Rudapaksa

Kasus Dokter PPDS, Giwo Rubianto: Pembiaran Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Dapat Dihukum

Kasus Dokter PPDS, Giwo Rubianto: Pembiaran Terjadinya Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Dapat Dihukum

Editor: Dodi Hasanuddin
Istimewa
DAPAT DIHUKUM - Ketua Umum DPP Gerakan Wanita Sejahtera (GWS), Giwo Rubianto menyebutkan bahwa orang yang membiarkan terjadi kekerasan seksual terhadap perempuan dapat dihukum. 

WARTAKOTALIVE.COM, BOGOR - Indonesia darurat kekerasan seksual. Demikian disampaikan Ketua Umum DPP Gerakan Wanita Sejahtera (GWS) Giwo Rubianto Wiyogo menanggapi kasus rudapaksa anak pasien FH yang dilakukan dokter residen anestesi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran (FK Unpad) Priguna Anugerah Pratama di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.

Ditambah lagi pelecehan seksual yang dilakukan seorang dokter kandungan berinisial MSF di sebuah klinik di Kota Garut, Jawa Barat.

"Saya sebagai aktivis dari organisasi wanita sangat memprihatinkan. Kejadian ini bukan hanya yang pertama kali.
tetap yang sudah berulang-ulang," kata Giwo saat acara Halalbihalal Gerakan Wanita Sejahtera di Cisarua, Kabupaten Bogor, Selasa (15/4/2025).

"Darurat seksual terhadap kekerasan seksual terhadap perempuan maupun anak. dan ini penjahat seksual an kita harus waspada semuanya," tambahnya.

Baca juga: Dokter Cabul Lakukan Pelecehan pada Ibu Hamil di Garut, IDI Jawa Barat Sebut Pelaku Terancam Dipecat

Perlu diketahui bahwa korban dari dokter anestesi PPDS FK Unpad Priguna bertambah menjadi dua orang. Kedua korban berusia 21 dan 31 tahun.

Kedua korban merupakan pasien di RSHS Bandung dan peristiwa pemerkosaan itu terjadi pada 10 Matret dan 16 Maret 2025.

Hal itu disampaikan Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Barat (Jabar) Kombes Pol Surawan.

Dilansir TribunJabar pemilik klinik dr. Dewi Sri Fitriani mengakui bahwa ia mendapatkan keluhan dari pasien atas tindakan pelecehaan seksual yang dilakukan MSF.

Untuk membuktikan keluhan pasien tersebut, maka ia memasang CCTV di ruang periksa. Ternyata terbukti.

Baca juga: Kemenkes Tangguhkan Sementara Surat Tanda Registrasi Dokter Cabul yang Melecehkan Pasien di Garut

Pada 20 Juni 2024 MSF terbukti melakukan pelecehan seksual terhadap pasien.

Sebab itu, Giwo berharap penanganan pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan yang terjadi di RSHS Bandung dan klinik di Kota Garut, Jawa Barat harus serius.

Kemudian hukumannya harus seberat-beratnya alias berlipat ganda. Tujuannya menjadi efek jera.

"Saya berharap ini benar-benar harus serius penanganannya dan ancaman hukumnya diberlakukan seberat beratnya. Jadi ada efek jera. Jadi tidak ada anggapan kejahatan terhadap perempuan bisa diabaikan. Kasus penjahat seksual ini jangan sampai terjadi lagi," ujar mantan Ketua Umum Kowani ini.

Giwo menjelaskan di negara lain pelaku kejahatan seksual dihukum seberat-beratnya. Hal ini dilakukan agar orang tak berani melakukan kekerasan seksual terhadap perempuan.

Anehnya di Indonesia, ada keluarga korban bernegosiasi terhadap pelaku kejahatan seksual dengan sejumlah uang untuk meringankan hukumannya.

Pembiaran Kekerasan Seksual Bisa Dihukum

Korban kekerasan seksual yang dilakukan dokter anestesi PPDS FK Unpad Priguna di RSHS Bandung bertambah dua orang, total menjadi tiga orang.

Giwo menilai terulangnya kekerasan seksual yang dilakukan dokter anestesi PPDS FK Unpad tersebut karena ada pembiaran.

Saat kejadian diprediksi ada petugas kesehatan yang lain yang bertugas di RSHS Bandung. Selain itu, ada CCTV.

Seharusnya hal ini bisa ditangani secara serius dengan segera. Sehingga tidak terulang.

Baca juga: Dokter yang Diduga Lecehkan Pasien di Garut Ditangkap, Polisi Gali Motif dan Kronologi

Artinya adanya pembiaran atau ketidakpedulian terhadap kekerasan seksual terhadap perempuan di RSHS Bandung.

"Bagi yang membiarkan terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan ada ancaman hukumnya. Membiarkan orang melakukan tindak kejahatan ada ancaman hukumnya," tandas Giwo.

Masyarakat dan Penegak Hukum Tak Serius

Giwo yang merupakan mantan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menjelaskan, kekerasan seksual terhadap perempuan terjadi berulang-ulang hingga membuat Indonesia darurat kekesan seksual lantaran masyarat Indonesia dan aparat penegak hukum tak serius.

Dalam kasus kekerasan seksual yang muncul ke permukaan hal pertama yang terjadi adalah kasus tersebut blow up.

Kemudian pada akhirnya mengani ancaman hukumnya tidak di blow up.

Ancaman hukumnya tidak dijelaskan kepada publik dan aparat penegak hukum tidak menjalankan implementasi Undang-undang terhadap kekerasan perempuan. 

Baca juga: Pengakuan Menyesakkan Korban Pencabulan Dokter di Garut, Celana Dalam Dibuka, Area Sentitif Dielus

"Kasus ini terulang mungkin karena masyarakat dan aparat penegak hukum belum benar-benar serius menjalankan Undang-undang yang menyangkut dengan hak-hak perempuan," tuturnya.

Giwo menambahkan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan seperti gunung es. Artinya masih banyak kasus kejahatan seksual yang tak terungkap.

Dikutip dari Kompas.com Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat, jumlah laporan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan terus meningkat setiap tahunnya.

Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengungkapkan, berdasarkan catatan Komnas, setiap dua jam terdapat tiga perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.

Andy menyebutkan, pihaknya juga mendapati bahwa jumlah kasus perkosaan yang diproses secara hukum masih berada di bawah 30 persen dari total kasus perkosaan yang dicatat oleh Komnas Perempuan.

 

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved