Berita Nasional
Fadli Zon Tak Pungkiri Ada Perkosaan saat Kerusuhan 1998, tapi Ragukan Istilah 'Perkosaan Massal'
Fadli Zon mengatakan, liputan investigatif sebuah majalah terkemuka tak dapat mengungkap fakta-fakta kuat soal “massal” ini.
7. Mendesak Jaksa Agung segera menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM terkait kasus-kasus pelanggaran berat HAM, dengan membentuk Tim Penyidik ad hoc sesuai mandat Pasal 21 ayat (3) UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
8. Menolak segala bentuk upaya rehabilitasi politik terhadap figur-figur bermasalah dari rezim Orde Baru, termasuk wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.
9. Mendesak negara untuk menjamin pemulihan, pengakuan, pengungkapan kebenaran dan keadilan bagi para korban dan keluarga korban, serta menjadikan sejarah kekerasan Mei 1998 maupun pelanggaran HAM berat lainnya sebagai bagian dari ingatan kolektif bangsa.
10. Menyerukan kepada seluruh masyarakat sipil, akademisi, media, dan komunitas korban untuk terus mengawal narasi sejarah bangsa agar tidak jatuh ke dalam revisi yang menyesatkan dan ahistoris.
Lalu bagaimana fakta sejarah pemerkosaan 1998?
Pada dasarnya kasus pemerkosaan 1998 sudah diakui oleh Presiden ke-3 BJ Habibie berdasarkan dari hasil penyelidikan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Penyelidikan itu bermula dari banyaknya kasus pemerkosaan yang menimpa etnis Tionghoa di tengah kerusuhan Mei 1998 dan detik-detik kejatuhan Presiden ke-2 Soeharto.
Kemudian Presiden ke-3 BJ Habibie membentuk TGPF pada bulan Juli 1998.
TGPF tersebut terdiri dari berbagai unsur yang berasal dari pemerintah, Komnas HAM, LSM, dan organisasi kemasyarakatan lainnya.
Mereka ditugaskan untuk menyelidiki peristiwa Mei 1998, termasuk laporan tentang kekerasan seksual yang mencuatkan fakta mengejutkan.
TGPF bertugas mengungkap fakta, pelaku dan latar belakang peristiwa Mei 1998 serta mencari jejak-jejak peristiwa dan hubungan antar subjek di setiap lokasi.
Dari proses pengumpulan data dan bukti kurang lebih selama tiga bulan, TGPF merilis Laporan Akhir pada 23 Oktober 1998.
Laporan akhir TGPF mencatat adanya tindak kekerasan seksual yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya, Medan dan Surabaya.
Bentuk-bentuk kekerasan seksual yang ditemukan dalam Peristiwa Mei 1998, dibagi dalam beberapa kategori yaitu: perkosaan, perkosaan dan penganiayaan, penyerangan seksual/penganiayaan dan pelecehan seksual yang terjadi di dalam rumah, di jalan, dan di depan tempat usaha.
Hasil penelusuran, terdapat 52 korban perkosaan, 14 korban perkosaan dengan penganiayaan, 10 korban penyerangan/penganiayaan seksual, dan 9 korban pelecehan seksual.
Mereka didapat dari sejumlah bukti baik keterangan korban, keluarga korban, saksi mata, saksi lainnya (perawat, psikiater, psikolog, pendamping, rohaniawan), hingga keterangan dokter.
TGPF juga menemukan korban-korban kekerasan seksual yang terjadi sebelum dan setelah Peristiwa Mei 1998.
Dalam kunjungan ke daerah Medan, TGPF juga mendapatkan laporan tentang ratusan korban pelecehan seksual yang terjadi pada tanggal 4–8 Mei 1998.
Setelah Peristiwa Mei tersebut, juga diikuti dengan dua kasus terjadi di Jakarta tanggal 2 Juli 1998 dan dua kasus terjadi di Solo pada tanggal 8 Juli 1998.
TGPF juga menemukan bahwa sebagian besar kasus perkosaan adalah gang rape, yang mana korban diperkosa oleh sejumlah orang secara bergantian pada waktu yang sama.
Kebanyakan kasus perkosaan juga dilakukan di hadapan orang lain.
Baca juga: Aktivis Desak Fadli Zon Minta Maaf atas Pernyataan Pemerkosaan 1998
Pelapor Khusus Komnas Perempuan Tentang Kekerasan Seksual Mei 1998 dan Dampaknya pun menemukan bahwa ada kesengajaan untuk menyasar perempuan beretnis Tionghoa, yang pada saat itu dikonstruksikan sebagai kambing hitam akibat krisis moneter di Indonesia.
Kesengajaan ini tampak dari adanya kesaksian salah satu perempuan yang tidak jadi diperkosa karena ibunya yang ‘pribumi’ berhasil meyakinkan para pelaku bahwa ia adalah anaknya.
Meskipun temuan ini telah diserahkan kepada Kejaksaan Agung untuk proses hukum lebih lanjut, hingga kini tidak ada penyelesaian hukum yang memadai di tingkat penyidikan hingga proses pengadilan.
Namun fakta memilukannya adalah hingga saat ini kasus tersebut tidak pernah tuntas.
Terlebih setelah sosok Ita Martadinata, salah satu perempuan Tionghoa penyintas 1998- pelajar berumur 18 tahun- yang merupakan anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan yang hendak memberikan kesaksiannya tentang perkosaan dan pembunuhan 1998.
Tiba-tiba tiba beberapa hari sebelum keberangkatannya untuk Kongress Perserikatan Bangsa-Bangsa, Ita ditemukan tewas ditusuk berkali-kali di kamar tidurnya.
Para aktivis meyakini bahwa Ita Martadinata sengaja dibungkam selama-lamanya agar tidak dapat terakumulasi.
Tidak pernah ada pengungkapan kebenaran, kepastian bahkan keadilan baik dalam peristiwa ini maupun terhadap korban dan keluarga korban Peristiwa Mei 1998 yang sudah berpuluh tahun memperjuangkan haknya yang sudah barang tentu menjadi kewajiban Negara untuk memenuhinya.
Bahkan Jaksa Agung belum melakukan penyelidikan atas kasus perencanaan tersebut.
Banyaknya kendala pada permasalahan pembuktian dan penyangkalan bahwa hal tersebut tidak pernah terjadi membuat kasus pemerkosaan 1998 terkatung-katung.
Pada tahun 2013 lalu, Presiden ke-7 Joko Widodo dalam konferensi pers secara resmi mengakui dan menyesali terjadinya sejumlah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu.
Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (Tim PPHAM) dibentuk untuk menyelidiki dan membuka berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu.
Sayangnya, termasuk hak korban pelanggaran HAM berat itu kini terkendala sebab aturan keputusan presiden yang menjadi dasar pembentukan tim pemantau PPHAM tak kunjung diperpanjang oleh pemerintah, sehingga selama lima bulan terakhir sejak masa kerja tim pemantau PPHAM berakhir pada Desember silam, hingga kini belum ada tim pemantau baru.
Pengabaian hukum kasus pemerkosaan massal yang menimpa wanita Tionghoa di tahun 1998 tidak hanya melanggar hak setiap warga negara untuk hidup aman dan bermartabat, tetapi juga menciptakan trauma berkepanjangan serta iklim ketakutan yang mendalam di masyarakat.
Baca berita Wartakotalive.com lainnya di WhatsApp.
Baca berita Wartakotalive.com lainnya di Google News.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com
Mahfud MD Menolak Wacana Pembubaran DPR RI, Oegroseno Malah Sakit Hati |
![]() |
---|
Hendardi Menilai Presiden Prabowo Melanggar Undang Undang, Publik Harus Menolak, Ini Penjelasannya |
![]() |
---|
Tergusur Pariwisata, 12.000 Hektar Sawah di Bali Hilang Dalam Satu Dekade |
![]() |
---|
PK Gugur Karena Absen! Silfester Matutina Terancam Dieksekusi Kejari |
![]() |
---|
Ini Antisipasi Polisi Apabila Demo Buruh Tumpah ke Jalan Tol Dalam Kota |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.