Viral Media Sosial

Sudah Pede Bawa Kemenangan untuk Prabowo, Denny Indrayana Sebut Pencalonan Gibran Bisa Dibatalkan

Gibran Sudah Pede Bawa Kemenangan untuk Prabowo Pilpres 2024, Denny Indrayana Sebut Pencalonan Gibran Bisa Dibatalkan

Editor: Dwi Rizki
Istimewa
Cawapres Gibran Rakabuming Raka tampil mempesona dihadapan ribuan pendukung dan relawan di INDONESIA Arena Gelora Bung Karno, Rabu (25/10/2023). Ia meminta Prabowo tenang saja, karena dirinya sudah hadir. 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Sorak sorai pendukung Prabowo Subianto riuh rendah ketika Gibran Rakabuming Raka hadir di Indonesia Arena, Gelora Bung Karno, Senayan, Tanah Abang pada Rabu (25/10/2023).

Suasana pun semakin meriah ketika putra sulung Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) itu meyakinkan Prabowo Subianto bisa tenang menghadapi Pilpres 2024.

Alasannya karena dirinya siap memenangkan Prabowo dalam Pilpres 2024 mendatang.

"Yang terhormat Ketua Umum Partai Gerindra dan calon Presiden Prabowo Subianto," kata Gibran.

"Pak Prabowo, tenang saja Pak. Bapak tenang saja. Saya sudah ada di sini," tambahnya disambut meriah para pendukung yang hadir.

Pernyataan Gibran tersebut pun viral di media sosial.

Tak hanya dinilai sangat percaya diri telah menjadi kunci kemenangan Prabowo, banyak pihak menilai pencalonan Gibran sangat dipaksakan.

Mengingat, Gibran masih berstatus kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Selain itu, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan mahasiswa UNS bernama Almas Tsaqibbirru Re A. Almas pada Senin (16/10/2023) soal batas usia capres-cawapres kini dipertanyakan.

Pencalonan Gibran sebagai Cawapres Prabowo dalam Pilpres 2024 dinilai Guru Besar Hukum Tata Negara, Prof Denny Indrayana bisa dibatalkan atau dinyatakan tidak sah oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). 

Syaratnya, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menyatakan terjadi pelanggaran etik dalam putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat usia capres-cawapres.

Dengan batalnya Gibran maju sebagai Cawapres, Prabowo dipastikan gagal ikut dalam kontsetasi Pilpres 2024. 

"Putusan MKMK itu sebaiknya dilakukan sebelum tanggal 8 November 2023, sehingga masih ada waktu perbaikan nama pasangan calon untuk diajukan ke KPU," ujar Denny Indrayana saat dihubungi Wartakotalive.com.

Denny juga mengirimkan rilis kepada Wartakotalive.com yang berisi pandangannya saat memberikan kesaksian dalam sidang MKMK pada Kamis (26/10/2023). 

"Sebelum sidang ditutup, saya meminta izin menyampaikan masukan dan pandangan, bahwa putusan MKMK tidak bisa dilepaskan dari proses pencalonan Pilpres 2024, karena perkara yang paling menjadi sorotan adalah Putusan 90 MK," kata Denny.

Perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat umur capres-cawapres yang membuka peluang Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapresnya Prabowo Subianto, dan telah mendaftar pada Kamis 25 Oktober 2023.

Oleh karena itu, meskipun yang diperiksa adalah laporan saya kepada jakim terlapor Anwar Usman, Ketua MK, menjadi penting untuk juga memperhatikan masa pendaftaran pasangan capres-cawapres di KPU.

Berdasarkan Tahapan Pilpres, jadwal yang paling terkait adalah “Pengusulan Bakal Pasangan Calon Pengganti” yang dimulai pada tanggal 29 Oktober dan berakhir pada 8 November 2023.

Karena itu, kata Denny, adalah penting, untuk putusan MKMK diterbitkan sebelum batas akhir pendaftaran di tanggal 8 November itu, sehingga ada manfaatnya, terutama jika memang ditemukan ada pelanggaran etika hakim konstitusi dalam memeriksa dan mengadili Putusan 90—yang menjadi dasar pencawapresan Gibran Bin Jokowi, keponakan Anwar Usman.

Bakal capres-cawapres yang belum berusia 40 tahun jadi tak memenuhi syarat maju di pilpres, sebagaimana ketentuan sebelumnya yang diatur dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Pasal tersebut sebelum ada putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 berbunyi: "Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.” 

Putusan MK Tidak Sah

Dalam pandangan Denny, putusan MK Nomor 90 yang membuka peluang Gibran Rakabuming Raka menjadi kontestan dalam Pilpres 2024 seharusnya dinyatakan tidak sah.

Hal ini karena tidak mundurnya hakim Anwar Usman padahal memiliki benturan kepentingan atas perkara tersebut. Hakim Usman adalah paman Gibran Rakabuming Raka. Anwar Usman menikah dengan adik Presiden Joko Widodo. 

Menurut Denny,  tindakan Anwar Usman dalam ikut memutus perkara tersebut meski memiliki hubungan kerabat dengan Gibran memiliki konsekwensi yang sangat serius.

"Putusan MK nomor 90 harus dinyatakan tidak sah dan tidak bida dijadikan dasar untuk mendaftar sebagai paslon dalam Pilpres 2024," katanya.

Denny menambahkan, "Jika MKMK menyatakan ada pelanggaran etik, putusan tidak sah, maka KPU harus menolak pendaftaran Gibran Jokowi sebagai kontestan dalam Pilpres 2024. Jika tetap diterima, saya mempertimbangkan menggugat sengketa administrasi pencalonan tersebut ke Bawaslu RI," ujar Denny.

Seperti diberitakan sebelumnya, Denny meminta agar putusan MKMK dapat membatalkan putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023, seandainya terbukti hakim konstitusi melanggar etik dan pedoman perilaku hakim.

Menurut Denny, putusan itu layak dibatalkan karena cacat etik dalam proses penyusunannya, berdasarkan UU Kekuasaan Kehakiman.

Sementara itu, Kompas.com memberitakan, dalam sidang yang sama, Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie memberi isyarat bakal mempertimbangkan argumen Denny Indrayana.

Jimly bahkan menantang kesiapan Denny terbang ke Jakarta untuk mempercepat pemeriksaan perkara ini.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu pun menyanggupinya.

"Yang diminta Pak Denny harus diterima, apa boleh buat, akan kami rapatkan bagaimana way out-nya untuk misalnya yang (laporan dari) rombongannya Pak Denny atau Integrity Law Office ini apakah didahulukan," kata Jimly.

Sebut Putusan MK Tidak Sah, Tak Bisa Jadi Dasar Pendaftaran Gibran ke KPU

Diketahui, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan mahasiswa UNS bernama Almas Tsaqibbirru Re A. Almas pada Senin (16/10/2023) kian berpolemik.

Pasalnya, merujuk putusan tersebut, seseorang yang berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/ kota yang dipilih melalui pemilihan umum, layak untuk berpartisipasi dalam kontestasi Pilpres.

Putusan yang dibacakan Ketua MK, Anwar Usman itu pun membuka peluang Gibran Rakabuming Raka maju sebagai konstestan Pilpres 2024.

Sehingga, sesuai prediksi banyak pihak, Gibran yang kini menjabat sebagai Wali Kota Solo itu dapat menjadi Cawapres Prabowo Subianto dalam Pilpres 2024 mendatang.

Putusan MK itu pun viral di media sosial.

Bahkan kata 'Paman' jadi trending topik twitter pada Selasa (17/10/2023).

Dalam trending topik itu, beragam pendapat pun dituliskan masyarakat terkait putusan MK.

Banyak pihak menilai putusan itu sarat dengan kepentingan 'keluarga'.

Mengingat Ketua MK, Anwar Usman merupakan Ipar dari Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi).

Sedangkan sosok yang diperjuangkan dalam gugatan yang diajukan mahasiswa UNS bernama Almas Tsaqibbirru Re A. Almas itu adalah Gibran, yakni Putra Sulung Jokowi.

Terkait hal tersebut, mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) sekaligus Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Prof Denny Indrayana angkat bicara.

Dirinya menegaskan putusan MK Soal Syarat Umur tidak sah dan tidak bisa menjadi dasar pencalonan dalam Pilpres 2024.

Baca juga: Dipilih PDIP, Denny Indrayana Yakini Mahfud MD Bisa Selamatkan Indonesia yang Terpuruk Akibat Jokowi

Baca juga: Analisis Denny Indrayana Soal Putusan MK Terbukti Nyata: Gibran Berpeluang Jadi Paslon Pilpres 2024

Hal tersebut disampaikan Denny Indrayana dalam pandangan hukum tata negara yang diunggahnya lewat situsnya dennyindrayana.com.

Menurutnya, putusan MK yang berasal dari gugatan mahasiswa UNS bernama Almas Tsaqibbirru Re A. Almas itu cacat konstitusional.

Sehingga dinyatakannya tidak sah. 

"Putusan 90 mempunyai kecacatan konstitusional yang mendasar, dan karenanya TIDAK SAH," tulis Denny Indrayana.

Dirinya pun membeberkan sejumlah hal yang mendasari putusan MK terkait batas usia capres-cawapres itu batal demi hukum.

Alasan pertama adalah putusan MK memungkinkan dinyatakan 'tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum' karena putusan MK tidak diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Hal tersebut diatur dalam Pasal 28 ayat (5) dan (6) Undang-Undang MK dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009 (UU Kekuasaan Kehakiman).

Sehingga akibat hukumnya adalah 'putusan batal demi hukum'.

"Lebih jauh, masih terkait konsep tidak sahnya suatu putusan pengadilan, selain karena tidak dibacakan di hadapan yang terbuka untuk umum, juga karena hakim tidak mundur dalam penanganan perkara dimana sang hakim mempunyai benturan kepentingan," ungkap Denny Indrayana.

"Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa 'seorang hakim … wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa'. Akibat dari tidak mundurnya hakim yang mempunyai benturan kepentingan tersebut adalah, '…putusan dinyatakan tidak sah' (lihat Pasal 17 ayat (5) dan (6) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman)," paparnya.

Karena MK berdasarkan Pasal 24A ayat (2) UUD 1945 secara tegas dinyatakan sebagai kekuasaan kehakiman, maka ketentuan ketidakabsahan putusan yang diatur di dalam UU Kekuasaan Kehakiman tersebut, juga berlaku dan mengikat Mahkamah Konstitusi.

Bahwasanya hakim konstitusi harus mundur jika ada benturan kepentingan dalam penanganan perkara yang terkait keluarganya, juga diatur secara tegas di dalam Peraturan Mahkamah Nomor 9 Tahun 2006, khususnya dalam Prinsip Kedua Ketakberpihakan, butir 5 huruf b, yang mengatur: Hakim konstitusi harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara karena alasan-alasan: Hakim konstitusi tersebut atau anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan.

"Pandangan dan pendapat saya, jelas dan terang-benderang bahwa penanganan Putusan 90 seharusnya tidak diperiksa, diadili, apalagi diputus oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, yang merupakan ipar Presiden Joko Widodo dan keluarga dari Gibran Rakabuming Raka," ungkap Denny Indrayana.

"Terlebih dalam Putusan 90, Pemohon secara jelas mendasarkan argumentasinya pada kekaguman dan klaim prestasi Gibran Rakabuming Raka (lihat butir 9, 16, dan 20 Permohonan).  Maka, meskipun Gibran ataupun Jokowi tidak menjadi Pemohon, tetapi berdasarkan penalaran yang logis, sehat, dan wajar, maka Putusan 90 mempunyai dampak langsung atas peluang Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai kontestan dalam Pilpres 2024," jelasnya.

Sebagai bentuk konkrit pendapat tersebut, dirinya telah secara resmi mengajukan pengaduan dugaan pelanggaran etik oleh Ketua MK Anwar Usman pada 27 Agustus 2023 lalu.

Pengaduan didasari keputusan Anwar Usman yang tidak mundur dalam menangani perkara terkait syarat umur capres-cawapres tersebut.

"Sayangnya, hingga kini, pengaduan tersebut tidak juga mendapatkan tanggapan apalagi diperiksa," jelas Denny Indrayana.

"Sekali lagi, seharusnya dengan logika hukum yang logis, sehat, dan wajar, karena adanya benturan kepentingan tersebut, Ketua MK Anwar Usman sewajibnya mundur dari penanganan semua perkara syarat umur capres-cawapres," jelasnya.

Sehingga, lanjutnya, karena Putusan 90 diperiksa, diadili, dan diputuskan pula oleh Ketua MK Anwar Usman, yang nyata-nyata mempunyai benturan kepentingan, yang tidak mengundurkan diri atas perkara yang terkait langsung dengan kepentingan kakak iparnya Joko Widodo dan Gibran Rakabuming Raka, maka konsekwensi hukumnya Putusan 90 harus dinyatakan 'tidak sah'.

"Di samping pelanggaran benturan kepentingan (conflict of interest) Ketua MK Anwar Usman, Putusan 90 mempunyai banyak cacat konstitusional," jelasnya.

Melengkapi postingannya, Denny Indrayana menilai awalnya putusan MK ditunggu untuk membuka peluang Gibran Jokowi sebagai cawapres.

Tapi ada aksi, muncul reaksi.

Sehingga menurutnya apabila nekat, Jokowi akan berhadapan dengan konsekwensi ditariknya dukungan partai dan kader partainya dari kabinet.

"Jokowi berhitung ulang, bisa dimakzulkan," tulisnya.

Maka, deklarasi dukungan Projo ke 08 dinilainya batal gegap gempita.

Cukup dengan pukulan gong 8 kali.

"Sekarang, apakah akan muncul KIP, sehingga tiga kader NU/PKB/Gus Dur ada di cawapres, atau ET? Ini bukan bocoran, hanya perkiraan," ungkap Denny Indrayana.

"Yang pasti kalau maju menggunakan Putusan 90 MK yang tidak sah, akan problematik dan bermasalah," jelasnya.

Berikut Pandangan Hukum Tata Negara Denny Indrayana:

Sarat Cacat Konstitusional: Putusan MK Soal Syarat Umur, TIDAK SAH (TIDAK BISA MENJADI DASAR PENCALONAN DALAM PILPRES 2024)

Saya sengaja tidak langsung memberikan komentar dan analisis hukum atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90 (”Putusan 90”) terkait konstitusionalitas syarat umur capres-cawapres, yang mengabulkan sebagian permohonan, dan membuka peluang kepala daerah yang pernah/sedang menjabat untuk menjadi kontestan dalam pemilihan presiden.

Saya ingin memberi jarak, dan mengendapkan putusan tersebut.

Satu dan lain hal, karena Putusan 90, sangat penting, sekaligus sangat membingungkan dan aneh, sebagaimana dengan amat jelas disampaikan dalam pendapat hukum berbeda (dissenting opinion) Hakim Konstitusi Saldi Isra serta Arief Hidayat.

Setelah memberi jeda sehari, dan melakukan pengkajian yang lebih mendalam, izinkan saya menyampaikan pandangan hukum tata negara sebagai berikut: Putusan 90 mempunyai kecacatan konstitusional yang mendasar, dan karenanya TIDAK SAH.

Argumentasi hukum yang mendasari kesimpulan tersebut adalah:

1. Adalah benar, bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, diatur ”Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar”. Karena itu, tidak ada upaya hukum apapun atas putusan Mahkamah Konstitusi. Dia langsung final dan langsung berlaku (final and binding).

2. Meskipun bersifat final dan langsung berlaku, putusan MK tetap memungkinkan dinyatakan ”tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum” dalam hal putusan MK ”tidak diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum” (lihat Pasal 28 ayat (5) dan (6) Undang-Undang MK). Lebih jauh, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009 (UU Kekuasaan Kehakiman) menegaskan akibat hukumnya adalah ”putusan batal demi hukum”.

3. Lebih jauh, masih terkait konsep tidak sahnya suatu putusan pengadilan, selain karena tidak dibacakan di hadapan yang terbuka untuk umum, juga karena hakim tidak mundur dalam penanganan perkara dimana sang hakim mempunyai benturan kepentingan.

4. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa ”seorang hakim … wajibmengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa”. Akibat dari tidak mundurnya hakim yang mempunyai benturan kepentingan tersebut adalah, ”…putusan dinyatakan tidak sah” (lihat Pasal 17 ayat (5) dan (6) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman).

5. Karena MK berdasarkan Pasal 24A ayat (2) UUD 1945 secara tegas dinyatakan sebagai kekuasaan kehakiman, maka ketentuan ketidakabsahan putusan yang diatur di dalam UU Kekuasaan Kehakiman tersebut, juga berlaku dan mengikat Mahkamah Konstitusi.

6. Bahwasanya hakim konstitusi harus mundur jika ada benturan kepentingan dalam penanganan perkara yang terkait keluarganya, juga diatur secara tegas di dalam Peraturan Mahkamah Nomor 9 Tahun 2006, khususnya dalam Prinsip Kedua Ketakberpihakan, butir 5 huruf b, yang mengatur:

Hakim konstitusi … harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara … karena alasan-alasan di bawah ini: b. Hakim konstitusi tersebut atau anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan.

7. Mengacu pada kewajiban hakim harusmengundurkan diri jika perkara yang ditanganinya ada benturan kepentingan dengan dirinya—sebagaimana di atur dalam UU Kekuasaan Kehakiman, serta keharusan mengundurkan diri dari menangani perkara yang terkait dengan kepentingan langsung keluarganya sebagaimana diatur dalam Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, maka dengan penafsiran gramatikal dan sistematis, dapat disimpulkan tidak mundurnya seorang hakim konstitusi dari suatu perkara ketika ada benturan kepentingan yang terkait dengan kepentingan langsung keluarganya terhadap putusan, akan membawa konsekwensi hukum bahwa putusan MK yang demikian menjadi TIDAK SAH.

8. Pandangan dan pendapat saya, jelas dan terang-benderang bahwa penanganan Putusan 90 seharusnya tidak diperiksa, diadili, apalagi diputus oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, yang merupakan ipar Presiden Joko Widodo dan keluarga dari Gibran Rakabuming Raka. Terlebih dalam Putusan 90, Pemohon secara jelas mendasarkan argumentasinya pada kekaguman dan klaim prestasi Gibran Rakabuming Raka (lihat butir 9, 16, dan 20 Permohonan).  Maka, meskipun Gibran ataupun Jokowi tidak menjadi Pemohon, tetapi berdasarkan penalaran yang logis, sehat, dan wajar, maka Putusan 90 mempunyai dampak langsung atas peluang Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai kontestan dalam Pilpres 2024.

9. Sebagai bentuk konkrit pendapat tersebut, saya pada 27 Agustus 2023 lalu telah secara resmi mengajukan pengaduan dugaan pelanggaran etik oleh Ketua MK Anwar Usman karena tidak mundur dari memangani perkara terkait syarat umur capres-cawapres tersebut. Surat pengaduan itu, dengan segala argumentasinya, dengan ini saya lampirkan kembali dalam pendapat hukum ini. Sayangnya, hingga kini, pengaduan tersebut tidak juga mendapatkan tanggapan apalagi diperiksa. Sekali lagi, seharusnya dengan logika hukum yang logis, sehat, dan wajar, karena adanya benturan kepentingan tersebut, Ketua MK Anwar Usman sewajibnya mundur dari penanganan semua perkara syarat umur capres-cawapres.

10. Sehingga, karena Putusan 90 diperiksa, diadili, dan diputuskan pula oleh Ketua MK Anwar Usman, yang nyata-nyata mempunyai benturan kepentingan, yang tidak mengundurkan diri atas perkara yang terkait langsung dengan kepentingan kakak iparnya Joko Widodo dan Gibran Rakabuming Raka, maka konsekwensi hukumnya Putusan 90 harus dinyatakan TIDAK SAH.

11. Di samping pelanggaran benturan kepentingan (conflict of interest) Ketua MK Anwar Usman, Putusan 90 mempunyai banyak cacat konstitusional, beberapa yang penting di antaranya adalah:

a. Pemohonnya sebenarnya tidak mempunya legal standing, dan karenanya, permohonan wajarnya dinyatakan tidak diterima, sebagaimana dengan baik dijelaskan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo.

b. Kalaupun diterima legal standingnya, permohonan seharusnya dinyatakan gugur, karena sudah ditarik oleh Pemohon, meskipun kemudian dibatalkan lagi penarikan tersebut. Hal mana menunjukkan pemohon mempermainkan kehormatan MK, sebagaimana secara jelas diargumenkan Hakim Konstitusi Arief Hidayat.

c. Kalaupun permohonan tetap diperiksa, maka sebagaimana putusan-putusan yang dibacakan lebih awal—maka seharusnya permohonan ditolak seluruhnya, dengan alasan syarat umur capres-cawapres adalah open legal policy. Putusan awal mana didiskusikan dalam RPH (Rapat Permusyawaratan Hakim) yang tanpa dihadiri oleh Ketua MK Anwar Usman, sebagaimana dijelaskan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Arief Hidayat.

d. Kalaupun kita menerima amar Putusan 90, tetap saja yang terang memutuskan amar tersebut hanya tiga hakim konstitusi, yaitu: Anwar Usman, Manahan Sitompul, dan Guntur Hamzah. Sedangkan dua hakim konstitusi yang setuju namun berbeda dasar argumennya (concurring) yaitu Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, senyatanya hanya memberikan peluang kepada Gubernur atau Kepala Daerah Provinsi untuk menjadi capres-cawapres. Maka, amar putusan yang membuka peluang kepada seluruh level kepala daerah adalah cacat logika konstitusional, sebagaimana dengan jelas diterangkan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra.

Akhirnya, dengan Putusan 90 yang sarat dengan cacat konstitusional, bahkan seharusnya TIDAK SAH tersebut, maka saya merekomendasikan hal-hal berikut:

1. Putusan 90 yang TIDAK SAH sebijaknya tidak dijadikan dasar dan pertimbangan dalam perhelatan sepenting Pilpres 2024 yang akan sangat menentukan arah kepemimpinan Bangsa Indonesia, yaitu Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029.

2. Bahwa siapapun yang menjadi pasangan calon dalam Pilpres 2024—bukan hanya terkait Gibran Rakabuming Raka—dengan hanya menyandarkan diri pada Putusan 90 akan beresiko dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai paslon dalam Pilpres 2024. Bahkan, kalaupun berhasil terpilih, beresiko dimakzulkan (impeachement) karena sebenarnya tidak memenuhi syarat sebagai pasangan calon presiden ataupun wakil presiden, karena hanya berdasarkan dengan Putusan 90 yang cacat konstitusional dan TIDAK SAH.

3. Mahkamah Konstitusi, dengan dukungan seluruh elemen yang masih sadar dan cinta Indonesia, sebaiknya memproses pelanggaran kode etik yang terjadi dalam Putusan 90, dengan tujuan menegakkan kembali marwah, harkat, martabat, dan kehormatan Mahkamah Konstitusi.

Demikian pandangan hukum tata negara ini saya sampaikan, dengan penuh harapan agar menjadi acuan, bukan hanya dalam membaca Putusan 90, namun juga dalam proses pendaftaran Pilpres 2024.

Baca Berita Warta Kota lainnya di Google News

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved