soeharto:

Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998.

Kabar mundurnya Soeharto itu pun disambut gembira oleh kerumunan massa yang telah menduduki Gedung DPR dan MPR.

Harian Kompas, 22 Mei 1998, menggambarkan, para mahasiswa yang mengerumuni pesawat televisi di Lobi Lokawirasabha DPR berteriak dan bersuka cita begitu mendengar Presiden Soeharto mundur.

Mereka berlarian ke tangga utama DPR sambil menyanyikan lagu Sorak-sorak Bergembira.

Seiring berkumandangnya lagu kebangsaan Indonesia Raya, mereka pun menaikkan bendera Merah Putih setengah tiang menjadi satu tiang penuh.

Jaket almamater yang berwarna-warni dilepaskan karena mereka beranggapan bahwa aksi telah berubah menjadi pesta rakyat.

Bahkan, belasan mahasiswa mengekspresikan kegembiraan dengan menceburkan diri ke kolam air mancur di halaman depan Gedung DPR dan MPR.

Baca juga: Satu Abad Soeharto, Titiek Sebut Bapak Bersedih Lihat Kondisi Saat Ini, Singgung Utang Indonesia

Desakan Mundur

Krisis ekonomi yang tak kunjung membaik sejak 1997 dan terpilihnya kembali Soeharto menjadi Presiden RI pada Maret 1998 memantik situasi memanas di penjuru negeri.

Serangkaian unjuk rasa dan aksi protes terjadi di berbagai daerah.

Korban pun mulai berjatuhan.

Dengan situasi itu, sejumlah pihak mulai mendesak Soeharto untuk mundur dari jabatannya, di antaranya berasal dari pimpinan DPR, baik ketua maupun wakil.

Harapan itu disampaikan oleh Ketua DPR dan MPR Harmoko ketika memberikan keterangan pers yang hanya berlangsung selama lima menit.

Saat membacakan satu halaman keterangan persnya itu, Harmoko didampingi seluruh Wakil Ketua DPR atau MPR yakni Ismail Hasan Metareum, Abdul Gafur, Fatimah Achmad, dan Syarwan Hamid.

"Dalam menanggapi situasi seperti tersebut di atas, Pimpinan Dewan baik Ketua maupun Wakil-wakil Ketua mengharapkan demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri," kata Harmoko, dikutip dari pemberitaan Harian Kompas, 19 Mei 1998.

"Pimpinan Dewan menyerukan kepada seluruh masyarakat agar tetap tenang, menahan diri, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mewujudkan keamanan ketertiban supaya segala sesuatunya dapat berjalan secara konstitusional," sambungnya.

Usai menyampaikan keterangan persnya, Harmoko dengan ekspresi wajah tanpa senyum, bergegas meninggalkan ruangan tanpa bersedia diwawancara lagi.

Nostalgia Soeharto di masa reformasi

Dan kini, era reformasi sudah berjalan puluhan tahun.

Masalahnya, setelah puluhan tahun reformasi, sebagian masyarakat merasakan kondisi yang tidak jauh berbeda.

Sulitnya mencari pekerjaan dan tudingan masih masifnya praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) telah menjadikan suara putus asa masyarakat.

Penghapusan subsidi, diantaranya subsisi BBM, kenaikan pajak hingga harga-harga pangan telah memukul kekuatan ekonomi rakyat.

Karena itu,  tidak aneh jika kemudian rakyat memilih untuk mengenang Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Soeharto bahkan jargon dia yang paling populer dengan sapaan yang memanusiakan rakyat pun kembali mendapatkan tempat di hati dan sanubari rakyat.

"Piye kabare,  penak zamanku tho (Bagaimana kabar Anda, enak zaman saya kan)?"

Kalimat dalam bahasa Jawa itu makin populer dan menyebar ke sejumlah tempat.

Gambar Soeharto tersenyum dengan jargon itu kerap terlihat di badan truk, kendaraan, kaos, hingga meme yang tersebar di berbagai jejaring media sosial.

Rakyat seperti tidak peduli dengan kala Soeharto memerintah, demokrasi dibatasi.

Kebebasan bicara dibatasi, banyak pers dilarang terbit dan dibreidel.

Namun, rakyat merasa kehidupan mereka lebih nyaman dan lebih aman, tidak pernah ada kegiatan terorisme atau sedikitnya aksi premanisme. Berbeda dengan kondisi pasca-orde baru dimana isu terorisme, radikalisme, intoleran bermunculan.

Bahkan, pasca-pesta demokrasi 2014 hingga kini, masyarakat terbelah karena pilihan politik. Ujaran Kadrun-Cebong pun masih sering didapati di media sosial.

Singkatnya, slogan itu dinilai juga populer karena ada kekecewaan sebagian rakyat terhadap Reformasi. 

Bagi sebagian orang, situasi ini menjelma sebagai kerinduan rakyat akan sosok Soeharto.

Ekspresi mereka pun diwujudkan dengan berbagai sarana.

Angkutan umum dihiasi poster bergambar Soeharto, yang dihadirkan bak pahlawan yang dirindukan rakyat.

Sebagian sopir truk pun tanpa ragu menghiasi pantat truk dengan poster raksasa bergambar Soeharto dengan kata-kata yang sangat menggelitik.

Fenomena itu bahkan bisa dengan baik dipotret Indo Barometer sebagai sebuah lembaga survei, yang mendapati Presiden Indonesia terbaik adalah Soeharto, yang baru diikuti Soekarno dan sejumlah nama lainnya.

Sebagaimana dikutip dari Kompas.com, berdasarkan survei Indo Barometer, Senin (21/5/2018) lalu, mendapati bahwa Presiden kedua RI, Soeharto dinilai sebagai presiden yang paling berhasil dalam memimpin Indonesia.

Ini merupakan hasil survei Indo Barometer terhadap 1.200 responden pada 15 hingga 22 April 2018.

Pengumpulan data survei dilaksanakan menggunakan teknik wawancara tatap muka responden melalui kuisioner.

"Sebanyak 32,9 persen responden memilih Soeharto sebagai presiden yang paling berhasil di Indonesia," ujar Direktur Eksektufi Indo Barometer, Muhammad Qodari dalam keterangan pers di Jakarta, Minggu (20/5/2018).

Sosok proklamator Soekarno menempati posisi kedua sebagai presiden yang paling berhasil di Indonesia. Hasil survei memperlihatkan Soekarno dipilih oleh 21,3 persen responden.

Adapun, posisi ketiga, keempat, dan kelima ditempati oleh Joko Widodo (17,8 persen), Susilo Bambang Yudhoyono (11,6 persen), dan BJ Habibie (3,5 persen).

Sementara di posisi keenam dan ketujuh, yakni Abdurrahman Wahid (1,7 persen) dan Megawati Soekarnoputri (0,6 persen).

Margin of error survei sebesar 2,83 persen. Artinya, posisi lima besar memiliki keakuratan yang baik.

Baca juga: Soeharto atau Sultan Hamengku Buwono IX Penggagas Serangan Umum 1 Maret? Berikut Penjelasannya

Qodari mengatakan, survei serupa pernah dilakukan Indo Barometer pada 2011.

Saat itu, survei menunjukkan hasil yang sama, yakni Soeharto dinilai sebagai sosok presiden yang paling berhasil memimpin Indonesia.

"Saat itu Indo Barometer dituduh pro-Soeharto. Eh ternyata sekarang, hasil surveinya kan tetap sama," ujar Qodari kala itu.

Meski demikian, dalam survei 2011 silam, jumlah responden yang memilih Soeharto lebih tinggi dari raihan survei sekarang, yakni sebesar 40,5 persen responden. Artinya, ada penurunan sebesar 7,6 persen.

Berita Terkini