Macet dan Banjir

Depan Kepala Daerah, Pramono dan Dedi Mulyadi Saling Sindir Soal Macet dan Banjir

Persoalan klasik yang sulit diatasi, macet dan banjir, membuat Gubernur Jakarta Pramono Anung dan Gubernur Jabar Dedi Mulyadi saling sindir.

Editor: Valentino Verry
Wartakotalive.com/ Yolanda Putri Dewanti
SINDIR DEDI MULYADI - Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung berani menyindir Dedi Mulyadi saat acara rakor dengan kepala daerah soal korupsi, Kamis (10/7/2025). Hal ini terkait macet dan banjir. 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Saat ini ada dua kepala daerah yang cukup menonjol, yakni Gubernur Jakarta Pramono Anung dan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi.

Mereka menonjol karena gaya kepemimpinan yang berbeda, namun kinerja sama-sama bagus.

Jika Dedi Mulyadi gemar bermain medsos untuk mengerek popularitas, berbeda dengan Pramono Anung yang 'senyap' dari publikasi medsos.

Namun, masyarakat masing-masing daerah tahu kinerja mereka.

Pramono dan Dedi Mulyadi pun memiliki persoalan klasik serupa, yakni banjir dan macet.

Baca juga: Mahasiswa Bogor Bakar Foto Dedi Mulyadi dan Rudy Susmanto, Apa Alasannya?

Untuk masalah klasik itu, keduanya saling menyindir karena tak mudah diatasi. 

Saling sindir itu terjadai dalam rapat koordinasi pemberantasan korupsi pasca-pelantikan kepala daerah wilayah Jakarta, Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, Sumatra Selatan, Banten, dan Jawa Barat di Ancol, Jakarta Utara, Kamis (10/7/2025). 

Dengan gaya bercanda, Pramono menyebut Kota Bandung yang kini menempati peringkat pertama sebagai kota termacet di Indonesia. 

“Jakarta yang biasanya ranking satu di Indonesia dan selalu kota termacet 10 besar di dunia, boleh dibuka, sekarang nomor satunya Bandung. Mumpung Pak Gubernur Jawa Baratnya belum ada,” ucap Pramono.

Baca juga: Hadiri Rapat Koordinasi Bersama Dedi Mulyadi, Pramono: Godaan Korupsi Itu Dekat, Ada di Mana-mana

Berdasarkan data TomTom Traffic Index, Bandung kini berada di posisi teratas kota termacet di Indonesia, disusul Medan, Palembang, dan Surabaya. 

Sementara Jakarta yang dulunya langganan puncak, kini turun ke posisi kelima. 

Secara global pun, Jakarta turun ke peringkat ke-90. 

“Nomor satunya Bandung, nomor duanya Medan, nomor tiga Palembang, nomor empat Surabaya, Jakarta nomor lima. Dan di dunia sekarang Jakarta nomornya adalah 90,” kata dia dikutip dari Kompas.com. 

Menurut Pramono, turunnya tingkat kemacetan di Jakarta tak lepas dari kebijakan mendorong penggunaan transportasi publik, salah satunya dengan mewajibkan aparatur sipil negara (ASN) Pemerintah Provinsi Jakarta menggunakan transportasi umum setiap hari Rabu. 

“Jumlah penumpang (transportasi umum) naik menjadi sekitar 120.000. Artinya apa? ASN-nya naik (transportasi umum) keluarganya juga ikut naik. Jadi kalau ke Jakarta hari Rabu, pasti kemacetannya berkurang banyak,” ujarnya. 

Selain itu, perluasan jaringan Transjabodetabek yang kini menjangkau wilayah penyangga seperti Bogor, Depok, dan Bekasi disebut memengaruhi kondisi lalu lintas di Jakarta. 

“Orang membayar pagi hari sebelum jam 07.00 hanya Rp 2.000, setelah jam 07.00 Rp 3.500. Kenapa Jakarta memaksakan ini? Untuk mengubah karakter orang dari kebiasaan pakai kendaraan pribadi menjadi mau naik transportasi umum,” tegasnya. 

Tak mau kalah, dalam acara yang sama, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menanggapi anggapan soal banjir yang kerap disebut sebagai “kiriman dari Bogor”. 

Menurutnya, banjir di Jakarta bukan semata soal kiriman air dari wilayah hulu, melainkan akibat persoalan lingkungan yang kompleks. 

“Enggak ada banjir kiriman dari Bogor. Air itu mengalir dari dataran tinggi ke dataran rendah, itu aspek siklus alam,” kata Dedi.  

Namun, ia mengakui bahwa perubahan tata ruang di wilayah hulu seperti Bogor memang turut memengaruhi kondisi lingkungan. 

Dedi bahkan menyentil bahwa banyak pelaku di balik alih fungsi lahan bukan berasal dari wilayah setempat. 

“Kalau mau kita jujur, perubahan alih fungsi lahan dan tata ruang di Bogor juga kan para pengusahanya dari mana. Gitu lho,” ujarnya. 

Terkait keberadaan Bendungan Ciawi yang dibangun sebagai infrastruktur pengendali banjir Jakarta, Dedi menyebut fungsinya hanya bersifat sementara menahan air. 

Oleh karena itu, upaya penataan wilayah hilir dinilai menjadi langkah penting berikutnya. 

“Bendungan Ciawi itu kan merupakan bendungan yang airnya mampir, terus kan jalan. Itu kan diperlukan langkah-langkah hilirisasinya. Hilirnya harus segera ditata,” tegas Dedi. 

Ia menilai banjir akan tetap menjadi ancaman selama kondisi sungai tidak ditangani secara menyeluruh. 

“Selama sungainya masih dangkal, selama sungainya masih sempit, selama rawa-rawa terus diuruk untuk pembangunan, banjir pasti akan terus terjadi,” katanya. 

Pemprov Jabar, lanjut Dedi, tengah melakukan berbagai upaya pemulihan lingkungan, termasuk revisi tata ruang dan pembongkaran bangunan yang berdiri di atas daerah aliran sungai (DAS). 

Ia menegaskan bahwa pemulihan lingkungan membutuhkan biaya besar dan kerja sama lintas sektor. 

“Recovery lingkungan itu lebih mahal dari pembangunan. Nah tentunya tidak bisa jalan sendiri, harus semua orang bekerja sama untuk concern menyelesaikan lingkungan,” kata Dedi.

Baca berita WartaKotalive.com lainnya di Google News 

Ikuti saluran WartaKotaLive.Com di WhatsApp: https://www.whatsapp.com/channel/0029VaYZ6CQFsn0dfcPLvk09

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved