Korupsi

KPK Cabut Status Tersangka Kabasarnas, Usman Hamid: Aneh, Mau Jabatan, Tapi tidak Tunduk Hukum Sipil

Aktivis HAM Usman Hamid menyoroti inkonsistensi dan arogansi TNI pada kasus Marsdya Henri Alfiandi.

Editor: Valentino Verry
Kompas.com/Nabilla Tashandra
USMAN Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia, menyoroti inkonsistensi TNI. Mereka mau mengisi jabatan sipil, namun saat bersalah tak mau tunduk pada hukum sipil. 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Saat ini tengah terjadi pro kontra atas penangkapan Kabasarnas Marsdya Henri Alfiandi oleh KPK dari sebuah operasi tangkap tangan (OTT).

Sebelumnya, Henri Alfiandi ditetapkan KPK sebagai tersangka dugaan suap pengadaan sejumlah proyek di Basarnas hingga Rp 88,3 miliar sejak 2021-2023.

Namun, status tersangka itu tiba-tiba dicabut, setelah KPK digeruduk rombongan petinggi TNI, Jumat (28/7/2023).

Kini, status Henri menjadi saksi, dia belum tersangka jika pihak Puspom TNI belum memutuskannya.

Tentu ini sangat aneh, meski sudah tertangkap basah korupsi.

Ketidakadilan dan arogansi TNI ini pun mendapat sorotan masyarakat, terutama aktivis HAM dan pengamat.

"Ini menghidupkan kembali status anggota TNI sebagai warga negara kelas satu dan merupakan wujud inkonsistensi kebijakan," kata Direktur Eksekutif Amnesty International, Usman Hamid, Minggu (30/7/2023).

Baca juga: Usai Anak Buah Terciduk Korupsi, Ini Pesan Panglima TNI Kepada Kepala Basarnas Baru

"Prajurit TNI aktif boleh duduk di jabatan sipil, tapi ketika korupsi tidak mau tunduk pada hukum sipil. Ini inkonsistensi kebijakan," imbuhnya.

Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI sebetulnya mengatur bahwa jabatan sipil hanya dapat diduduki prajurit yang sudah pensiun atau mundur. Hal itu termaktub dalam Pasal 47 ayat (1).

Namun, pada ayat (2), UU TNI mengatur ada sejumlah jabatan sipil yang diperbolehkan diisi prajurit aktif, yaitu kantor yang berkenaan dengan politik dan keamanan negara, pertahanan, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, lembaga ketahanan nasional, dewan pertahanan nasional, search and rescue (sar) nasional, narkotika nasional, dan Mahkamah Agung.

Namun, itu bukan berarti jabatan itu harus berasal dari unsur tentara.

Baca juga: Buntut Tetapkan TNI Tersangka Korupsi, KPK Akan Dilaporkan ke Dewas dan DPR RI

Di samping itu, Pasal 47 ayat (3) beleid yang sama menegaskan bahwa prajurit yang duduk di beberapa lembaga, termasuk Basarnas, harus tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan itu.

Usman Hamid menegaskan bahwa Basarnas adalah lembaga dengan jabatan sipil.

Oleh karena itu, kasus hukum yang menjerat pejabat Basarnas semestinya tunduk pada peradilan sipil.

Apalagi, Pasal 42 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menegaskan bahwa lembaga antirasuah itu "berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum".

Baca juga: Novel Baswedan Sebut Ketua KPK Cuci Tangan Terkait OTT Kepala Basarnas: Sungguh Keterlaluan

Halaman
123
Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved