Viral Media Sosial

Peter F Gontha Sentil ADC Pejabat yang Petentengan Mirip Bos Besar, Singgung Orde Baru dan Cendana

Singgung Orde Baru dan Cendana, Peter F gontha Sentil ADC Pejabat yang Petentengan Mirip Bos Besar

Editor: Dwi Rizki
Instagram @petergontha
Akbar Pera Baharudin yang akrab disapa Ajudan Pribadi 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Pengusaha sekaligus mantan Duta Besar Indonesia untuk Polandia, Peter F Gontha menyoroti sikap para ajudan yang kerap disebut dengan ADC.

ADC yang kepanjangan dari Aide de Camp itu disebutnya petentengan layaknya bos besar.

Hal tersebut disampaikan Peter F Gontha lewat status instagramnya @petergontha pada Senin (29/7/2024).

Dalam postingannya, dirinya mengunggah sebuah potret Akbar Pera Baharudin yang akrab disapa Ajudan Pribadi.

Dalam potret tersebut, Akbar terlihat mengenakan kacamata hitam itu tengah bersantai duduk di dalam kabin pesawat jet pribadi.

"Ini photo lawakan, untuk nyindir para ADC (adjudan pengawal pribadi)," tulis Peter F Gontha menunjukkan potret Akbar dalam statusnya.

"Namun Sudah menjadi potret sehari-hari dimana mana, melihat Adjudan Adjudan (ADC) pribadi dari pada Menteri, Dirjen, Direksi perusahaan BUMN, para Elit, pengusaha, anggota DPR, politisi, bupati, gubernur, dimana-mana kelakuannya seperti pemilik Negara RI. Bahkan naik pesawat pribadi pun mereka ikut!!!" ungkapnya.

Keberadaan ADC diungkapkannya melekat dengan pejabat yang dilayani.

Mereka selalu menemai sang pejabat, mulai dari Bandara, Pelabuhan, pesta, rumah m hingga lapangan golf ketika sang pejabat berolahraga.

"Dan hampir semua tempat mereka menunjukan kekuasaannya," ujarnya.

Meski melayani sekaligus melindunga pejabat yang didampingi, para ADC katanya tak segan meneror siapa saja, mulai dari petugas parkir, imigrasi, bea cukai, hingga pelayan restoran.

Dirinya menunjukkan momen ketika dirinya bertemu dengan seorang ADC di kawasan golf Pondok Indah, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

"Kalau bosnya lagi main golf, mereka betantang betenteng di restoran kaya boss besar," ungkap Peter F Gontha.

Baca juga: Temui Sandi Usai Video Damkar Gagal Selamatkan Gereja Viral, Ini Instruksi Wakil Wali Kota Depok

Baca juga: Sandi Butar Butar Menangis Minta Maaf ke Warga Depok, Tak Mampu Selamatkan Gereja Sebab Armada Rusak

"Coba lihat kalau turiun pesawat di Cengkareng, mereka sudan tunggu dipintu keluar pesawat, mereka semua sudah dapet pas khusus bandara, jemput bosnya, anak pejabat, mertuanya, pacarnya, untuk membawa mereka keluar tanpa melalui prosedur imigrasi, bea cukai dsbnya," bebernya.

Bahkan, lanjutnya, apabila hadir di sebuah pesta atau undangan, para ADC akan tiba lebih dahulu untuk memastikan pejabat atau bos yang didampingi mendapatkan tempat duduk terbaik.

Fenomena tersebut menurutnya sangat luar biasa.

Negara yang menberikan fasilitas khusus para pejabat justru dinikmati para ajudan.

"Engga ada cerita mesti ikut prosedur. Belum lagi pengawalan ngoe'ng-ngoe'ng para pejabat, politisi, pengusaha sampai istrinya, bahkan pake nomor pelat HANKAM," ungkap Peter F Gontha.

"Yang salah siapa? Bossnya, Adjudannya atau aturan negara sich? Yang salah pasti orde baru lah... dan cendana ... ya kan! Tapi kayanya 15 tahun lalu belum separah sekarang!" tutupnya. 

Status Peter F Gontha pun disambut ramai masyarakat.

Bergaam tanggapan mengisi kolom komentar postingan mantan Komisaris Garuda Indonesia itu.

@merylsaragih: This is so true Pak! Sampe bandara di Garbarata juga isinya ajudan semua. Salut sama beberapa pejabat senior yang saya lihat sendiri kemana-mana sendiri bahkan di pesawat ngambil dan nenteng cabin sendiri

@ajundamayanti: Setuju dg pengamatan pak PFG. Tapi bapak dulu dekat dg Cendana kan pak, ..? ADC 2 yg kaya gitu itu baru skrg2 ini kalii.. dulu ADC2 nya masih agak sopan, gak kaya skrg2 ini.. soalnya pengalaman nanganin protokoler dari dulu dan skrg jauuh bngt bedanya.. lbh se mena2 skrg laah pak, itu bener..

@fahrizalhnasution: Lho..bukannya hal bgini nee yg ngajarin dinasti nya presiden zaman ya Pak Peter Gontha..bapak sdh banyak usia baru sadar pdhal 40 tahun lalu dikota kelas metro sdh biasa Pak Peter..termasuk Bapak juga mendiamkan..banyak kok diperusahan bapak pandangan spt ini..enaknya melihat gajah jauh disana debu didepan mata tak terlihat

@pius_sinurat: Ada 2 tulisan/postingan pak Peter tentang Pemeriksaan Bea Cukai di kedatangan di Indonesia, keras dan menohok sangat tajam. Saya cari lagi, apakah bapak sudah hapus? Apakah itu benar pengalaman nyata atau cuma karangan? Saya sangat suka membacanya

@tkiryoto
Ngiri yaa Boss, lihat era 90_2000 jaman Bimantara berkibar, RCTI berjaya

@_ram12: Saya juga sdh muak pak.level di kabupaten atau kotamadya juga sama ..termasuk istri istrinya. Katanya di Belanda ..Perdana Mentrinya aja pulang kantor naek sepedah tanpa pengawalan. Ada yg hitung gak anggaran dari APBN yg tdk berguna itu setahun berapa ? Bisa kali buat beasiswa anak anak miskin

@irantydesign_bypilasto: Di kisaran Cendana nggak ya om ??... Atau lebih parah

Mengenal ADC

Dikutip dari Kompas.com, Wahyu Suryodarsono seorang anggota Tentara Nasional Indonesia Indonesian Air Force Officer, and International Relations Enthusiastmembagikan pengalamannya ketika menjadi seorang ajudan.

Dijelaskannya, seorang ajudan, atau yang lebih dikenal dengan sebutan ADC (Aide de Camp), kerap kali mendapatkan sorotan publik, terutama ketika sedang mengemban tugas maupun melaksanakan aktivitas bersama pejabat publik yang dikawalnya di berbagai kegiatan.

Tentu masih segar diingatan kita bagaimana beberapa ajudan yang bertugas tersebut, baik dari institusi TNI maupun Polri, sempat menghebohkan media sosial maupun elektronik karena berbagai hal.

Seperti contoh, publik sempat dikejutkan pembunuhan yang dilakukan oleh salah satu petinggi Polri saat itu, Ferdy Sambo terhadap ajudannya sendiri, yaitu Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, di rumah dinasnya di daerah Duren Tiga, Jakarta Selatan.

Terbaru, publik dihebohkan isu ketidaknetralan TNI dalam kontestasi Pemilu, menyusul hadirnya Ajudan Menteri Pertahanan RI pada agenda debat calon presiden yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), beberapa waktu lalu.

Puspen TNI hingga Bawaslu telah menegaskan bahwa kehadiran Ajudan Menhan dalam debat Capres tersebut tidak dalam konteks tergabung dalam tim pemenangan maupun kampanye, tetapi melaksanakan tugas pengamanan serta ajudan yang sifatnya melekat.

Agaknya, penulis melihat adanya kesalahpahaman publik dalam menginterpretasikan konteks kehadiran seorang ajudan pada masa-masa kampanye Pemilu saat ini.

Sebagai seorang anggota TNI yang sempat memiliki pengalaman bertugas sebagai ajudan di lingkungan Kementerian Sosial serta Kementerian Perindustrian Republik Indonesia, penulis ingin sedikit berbagi terkait tugas-tugas yang dilakukan oleh seorang ajudan, dan bagaimana perspektifnya dalam membantu tugas keseharian pejabat publik yang menjadi objek utama penugasan.

Istilah ajudan awalnya hanya populer di kalangan militer dan merujuk pada personel yang membantu tugas seorang pejabat dalam dinas kemiliteran.

Iip Hidajat, dalam bukunya berjudul “Ajudan Setia dan Pemberani”, menyebut tugas ajudan awalnya mulai dikenal dari militer Perancis.

Saat itu, ajudan yang juga populer disebut dengan singkatan ADC, merupakan kependekan dari Aide de Camp yang berarti “pembantu di barak”.

Pada awalnya, ajudan hanya bertugas dalam berbagai hal yang sifatnya administratif.

Namun dalam perkembangannya, seorang ajudan juga dituntut mampu bertugas dalam ranah protokoler dan berbagai penugasan pengamanan di lapangan sebagai “tangan kanan” pejabat yang dilayaninya.

Dari sudut pandang historis, pekerjaan seorang ajudan terkadang tidaklah mudah. Indonesia pernah memiliki sosok seorang ajudan yang memiliki jiwa kepahlawanan, bahkan rela mati untuk menjaga keselamatan pejabat yang dilayaninya.

Misalnya, Kapten Czi (Anm) Pierre Tendean, seorang ajudan dari Jenderal TNI A.H. Nasution, yang diculik dan dibunuh oleh kelompok bersenjata terafiliasi Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965.

Demi menyelamatkan pejabat yang dilayaninya, saat keluar rumah dan dikelilingi oleh gerombolan terafiliasi PKI yang mencari keberadaan Jenderal A.H. Nasution untuk dihabisi, Kapten Pierre dengan gagah berani mengaku bahwa ia adalah ajudan dari Jenderal Nasution ketika ditanya mengenai keberadaan Sang Jenderal tersebut.

"Saya ajudan Jenderal Nasution," kata Pierre Tendean. Gerombolan penculik yang tidak cermat dalam mendengar pengakuan sang ajudan menyangka bahwa sosok itulah yang bernama Nasution. Pierre Tendean lantas diculik dan dibawa ke Lubang Buaya untuk kemudian disiksa serta dibunuh.

Pascakematiannya, Kapten Pierre Tendean lantas dimakamkan di Taman Makam Nasional Kalibata dan diangkat sebagai Pahlawan Revolusi oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Yang perlu masyarakat ketahui terkait penugasan seorang ajudan adalah hampir seluruh pejabat publik di manapun memiliki seorang ajudan, atau setidaknya, orang yang menjadi “tangan kanan” maupun pengawal yang membantu tugas kesehariannya.

Ada keterbatasan fisik maupun mobilitas dari pejabat yang bersangkutan, maupun kondisi-kondisi tertentu yang membuat suatu tugas tidak dapat dilakukan sendirian oleh pejabat tersebut.

Sebagai contoh, seorang pejabat tentunya tidak mungkin melakukan tugas surat menyurat yang bersifat administratif tanpa dibantu ajudan maupun asisten pribadi.

Tugas lain seorang ajudan seperti penghubung komunikasi dengan pejabat lainnya antarinstitusi, serta membantu apabila terjadi hal-hal yang sifatnya darurat, seperti kondisi sakit, adanya ancaman keamanan, dan lain-lain.

Di Indonesia, seorang ajudan bagi pejabat publik dapat bersumber dari anggota TNI maupun Polri. Mengapa demikian?

Alasannya logis dan cukup simpel, karena anggota TNI-Polri dibekali ilmu dalam hal pengamanan personel VVIP serta responsif apabila terjadi ancaman tertentu yang mengandung unsur kekerasan.

Kondisi fisik prima dan kecekatan yang mumpuni juga membuat pejabat publik kerap kali menggunakan anggota TNI-Polri sebagai ajudan dalam membantu tugas kesehariannya.

Namun, tidak menutup kemungkinan seorang ajudan dapat bersumber dari kalangan sipil yang memiliki kompetensi tertentu, tergantung dari permintaan pejabat yang bersangkutan.

Maka, dapat disimpulkan bawah pada dasarnya seorang ajudan memiliki tiga dimensi pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya, yaitu dimensi protokoler (protocol), pengamanan (security), dan administrasi (administrative).

Dimensi-dimensi inilah yang membuat seorang ajudan terkadang tidak dapat memosisikan dirinya terlalu jauh dari pejabat yang ia bantu kesehariannya.

Ia dapat dipanggil sewaktu-waktu, atau bahkan dalam situasi darurat yang mengancam keamanan, perlu untuk bergerak cepat dalam melakukan mitigasi ancaman di lapangan.

Ancaman kekerasan tersebut dapat terjadi sewaktu-waktu, dan tidak menutup kemungkinan, dapat terjadi di manapun, bahkan di area yang tergolong aman sekalipun.

Security awareness mutlak dimiliki oleh seorang ajudan, karena pada dasarnya semua orang tidak akan tahu bentuk ancaman seperti apa yang dapat terjadi terhadap pejabat publik yang bagian dari tugas dan tanggung jawabnya.

Seperti diungkapkan oleh Mendagri Jenderal Polisi (Purn) Tito Karnavian, yang menyinggung apa yang terjadi pada PM Jepang Shinzo Abe selama masa kampanye.

Akibat kelengahan dalam penyelenggaraan pengamanan, PM Shinzo Abe yang saat itu tengah menyampaikan pidato saat masa kampanye 2022, tewas akibat ditembak oleh orang tak dikenal.

Dalam kondisi demikian, timbul pertanyaan yang sangat mendasar: siapa yang dinilai paling bertanggung jawab atas peristiwa tersebut?

Publik mungkin akan menyebut bahwa orang yang menembak itulah yang paling bertanggung jawab atas kejadian tersebut, dan menerka-nerka apakah ada pelaku ataupun otak lain di balik peristiwa penembakan.

Akan tetapi, secara tidak langsung, sesungguhnya unsur pengamanan yang perlu disorot dalam konteks ini karena terjadi kelengahan dalam aktivitas pelaksanaannya.

Tentu saja, sebagai orang yang paling melekat dengan pejabat terkait, ajudan akan menjadi orang yang paling bertanggung jawab di dalamnya.

Besarnya risiko keamanan tersebut menjadikan seorang ajudan harus sigap dalam berbagai situasi, baik di aktivitas kedinasan, maupun non-kedinasan seperti kampanye pada masa-masa Pemilu saat ini.

Sangat disayangkan, framing tidak bertanggung jawab yang memosisikan ajudan sebagai bagian dari kekuatan politik tertentu, mengindikasikan adanya ketidaktahuan publik secara mendalam tentang risiko maupun tanggung jawab seorang ajudan dalam menjalankan tugasnya di lapangan.

Prinsip netralitas TNI dan Polri dalam kontestasi Pemilu sesungguhnya tidak cukup hanya dilihat dari perspektif aktivitas perseorangan saja, tetapi juga perlu dilihat dari lingkup institusional atau kelembagaan.

Komitmen TNI-Polri dalam Pemilu tetap berada dalam posisi netral dan tidak diperbolehkan aktif menjadi bagian dari kekuatan politik tertentu.

Bagi tiap-tiap personel, framing politik terhadap anggota TNI-Polri perlu menjadi awareness tersendiri.

Pasalnya, saat ini media sosial kerap kali menyebarkan info yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya dan dimanfaatkan demi kepentingan elektoral oleh pihak-pihak tertentu dengan metode black campaign.

Dari kejadian baru-baru ini, setidaknya dapat diambil pelajaran bahwa black campaign melalui framing menjadi hal yang patut diwaspadai oleh tidak hanya anggota TNI-Polri, tetapi juga Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam masa-masa kampanye di setiap kontestasi Pemilu.

Baca berita Wartakotalive.com lainnya di Google News

Ikuti saluran WartaKotaLive.Com di WhatsApp

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved