Selepas desa Leuwi Karet, jalan langsung menanjak berkelok-kelok mengikuti kontur bumi.
Hutan jati dan pohon sengon di kiri kanan meneduhi jalan di tengah terik mentari yang mulai hangat.
Berkas-berkas cahaya yang menerobos dedaunan selalu berhasil memompakan semangat di pagi hari yang tenang dan sunyi.
Sungguh keteduhan pohon-pohon besar itu sangat berarti.
• PAPUA Memanas, Kapolres: Tembakan Peringatan untuk Buka Blokade di Jalan Trans Papua
Sebab, mentari di perbukitan kapur rasanya lebih menyengat dari di dataran lain.
Mungkin karena pancarannya yang memantul di tanah kapur? Entahlah. Yang jelas siang itu matahari begitu garang memanggang.
Tiga-empat tanjakan yang membuat nafas ngos-ngosan kami lalui. Angin yang menerpa wajah sungguh menyegarkan.
Terpaan angin juga mendinginkan suhu tubuh yang tinggi, bercampur dengan keringat yang mengucur deras.
Semakin tinggi kami berjalan, pemandangan sekitar makin indah.
• Dukung Pendidikan Anak Indonesia, SGM Eksplor-Lazada Gelar Donasi Beasiswa Generasi Maju
Di sebuah kelokan yang ada jembatan, lahan terbuka memungkinkan kami melepas pandangan jauh ke arah barat.
Gunung Pangrango dan Salak membiru di kejauhan.
Dataran luas berlantai persawahan, kebun, dan hutan menciptakan gradasi warna hijau sampai biru yang menyegarkan jiwa.
Lama kami berhenti mengambil nafas dan mensyukuri keindahan itu.
Di tengah kungkungan rasa takut dan tak berdaya yang tercipta dari pandemi Covid-19, terselip rasa syukur.
Bersepeda di alam terbuka, bermandi matahari, dan menikmati keindahan semesta mendatangkan kebahagiaan yang sederhana.