Viral Media Sosial

Bukan karena Benci Jokowi, Ini Alasan Denny Indrayana Bersikukuh Ketua MK Anwar Usman Langgar Etik

Denny Indrayana Mengaku Sudah Mengingatkan MK Soal Adanya Putusan Kontroversial berkaitan dengan Pencalonan Putra Jokowi, Gibran Dalam Pilpres 2024

Editor: Dwi Rizki
Kolase Foto Instagram
Kolase Denny Indrayana dan Mahkamah Konstitusi (MK) 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Sidang etik Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman telah mencapai puncaknya.

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) akan membacakan putusan atas dugaan pelanggaran etik Anwar Usman terkait putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 yang kontroversial pada Selasa (7/11/2023).

Dalam putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan Mahasiswa Universitas Surakarta (Unsa), Almas Tsaqibbirru itu, MK merumuskan norma bahwa seorang pejabat yang terpilih melalui pemilu dapat mendaftarkan diri sebagai capres-cawapres meski belum berusia 40 tahun.

Putusan ini secara langsung membuka peluang putra sulung Jokowi sekaligus keponakan Anwar Usman, Gibran Rakabuming Raka maju dalam Pilpres 2024.

Benar saja, hanya berselang beberapa hari setelah pamannya membacakan putusan MK soal batas usia capres-cawapres, Gibran secara aklamasi dipilih Koalisi Indonesia Maju (KIM) sebagai bakal cawapres pendamping Prabowo Subianto pada Minggu (22/10/2023).

Prabowo dan Gibran pun resmi mendaftarkan diri sebagai bakal capres-cawapres ke KPU RI pada Rabu (25/10/2023).

Atas putusan kontroversial tersebut, banyak pihak menilai Anwar Usman diduga telah melakukan pelanggaran kode etik.

Mengingat, Anwar Usman yang merupakan ipar Presiden Joko Widodo, Anwar Usman tetap mengetuai sidang putusan meski sarat dengan kepentingan pribadi.  

Baca juga: Viral Seruan Boikot McD, Starbucks, Coca Cola hingga Pepsi, Ustaz Felix Siauw: Boikot Bukan Solusi

Baca juga: Sudah Pede Bawa Kemenangan untuk Prabowo, Denny Indrayana Sebut Pencalonan Gibran Bisa Dibatalkan

Jelang putusan MKMK, Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) sekaligus Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Denny Indrayana angkat bicara.

Dalam artikelnya berjudul 'Majelis Kehormatan Membuat Sejarah Menyelamatkan Kehormatan Mahkamah Konstitusi', dirinya menyampaikan keputusan MKMK terkait dugaan pelanggaran etik Anwar Usman mampu menyelamatkan kehormatan MK.  

Keputusan yang dijadwalkan akan dibacakan dalam sidang etik oleh Prof Jimly Asshiddiqie itu ditegaskannya menjadi penentu tegaknya moralitas konstitusi dalam melawan dinasti politik.

"Dari seberang negeri, terpisah bentangan lautan dan hamparan daratan, hati dan pikiran saya tetap untuk Indonesia. Besok Selasa, 7 November 2023, akan ada satu tonggak sejarah penting, ketika Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi membacakan putusan bersejarahnya," tulis Denny Indrayana.

"Saya ditanya, kenapa terus melakukan langkah advokasi publik kepada Mahkamah Konstitusi. Jawabannya, karena saya peduli, saya cinta Mahkamah, saya cinta Indonesia," tambahnya. 

Kecintaan, lanjutnya, tidak selalu ditunjukkan dengan puja-puji yang menyanjung, karena hal gtersebut justru akan membuat tersandung.

Kecintaan sesekali harus ditunjukkan dalam bentuk menggoyang kenyamanan, justru karena sayang.

Di tengah tahun politik, tantangan dan godaan kepada Mahkamah Konstitusi diyakini sangatlah berat.

Oleh karena itu, dirinya sebagai sahabat ingin menjadi pengingat, bahwa Mahkamah Konstitusi adalah penjaga moralitas konstitusi.

"Karena itu, saya melakukan advokasi putusan sistem pemilu legislatif. Meskipun berhadapan dengan laporan pidana, juga etika," imbuhnya.

Sebab, dipaparkannya, sedari awal, hampir 4 bulan sebelum putusan 90 yang kontroversial disampaikan Anwar Usman, tepatnya pada 5 Juni 2023, dirinya sudah mengingatkan MK lewat melalui media sosial.

Dalam postingannya, Denny Indrayana mengingatkan banyak pihak soal adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang berkait syarat umur capres-cawapres dan menjadi pintu masuk Gibran menjadi kontestan dalam Pilpres 2024.

Lalu, pada 27 Agustus 2023, diorinya secara resmi menyampaikan laporan pelanggaran kode etik Ketua MK, Anwar Usman kepada MKMK, hampir dua bulan sebelum Putusan 90 dibacakan pada 16 Oktober 2023.

"Jadi, prinsip putusan MK yang final and binding (mengikat), tidak tepat diterapkan kepada aduan saya, karena saya sudah mengingatkan potensi pelanggaran, jauh sebelum putusan dibacakan. Sayangnya tidak mendapat perhatian, dan sengaja dilakukan pembiaran," ungkap Denny Indrayana.

"Lalu, ketika aduan saya menjadi kenyataan, bahwa Putusan 90 sarat benturan kepentingan politik keluarga Presiden Joko Widodo, maka saya berhak menagih: putusan dinyatakan tidak sah. Karena saya sudah memberikan early warning system, peringatan, jauh sebelum putusan dibacakan," bebernya.

Dirinya mengingatkan agar MK tak berlindung dibalik tameng 'final and binding', karena dirinya sudah mengingatkan jauh sebelum putusan 90 diucapkan.

Rakyat Indonesia tentu berharap banyak kepada MKMK untuk keluar dari jebakan prosedural, hukum positivistik yang kaku.

Kemudian menancapkan tonggak sejarah, menjadi penyelamat kehormatan dan kewibawaan Mahkamah Konstitusi.

"Kita tahu kapasitas dan integritas Majelis Kehormatan MK yang mulia. Keahliannya tidak diragukan lagi, keilmuannya lebih dari cukup untuk membuat keputusan yang adil dan bersejarah," jelasnya.

"Majelis tentu juga sangat paham, bahwa kewenangan menguji konstitusionalitas undang-undang, adalah hasil ijtihad para hakim Mahkamah Agung Amerika Serikat, dalam perkara Marbury Vs Madison. Suatu putusan bersejarah, landmark decision, yang mendobrak prinsip kedaulatan dan supremasi parlemen (sovereignty and supremacy of the Parliament)," bebernya.

"Karena itu, sejarah baru harus ditorehkan untuk menolak prinsip final and binding yang disalahgunakan oknum MK untuk melanggengkan kuasa dinasti keluarganya," tegasnya.

Di pundak moralitas dan Integritas Profesor Jimly Asshiddiqie, Profesor Bintan Saragih dan Doktor Wahiddudin Adams harapan bangsa Indonesia digantungkan.

Harapan agar kehormatan hukum tidak lagi direndahkan dan dihinakan.

"Semoga Allah SWT memberikan kekuatan, perlindungan, dan keteguhan dalam menyelamatkan Mahkamah Konstitusi, dan Negara Hukum Indonesia," tutupnya.

Pencalonan Gibran Bisa Dibatalkan

Pencalonan Gibran sebagai Cawapres Prabowo dalam Pilpres 2024 dinilai Guru Besar Hukum Tata Negara, Prof Denny Indrayana bisa dibatalkan atau dinyatakan tidak sah oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). 

Syaratnya, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menyatakan terjadi pelanggaran etik dalam putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat usia capres-cawapres.

Dengan batalnya Gibran maju sebagai Cawapres, Prabowo dipastikan gagal ikut dalam kontsetasi Pilpres 2024. 

"Putusan MKMK itu sebaiknya dilakukan sebelum tanggal 8 November 2023, sehingga masih ada waktu perbaikan nama pasangan calon untuk diajukan ke KPU," ujar Denny Indrayana saat dihubungi Wartakotalive.com.

Putusan MK Tidak Sah

Prof Denny Indrayana menegaskan putusan MK Soal Syarat Umur tidak sah dan tidak bisa menjadi dasar pencalonan dalam Pilpres 2024.

Baca juga: Dipilih PDIP, Denny Indrayana Yakini Mahfud MD Bisa Selamatkan Indonesia yang Terpuruk Akibat Jokowi

Baca juga: Analisis Denny Indrayana Soal Putusan MK Terbukti Nyata: Gibran Berpeluang Jadi Paslon Pilpres 2024

Hal tersebut disampaikan Denny Indrayana dalam pandangan hukum tata negara yang diunggahnya lewat situsnya dennyindrayana.com.

Menurutnya, putusan MK yang berasal dari gugatan mahasiswa UNS bernama Almas Tsaqibbirru Re A. Almas itu cacat konstitusional.

Sehingga dinyatakannya tidak sah. 

"Putusan 90 mempunyai kecacatan konstitusional yang mendasar, dan karenanya TIDAK SAH," tulis Denny Indrayana.

Dirinya pun membeberkan sejumlah hal yang mendasari putusan MK terkait batas usia capres-cawapres itu batal demi hukum.

Alasan pertama adalah putusan MK memungkinkan dinyatakan 'tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum' karena putusan MK tidak diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Hal tersebut diatur dalam Pasal 28 ayat (5) dan (6) Undang-Undang MK dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009 (UU Kekuasaan Kehakiman).

Sehingga akibat hukumnya adalah 'putusan batal demi hukum'.

"Lebih jauh, masih terkait konsep tidak sahnya suatu putusan pengadilan, selain karena tidak dibacakan di hadapan yang terbuka untuk umum, juga karena hakim tidak mundur dalam penanganan perkara dimana sang hakim mempunyai benturan kepentingan," ungkap Denny Indrayana.

"Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa 'seorang hakim … wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa'. Akibat dari tidak mundurnya hakim yang mempunyai benturan kepentingan tersebut adalah, '…putusan dinyatakan tidak sah' (lihat Pasal 17 ayat (5) dan (6) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman)," paparnya.

Karena MK berdasarkan Pasal 24A ayat (2) UUD 1945 secara tegas dinyatakan sebagai kekuasaan kehakiman, maka ketentuan ketidakabsahan putusan yang diatur di dalam UU Kekuasaan Kehakiman tersebut, juga berlaku dan mengikat Mahkamah Konstitusi.

Bahwasanya hakim konstitusi harus mundur jika ada benturan kepentingan dalam penanganan perkara yang terkait keluarganya, juga diatur secara tegas di dalam Peraturan Mahkamah Nomor 9 Tahun 2006, khususnya dalam Prinsip Kedua Ketakberpihakan, butir 5 huruf b, yang mengatur: Hakim konstitusi harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara karena alasan-alasan: Hakim konstitusi tersebut atau anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan.

"Pandangan dan pendapat saya, jelas dan terang-benderang bahwa penanganan Putusan 90 seharusnya tidak diperiksa, diadili, apalagi diputus oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, yang merupakan ipar Presiden Joko Widodo dan keluarga dari Gibran Rakabuming Raka," ungkap Denny Indrayana.

"Terlebih dalam Putusan 90, Pemohon secara jelas mendasarkan argumentasinya pada kekaguman dan klaim prestasi Gibran Rakabuming Raka (lihat butir 9, 16, dan 20 Permohonan).  Maka, meskipun Gibran ataupun Jokowi tidak menjadi Pemohon, tetapi berdasarkan penalaran yang logis, sehat, dan wajar, maka Putusan 90 mempunyai dampak langsung atas peluang Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai kontestan dalam Pilpres 2024," jelasnya.

Sebagai bentuk konkrit pendapat tersebut, dirinya telah secara resmi mengajukan pengaduan dugaan pelanggaran etik oleh Ketua MK Anwar Usman pada 27 Agustus 2023 lalu.

Pengaduan didasari keputusan Anwar Usman yang tidak mundur dalam menangani perkara terkait syarat umur capres-cawapres tersebut.

"Sayangnya, hingga kini, pengaduan tersebut tidak juga mendapatkan tanggapan apalagi diperiksa," jelas Denny Indrayana.

"Sekali lagi, seharusnya dengan logika hukum yang logis, sehat, dan wajar, karena adanya benturan kepentingan tersebut, Ketua MK Anwar Usman sewajibnya mundur dari penanganan semua perkara syarat umur capres-cawapres," jelasnya.

Sehingga, lanjutnya, karena Putusan 90 diperiksa, diadili, dan diputuskan pula oleh Ketua MK Anwar Usman, yang nyata-nyata mempunyai benturan kepentingan, yang tidak mengundurkan diri atas perkara yang terkait langsung dengan kepentingan kakak iparnya Joko Widodo dan Gibran Rakabuming Raka, maka konsekwensi hukumnya Putusan 90 harus dinyatakan 'tidak sah'.

"Di samping pelanggaran benturan kepentingan (conflict of interest) Ketua MK Anwar Usman, Putusan 90 mempunyai banyak cacat konstitusional," jelasnya.

Melengkapi postingannya, Denny Indrayana menilai awalnya putusan MK ditunggu untuk membuka peluang Gibran Jokowi sebagai cawapres.

Tapi ada aksi, muncul reaksi.

Sehingga menurutnya apabila nekat, Jokowi akan berhadapan dengan konsekwensi ditariknya dukungan partai dan kader partainya dari kabinet.

"Jokowi berhitung ulang, bisa dimakzulkan," tulisnya.

Maka, deklarasi dukungan Projo ke 08 dinilainya batal gegap gempita.

Cukup dengan pukulan gong 8 kali.

"Sekarang, apakah akan muncul KIP, sehingga tiga kader NU/PKB/Gus Dur ada di cawapres, atau ET? Ini bukan bocoran, hanya perkiraan," ungkap Denny Indrayana.

"Yang pasti kalau maju menggunakan Putusan 90 MK yang tidak sah, akan problematik dan bermasalah," jelasnya.

Berikut Pandangan Hukum Tata Negara Denny Indrayana:

Sarat Cacat Konstitusional: Putusan MK Soal Syarat Umur, TIDAK SAH (TIDAK BISA MENJADI DASAR PENCALONAN DALAM PILPRES 2024)

Saya sengaja tidak langsung memberikan komentar dan analisis hukum atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90 (”Putusan 90”) terkait konstitusionalitas syarat umur capres-cawapres, yang mengabulkan sebagian permohonan, dan membuka peluang kepala daerah yang pernah/sedang menjabat untuk menjadi kontestan dalam pemilihan presiden.

Saya ingin memberi jarak, dan mengendapkan putusan tersebut.

Satu dan lain hal, karena Putusan 90, sangat penting, sekaligus sangat membingungkan dan aneh, sebagaimana dengan amat jelas disampaikan dalam pendapat hukum berbeda (dissenting opinion) Hakim Konstitusi Saldi Isra serta Arief Hidayat.

Setelah memberi jeda sehari, dan melakukan pengkajian yang lebih mendalam, izinkan saya menyampaikan pandangan hukum tata negara sebagai berikut: Putusan 90 mempunyai kecacatan konstitusional yang mendasar, dan karenanya TIDAK SAH.

Argumentasi hukum yang mendasari kesimpulan tersebut adalah:

1. Adalah benar, bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, diatur ”Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar”. Karena itu, tidak ada upaya hukum apapun atas putusan Mahkamah Konstitusi. Dia langsung final dan langsung berlaku (final and binding).

2. Meskipun bersifat final dan langsung berlaku, putusan MK tetap memungkinkan dinyatakan ”tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum” dalam hal putusan MK ”tidak diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum” (lihat Pasal 28 ayat (5) dan (6) Undang-Undang MK). Lebih jauh, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009 (UU Kekuasaan Kehakiman) menegaskan akibat hukumnya adalah ”putusan batal demi hukum”.

3. Lebih jauh, masih terkait konsep tidak sahnya suatu putusan pengadilan, selain karena tidak dibacakan di hadapan yang terbuka untuk umum, juga karena hakim tidak mundur dalam penanganan perkara dimana sang hakim mempunyai benturan kepentingan.

4. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa ”seorang hakim … wajibmengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa”. Akibat dari tidak mundurnya hakim yang mempunyai benturan kepentingan tersebut adalah, ”…putusan dinyatakan tidak sah” (lihat Pasal 17 ayat (5) dan (6) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman).

5. Karena MK berdasarkan Pasal 24A ayat (2) UUD 1945 secara tegas dinyatakan sebagai kekuasaan kehakiman, maka ketentuan ketidakabsahan putusan yang diatur di dalam UU Kekuasaan Kehakiman tersebut, juga berlaku dan mengikat Mahkamah Konstitusi.

6. Bahwasanya hakim konstitusi harus mundur jika ada benturan kepentingan dalam penanganan perkara yang terkait keluarganya, juga diatur secara tegas di dalam Peraturan Mahkamah Nomor 9 Tahun 2006, khususnya dalam Prinsip Kedua Ketakberpihakan, butir 5 huruf b, yang mengatur:

Hakim konstitusi … harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara … karena alasan-alasan di bawah ini: b. Hakim konstitusi tersebut atau anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan.

7. Mengacu pada kewajiban hakim harusmengundurkan diri jika perkara yang ditanganinya ada benturan kepentingan dengan dirinya—sebagaimana di atur dalam UU Kekuasaan Kehakiman, serta keharusan mengundurkan diri dari menangani perkara yang terkait dengan kepentingan langsung keluarganya sebagaimana diatur dalam Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, maka dengan penafsiran gramatikal dan sistematis, dapat disimpulkan tidak mundurnya seorang hakim konstitusi dari suatu perkara ketika ada benturan kepentingan yang terkait dengan kepentingan langsung keluarganya terhadap putusan, akan membawa konsekwensi hukum bahwa putusan MK yang demikian menjadi TIDAK SAH.

8. Pandangan dan pendapat saya, jelas dan terang-benderang bahwa penanganan Putusan 90 seharusnya tidak diperiksa, diadili, apalagi diputus oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, yang merupakan ipar Presiden Joko Widodo dan keluarga dari Gibran Rakabuming Raka. Terlebih dalam Putusan 90, Pemohon secara jelas mendasarkan argumentasinya pada kekaguman dan klaim prestasi Gibran Rakabuming Raka (lihat butir 9, 16, dan 20 Permohonan).  Maka, meskipun Gibran ataupun Jokowi tidak menjadi Pemohon, tetapi berdasarkan penalaran yang logis, sehat, dan wajar, maka Putusan 90 mempunyai dampak langsung atas peluang Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai kontestan dalam Pilpres 2024.

9. Sebagai bentuk konkrit pendapat tersebut, saya pada 27 Agustus 2023 lalu telah secara resmi mengajukan pengaduan dugaan pelanggaran etik oleh Ketua MK Anwar Usman karena tidak mundur dari memangani perkara terkait syarat umur capres-cawapres tersebut. Surat pengaduan itu, dengan segala argumentasinya, dengan ini saya lampirkan kembali dalam pendapat hukum ini. Sayangnya, hingga kini, pengaduan tersebut tidak juga mendapatkan tanggapan apalagi diperiksa. Sekali lagi, seharusnya dengan logika hukum yang logis, sehat, dan wajar, karena adanya benturan kepentingan tersebut, Ketua MK Anwar Usman sewajibnya mundur dari penanganan semua perkara syarat umur capres-cawapres.

10. Sehingga, karena Putusan 90 diperiksa, diadili, dan diputuskan pula oleh Ketua MK Anwar Usman, yang nyata-nyata mempunyai benturan kepentingan, yang tidak mengundurkan diri atas perkara yang terkait langsung dengan kepentingan kakak iparnya Joko Widodo dan Gibran Rakabuming Raka, maka konsekwensi hukumnya Putusan 90 harus dinyatakan TIDAK SAH.

11. Di samping pelanggaran benturan kepentingan (conflict of interest) Ketua MK Anwar Usman, Putusan 90 mempunyai banyak cacat konstitusional, beberapa yang penting di antaranya adalah:

a. Pemohonnya sebenarnya tidak mempunya legal standing, dan karenanya, permohonan wajarnya dinyatakan tidak diterima, sebagaimana dengan baik dijelaskan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo.

b. Kalaupun diterima legal standingnya, permohonan seharusnya dinyatakan gugur, karena sudah ditarik oleh Pemohon, meskipun kemudian dibatalkan lagi penarikan tersebut. Hal mana menunjukkan pemohon mempermainkan kehormatan MK, sebagaimana secara jelas diargumenkan Hakim Konstitusi Arief Hidayat.

c. Kalaupun permohonan tetap diperiksa, maka sebagaimana putusan-putusan yang dibacakan lebih awal—maka seharusnya permohonan ditolak seluruhnya, dengan alasan syarat umur capres-cawapres adalah open legal policy. Putusan awal mana didiskusikan dalam RPH (Rapat Permusyawaratan Hakim) yang tanpa dihadiri oleh Ketua MK Anwar Usman, sebagaimana dijelaskan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Arief Hidayat.

d. Kalaupun kita menerima amar Putusan 90, tetap saja yang terang memutuskan amar tersebut hanya tiga hakim konstitusi, yaitu: Anwar Usman, Manahan Sitompul, dan Guntur Hamzah. Sedangkan dua hakim konstitusi yang setuju namun berbeda dasar argumennya (concurring) yaitu Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, senyatanya hanya memberikan peluang kepada Gubernur atau Kepala Daerah Provinsi untuk menjadi capres-cawapres. Maka, amar putusan yang membuka peluang kepada seluruh level kepala daerah adalah cacat logika konstitusional, sebagaimana dengan jelas diterangkan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra.

Akhirnya, dengan Putusan 90 yang sarat dengan cacat konstitusional, bahkan seharusnya TIDAK SAH tersebut, maka saya merekomendasikan hal-hal berikut:

1. Putusan 90 yang TIDAK SAH sebijaknya tidak dijadikan dasar dan pertimbangan dalam perhelatan sepenting Pilpres 2024 yang akan sangat menentukan arah kepemimpinan Bangsa Indonesia, yaitu Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029.

2. Bahwa siapapun yang menjadi pasangan calon dalam Pilpres 2024—bukan hanya terkait Gibran Rakabuming Raka—dengan hanya menyandarkan diri pada Putusan 90 akan beresiko dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai paslon dalam Pilpres 2024. Bahkan, kalaupun berhasil terpilih, beresiko dimakzulkan (impeachement) karena sebenarnya tidak memenuhi syarat sebagai pasangan calon presiden ataupun wakil presiden, karena hanya berdasarkan dengan Putusan 90 yang cacat konstitusional dan TIDAK SAH.

3. Mahkamah Konstitusi, dengan dukungan seluruh elemen yang masih sadar dan cinta Indonesia, sebaiknya memproses pelanggaran kode etik yang terjadi dalam Putusan 90, dengan tujuan menegakkan kembali marwah, harkat, martabat, dan kehormatan Mahkamah Konstitusi.

Demikian pandangan hukum tata negara ini saya sampaikan, dengan penuh harapan agar menjadi acuan, bukan hanya dalam membaca Putusan 90, namun juga dalam proses pendaftaran Pilpres 2024.

 

 

 

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved