Kolom Trias Kuncahyono

Suasana Biara Via Cairoli di Basilika dan Damai di Kapel Bertuliskan Sacellum, Sacrarum, Reliquiarum

Susana damai di Biara Via Cairoli di Basilika yang terdapat kapel tempat menyimpan Relikui, peninggalan orang kudus, di Vatikan, Italia.

|
Editor: Suprapto
Erick Sadewa/Kedubes RI di Vatikan untuk Wartakotalive.com
Para suster yang berkaul kekal tidur tiarap sebagai tanda penyerahan diri secara total di Curia Generale Fratelli Minori Cappuccini, Vatikan, Italia. 

Tapi pada akhir abad ke-15, seluruh bangunan dirobohkan dan di tempat itu didirikan Basilika San Lorenzo di Damasco.

Sejarah menceritakan, pada tahun 1798 diduki pasukan Napoleon. Fresco (lukisan dinding) dirusak.

Setelah itu, dua kali direstorasi: 1807-1820 dan 1868-1882. Hasil restorasi itu, masih bisa kita nikmati sekarang, meskipun pada 31 Desember 1939, terbakar. Dan, banyak yang rusak.

***

Tempa-tempat itu memberikan kedamaian; memberikan rasa damai. Meskipun di luar biara dan basilika, hiruk-pikuk oleh banyak hal dan banyak kepentingan.

Bahkan di luar yang lebih jauh lagi, tidak hanya hiruk-pikuk tetapi horor, menakutkan, dan peristiwa yang begitu tragis.

Di tempat-tempat itu perdamaian dan rasa damai, dilemparkan, dibuang, dan dicampakkan oleh mereka yang tidak peduli pada orang lain, pada manusia lain yang berusah payah mencari kedamaian hidup, hati dan jiwa; yang ingin hidup damai.

Sementara, di mana-mana orang yang masih memiliki hati nurani terus berjuang mencari dicari perdamaian dan kedamaian.

Perdamaian dan damai dengan diri sendiri dan dengan orang lain. Segala usaha dan upaya dilakukan untuk mewujudkannya.

Maka kata filsuf Perancis Albert Camus (1913-1960), perdamaian adalah satu-satunya perjuangan hidup mati yang harus dilakukan; perjuangan harus dilakukan sampai tetes darah yang terakhir karena perdamaian itu sangat berharga.

Sebab, kata Paus Fransiskus (2013) menjadi manusia berarti peduli satu sama lain! Artinya, tidak menyengsarakan manusia lain dengan segala macam cara dan bentuk; segala macam tujuan dan kepentingan. Tapi, berjuang mewujudkan perdamaian dan kedamaian.

Namun, ketika harmoni itu rusak terjadi metamorfosis: orang yang seharusnya diperhatikan dan dicintai menjadi musuh, dilawan, dibunuh.

Orang yang seharusnya dilindungi, justru diabaikan. Orang yang seharusnya menjadi pelindung malahan menjadi predator, pemangsa laksana srigala.

Bila sudah demikian, kata dramawan Plautus (254-184), Lupus est homo homini, non homo, quom qualis sit non novit, terjemahan bebasnya, manusia bukan manusia tetapi serigala bagi orang lain.

Itulah sebabnya, mengapa terjadi kekerasan, banyak konflik, banyak perang yang menandai sejarah kita…Bahkan, kata Paus Fransiskus, hari ini kita membiarkan diri kita dibimbing oleh berhala, oleh keegoisan, oleh kepentingan kita sendiri.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved