"Saya sampaikan fakta di lapangan, semua perusahaan ini, turun ke lapangan untuk mendata nelayan, mencari KTP nelayan dalam rangka mencari kuota untuk dapat ekspor benih," tutur Amin.
Amin menuturkan, para nelayan tersebut tidak mengerti mengurus izin untuk menjadi penangkap benur.
Kebanyakan yang mengerti adalah orang-orang yang di "darat", alias bukan yang bekerja langsung di laut.
Hal ini kemudian dimanfaatkan para calon eksportir untuk mendaftarkan para nelayan.
"Yang terjadi ke depan adalah akan terjadi konflik saya lihatnya. Bahwa "Oh, saya dari gunung punya izin menangkap benih. Kamu enggak boleh karena enggak punya izin,". Itu yang terjadi.
Menurut saya sih untuk apa ada izin hari ini? Yang penting untuk diawasi ketat ini adalah perusahaanya," ujar Amin.
Dikuasai pengusaha besar Selama polemik berlangsung, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti lantang menyuarakan ketidaksetujuannya terhadap menteri yang menggantikan Susi.
Susi kerap khawatir ekspor benih lobster rentan dikuasai dan dikomersialisasi oleh pengusaha besar.
Pengusaha besar umumnya memperkerjakan nelayan kecil untuk menangkap benih lobster.
Setelah berhasil menangkap, para nelayan kecil itu menjualnya ke pengusaha besar dengan harga murah. Pengusaha besar tersebut memiliki akses yang lebih baik untuk mengirimkannya ke luar negeri.
"Dia (nelayan) ambil bibitnya, dia perjualbelikan ke pengusaha yang punya akses untuk kirim bibit lobster ke Vietnam untuk dibesarkan. Perdagangan lintas negara kan harus lewat border, memerlukan kapal, memerlukan sarana prasarana yang tidak bisa orang kecil lakukan," papar Susi beberapa waktu lalu.
Ada sosok partai Selain dianggap berpihak pada pengusaha, konflik makin diperpanas dengan masuknya sosok-sosok partai politik di daftar calon eksportir.
Gerindra menjadi yang paling disorot karena merupakan partai yang mengusung Edhy Prabowo.
Dalam daftar, ditemukan juga nama mantan penyelundup zaman Susi Pudjiastuti yang diizinkan mengekspor benur.
Informasi saja, KKP telah memverifikasi data 31 perusahaan calon eksportir benih lobster per awal Juli 2020.
Bila calon eksportir sudah memenuhi syarat, seperti menggandeng nelayan lokal dan membudidayakan hasil tangkapannya, praktis ekspor benur boleh dilakukan.
Menanggapi hal itu, Edhy mengaku siap dikritik karena adanya keterlibatan beberapa kader Gerindra.
Kendati demikian, Edhy menampik isu bahwa dia yang menentukan kader partai naungannya itu sebagai eksportir.
Lagipula katanya, dari 26 perusahaan yang namanya sudah tereskpos, hanya ada beberapa nama kader Gerindra yang dikenalnya.
"Kalau memang ada yang menilai ada orang Gerindra, kebetulan saya orang gerindra, tidak masalah. Saya siap dikritik tentang itu. Tapi coba hitung berapa yang diceritakan itu? Mungkin tidak lebih dari 5 orang atau 2 orang yang saya kenal. Sisanya 26 orang (perusahaan) itu, semua orang Indonesia," sanggah Edhy.
Edhy bilang, surat perintah pemberian izin eksportir bukan ada di tangannya. Surat perintah diterbitkan oleh tim, yang terdiri dari Ditjen Perikanan Tangkap, Ditjen Budidaya, dan BKIPM.
Tim juga melibatkan Inspektorat Jenderal dan diawasi oleh Sekretaris Jenderal. Selama tim tidak mengikuti kaidah, Edhy menegaskan tak segan-segan mencabut izinnya.
Dia menyatakan, 31 calon eksportir yang datanya telah diverifikasi bukanlah mendapat hak privilage untuk menangkap benih lobster.
Siapapun boleh mengajukan izin, baik dari perusahaan maupun perorangan.
Mereka yang telah terverifikasi, bakal menjadi eksportir selama bisa memenuhi syarat yang telah ditentukan.
Salah satu syaratnya adalah memiliki kemampuan budidaya dan melepaskan 2 persen lobster ke asal.
"Yang memutuskan juga bukan saya. (Tapi) tim. Tapi ingat, tim juga saya kontrol agar mengikuti kaidah," papar Edhy.
Dirjen Mundur
Selang beberapa bulan aturan diresmikan, Direktur Jenderal yang berurusan langsung dengan ekspor benur, yakni Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP, Zulficar Mochtar mengundurkan diri dari jabatannya.
Dalam direktorat yang dia pimpin, isu soal ekspor benur dan penggunaan alat tangkap ikan yang diizinkan maupun dilarang berada dalam kewenangannya langsung di bawah Menteri Edhy.
Direktorat yang bersangkutan telah menerbitkan Keputusan DJPT Nomor 48 Tahun 2020 Tentang Petunjuk Teknis (Juknis) Pengelolaan Benih Bening Lobster (Puerulus) di Wilayah WPP-NRI.
Adapun surat pengunduran diri diberikan Zulficar kepada Menteri KKP Edhy Prabowo sejak Selasa, (14/7/2020).
Zulficar tak menjelaskan alasannya mundur dari jabatan. Namun dia mengaku telah menjelaskan alasan-alasan prinsipnya kepada Menteri Edhy.
Sebagai penutup, Zulficar meminta maaf kepada semua pihak atas keputusan yang mendadak dan kesalahannya selama ini.
Namun menurut Kepala Biro Humas & KLN KKP, Agung Tri Prasetyo, Zulficar diberhentikan tugasnya karena merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil juncto Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil.
Dalam pasal 106 beleid menyebutkan, Jabatan Tinggi Utama dan Jabatan Tinggi Madya tertentu tidak dapat diisi dari kalangan non-PNS untuk bidang rahasia negara, pertahanan, keamanan, pengelolaan aparatur negara, kesekretariatan negara, pengelolaan sumber daya alam, dan bidang lain yang ditetapkan Presiden.
"Maka sejak Senin (13/7/2020), Zulficar Mochtar diberhentikan dari jabatan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP," kata Agung.
Diberhentikannya Zulficar membuat Menteri Edhy pada hari yang sama mengusulkan kepada Presiden untuk pengisian jabatan JPT Madya Direktur Jenderal Perikanan sesuai ketentuan yang berlaku.
"Tujuannya jelas agar pejabat pengganti segera ada dan menjadi bagian team work KKP melayani stakeholders kelautan dan perikanan," papar Agung.
Namun sebetulnya dalam pasal 106, ada beberapa ketentuan yang mengatur tentang Jabatan Tinggi Utama dan Jabatan Tinggi Madya bisa diisi oleh kalangan non-PNS.
Di ayat (1) beleid disebutkan, JPT utama dan JPT madya tertentu dapat diisi dari kalangan non-PNS dengan persetujuan Presiden yang pengisiannya dilakukan secara terbuka dan kompetitif serta ditetapkan dalam Keputusan Presiden.
Dalam ayat (2), JPT utama dan JPT madya tertentu di bidang rahasia negara, pertahanan, keamanan, pengelolaan aparatur negara, kesekretariatan negara, pengelolaan sumber daya alam tidak dapat diisi dari kalangan non-PNS.
Ketentuan di ayat (2) tersebut dalam dikecualikan dalam ayat (3) sepanjang mendapat persetujuan dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Menteri, Kepala BKN, dan Menteri Keuangan.
Adapun ketentuan lebih lanjut mengenai JPT utama dan JPT madya tertentu yang dapat diisi dari kalangan non-PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
Kecurigaan Susi Pudjiastuti
Soal pembukaan izin ekspor benih lobster sebenarnya sudah diprotres banyak pihak.
Termasuk mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Susi Pudjiastuti.
Selama ini Susi dikenal lantang menentang kebijakan ekspor benih lobster.
Sebelumnya Susi juga mempertanyakan kebijakan Edhy Prabowo
Baca juga: Jawara, Santri dan Ulama Ramai-ramai Kecam Aksi Ansor-Banser Tolak Habib Rizieq ke Banten
Susi mempertanyakan izin ekspor benih lobster yang sudah diberikan kepada 9 perusahaan terpilih.
“Apa hak 9 perusahaan mengambil keberlanjutan sebuah sumber daya laut yang dijadikan misi pemerintah 2014-2019,” kata Susi di akun twitternya pada Kamis, 28 Mei 2020.
Susi Pudjiastuti pun menulis, “laut masa depan bangsa!!! Kenapa bapak presiden @jokowi @djpt_kkp @DitPSDI @suhanaipb melakukan hal seperti ini??? Kenapa???.” Terakhir, Susi menulis, “siapa mereka? Kenapa mereka terpilih untuk dapat privilege? Kok bisa?”
Baca juga: Sempat Ditolak Banser, Babe Haikal Malas Posting Foto Jamaah Kajiannya: Nanti Ada yang Kejang-kejang
Meski demikian, sejak 12 Mei 2020, Edhy Prabowo sudah membeberkan alasan pemberian izin ekspor benih lobster sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020.
Aturan ini kemudian menganulir larangan ekspor di era Susi.
Saat itu, Edhy menegaskan perubahan aturan tersebut sudah berdasarkan kajian mendalam.
"Aturan itu dibuat berdasarkan kajian para ahli. Sehingga kami lihat saja dulu. Kami bikin itu juga berdasarkan perhitungan," kata Edhy dalam keterangan tertulis, Rabu, 13 Mei 2020.
Menurut Edhy, dari hasil pertemuannya dengan ahli lobster Universitas Tasmania Australia, komoditas tersebut sudah bisa dibudidaya.
Ditambah lagi, potensi hidup lobster budidaya sangat besar mencapai 70 persen, jauh lebih tinggi dibanding hidup di alam.
Baca juga: DEBAT SERU, Sebut Anies Bersalah Biarkan Acara HRS, Trubus Gugup saat Ditanya Fadli Zon Apa Dasarnya
Edhy Prabowo juga mengatakan aturan izin ekspor benih lobster sebenarnya mengedepankan keberlanjutan. Karena, eksportir baru boleh mengekspor benih lobster setelah melakukan budidaya dan melepasliarkan 2 persen hasil panen ke alam.
"Kami minta mereka peremajaan ke alam 2 persen. Saya pikir ini bisa menjaga keberlanjutan."
·