Kasus Rafael Alun
Rafael Alun Lega Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Diskon Besar Uang Pengganti, Apa Kata KPK?
Mantan pejabat Ditjen Pajak Rafael Alun sedikit lega atas vonis Pengadilan Tipikor. Dia tak jadi dimiskinkan, malah dapat diskon.
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Setelah melalui persidangan yang menyita waktu, akhirnya majelis hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, menjatuhkan vonis terhadap mantan pejabat Ditjen Pajak, Rafael Alun Trisambodo.
Rafael Alun yang memiliki hrta Rp 56 miliar berdasarkan LHKPN itu divonis 14 tahun penjara terkait kasus gratifikasi dan pencucian uang.
Baca juga: Rafael Alun Divonis 14 Tahun Penjara dan Denda Rp 500 Juta Serta Uang Pengganti Rp 10, 79 Miliar
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim mengungkapkan bahwa Rafael Alun terbukti menerima gratifikasi berkedok marketing fee dari PT Artha Mega Ekadana (ARME) hingga Rp 10 miliar.
Vonis itu pun sedikit lebih ringan dari tuntutan yang diajukan jaksa KPK beberapa waktu lalu.
Tadinya, Jaksa meminta majelis hakim menjatuhkan vonis 14 tahun penjara, denda sebesar Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan serta pidana uang pengganti Rp 18,9 miliar subsider tiga tahun penjara.
Akan tetapi, pada akhirnya majelis hakim Pengadilan Tipikor hanya menjatuhkan vonis uang pengganti sebesar Rp 10,79 miliar.
"Terdakwa secara nyata dan secara hukum aktif di PT ARME hanya pada tahun 2006, marketing fee yang dapat dipertanggung jawabkan kepada terdakwa hanya sampai 2006 sejumlah Rp 10.079.555.519," ujar hakim saat membacakan surat putusan dalam persidangan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (8/1/2024).
Baca juga: Terbukti Korupsi dan TPPU, Rafael Alun Dituntut 14 Tahun Penjara dan Denda Rp 18,9 Miliar
Di PT ARME, Rafael Alun yang merupakan pegawai negeri menempatkan istrinya, Ernie Meike Torondek sebagai pemegang saham dan komisaris utama.
Namun pada kenyataannya, Alun yang memegang kendali.
Misalnya saat rapat pemegang saham, Ernie tak pernah hadir. Namun suaminya selalu hadir sebagai perwakilannya.
"Yang selalu aktif memimpin rapat pemegang saham dan mengambil keputusan adalah terdakwa," kata hakim.
Sedangkan perusahaan-perusahaan lain, menurut hakim, tidak terbukti terkait dengan gratifikasi dan pencucian uang Rafael Alun.
Perusahaan-perusahaan itu yakni: PT Cubes Consulting, PT Cahaya Kalbar, dan PT Krisna Bali Internasional Cargo.
"Dengan demikian terdakwa tidak terbukti menerima gratifikasi dari PT Cubes Consulting," ujar hakim.
"Mengenai PT Cahaya Kalbar, bahwa hemat Majelis Hakim, dengan memperhatikan bukti-bukti yang diajukan dalam persidangan ternyata tidak ada bukti yang sah dapat mendukung jika jual-beli rumah dan tanah tersebut sebagai suatu gratifikasi ataupun pemberian dari wajib pajak," kata hakim lagil.
"Dakwaan penuntut umum mengenai gratifikasi dari PT Krisna Bali Internasional Cargo tidak terbukti adanya," ujarnya.
Dalam perkara ini, selain 14 tahun penjara, Rafael Alun juga divonis hukuman denda Rp 500 juta subsidair tiga bulan penjara.
Uang pengganti sebesar Rp 10,79 miliar itu harus dibayar paling lambat satu bulan setelah perkara inkrah atau berkekuatan hukum tetap.
"Dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta yang cukup untuk membayar uang pengganti, maka dipidana penjara selama tiga tahun," kata Hakim.
Hukuman demikian diputuskan Majelis Hakim karena menilai Alun telah menerima gratifikasi berdasarkan Pasal 12 B jo Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Selain itu, Rafael Alun juga dianggap melakukan tindak pidana pencucian uang berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
"Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama sebagaimana termuat dalam dakwaan," kata Hakim Suparman Nyompa.
Reaksi KPK

Juru Bicara KPK Ali Fikri pun mengapresiasi hukuman tersebut, meski lebih ringan dari aspek uang pengganti.
"KPK mengapresiasi atas putusan Majelis Hakim yang telah mempertimbangkan dan memutus sesuai tuntutan amar pidana yang dibacakan Tim Jaksa," katanya.
Fikri mengatakan, kasus Rafael Alun Trisambodo bermula dari pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) yang tidak sesuai dengan profil Penyelenggara Negara.
"Maka ini menjadi terobosan KPK dalam strategi penanganan perkara korupsi," ujarnya.
"Dukungan masyarakat juga yang turut mengawal setiap prosesnya juga menjadi kunci penyelesaian perkara ini," imbuhnya.
Menurut Fikri, KPK mengimbau kepada para penyelenggara negara untuk melaporkan LHKPN-nya secara jujur dan tepat waktu.
Dia mengingatkan batas akhir penyerahan LHKPN tahun ini jatuh pada 31 Maret 2024.
"Peran masyarakat menjadi penting dalam pengawasan LHKPN sebagai instrumen awal transparansi kepemilikan harta seorang penyelenggara negara, untuk mencegah terjadinya potensi tindak pidana korupsi," kata Fikri Ali.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.