Kesehatan Anak

Kenali Dampak Toilet Training yang Tertunda, Orang Tua Bisa Stres dan Resiko Penyakit Pada Anak

Toilet training yang tertunda dapat berpotensi menyebabkan stres pada orang tua dan berisiko pada anak terkena diare, infeksi dan hepatitis A.

|
Penulis: Mochammad Dipa | Editor: Mochamad Dipa Anggara
Wartakotalive.com/Mochammad Dipa
Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Tumbuh Kembang Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr. Meitha P.E. Togas, SpA(K), memberikan penjelasan terkait toilet training pada anak saat Media Briefing dengan topik: Mengenalkan Toilet Training pada Anak yang akan diadakan secara virtual, Selasa (24/12/2024). 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA -  Toilet training merupakan salah satu tonggak penting dalam perkembangan anak menuju kemandirian.

Namun, proses ini tidak jarang menjadi tantangan besar bagi orang tua, keluarga, guru, hingga lingkungan tempat anak berada. 

Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Tumbuh Kembang Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr. Meitha P.E. Togas, SpA(K), menekankan bahwa toilet training yang tertunda dapat memicu berbagai dampak negatif, baik bagi anak maupun lingkungan sosialnya.

Menurut dr. Meitha, keterlambatan toilet training dapat berpotensi menyebabkan stres pada orang tua dan memperbesar beban kerja pengasuh maupun guru-guru di sekolah.

"Pada toilet training yang tertunda, ini dapat berpotensi menyebabkan stres bagi orang tua, baik keluarga, tempat penitipan anak, maupun pada guru-guru sekolah, dan akan meningkatkan juga beban kerja pada mungkin guru-guru taman bermain karena kurangnya anak-anak yang terlatih menggunakan toilet," ungkap dr. Meitha saat Media Briefing dengan topik: Mengenalkan Toilet Training pada Anak yang akan diadakan secara virtual, Selasa (24/12/2024).

Selain itu, toilet training yang tertunda juga dapat meningkatkan risiko penyebaran penyakit, termasuk diare, infeksi dan hepatitis A.

"Pada toilet training yang tertunda juga, pada anak akan lebih mudah menolak toilet training, sehingga menyebabkan penolakan untuk buang air besar dan bisa terjadi konstipasi, juga masalah-masalah pencapaian dan pemeliharaan kontrol kandung kemih," sebut dr. Meitha.

Selain itu, lanjut dr. Meitha, toilet training yang tertunda juga meningkatkan biaya pengeluaran, seperti penggunaan popok yang berlebihan, sehingga juga berdampak negatif terhadap lingkungan.

“Toilet training yang tertunda menyebabkan meningkatnya biaya akibat penggunaan popok yang akan berpengaruh pada lingkungan dan sosial,” ujarnya.

Dr. Meitha juga menegaskan, bahwa oangtua perlu memperhatikan seksama sejumlah faktor, sebelum memulai program toilet training. Di antaranya:

  • Usia kronologis & usia perkembangan.
  • Mampu menahan kencing selama 60-90 menit.
  • Mengenal sensasi kandung kemih penuh.
  • Duduk terus menerus di toilet selama 15 menit.
  • Mampu menemukan kamar mandi secara mandiri atau mampu mengomunikasikan kebutuhan ke toilet.
  • Mampu melepas pakaian, menyeka, menyiram, merapikan dan mencuci tangan.

Penting diingat, jangan memulai toilet training disaat anak dalam keadaan sakit atau tegang. Contohnya, saat baru pindah rumah, pindah day care atau bersamaan dengan kelahiran adiknya. 

Toilet training juga harus dilakukan dalam kondisi anak senang sehingga dengan sukarela anak akan belajar untuk kemandirian.

“Jangan lupa, toilet training harus dilakukan dalam kondisi anak senang dan bebas stres, seperti saat tidak ada perubahan besar dalam hidupnya, misalnya pindah rumah atau kelahiran adik,” kata dr. Meitha.

Secara umum, rata-rata usia anak tanpa autisme untuk dilatih toilet training ialah 2 tahun 6 bulan.

Sekitar usia toddler, tepatnya setelah anak melewati periode usia 12 sampai 36 bulan untuk eksplorasi lingkungan. 

Halaman
12
Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved