Pilpres 2024

Kelompok yang Ingin Pemilu 2024 Ditunda Dinilai Relatif Terorganisir, Sistematis dan Dianggap Serius

Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Noory Okthariza sebut ada kelompok terorganisir ini Pemilu 2024 ditunda.

Editor: PanjiBaskhara
Istimewa
Ilustrasi - Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Noory Okthariza sebut ada kelompok terorganisir ini Pemilu 2024 ditunda. 

WARTAKOTALIVE.COM - Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait penundaan Pemilu 2024 menghebohkan publik.

Pasalnya, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut berdasarkan gugatan dari Partai Rakyat Adil Makmur (Prima).

Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Noory Okthariza mengatakan sulit untuk tidak melihat keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait penundaan Pemilu 2024.

Apalagi menyangkut perkara Partai Prima sebagai bagian dari kelompok-kelompok yang menginginkan Pemilu 2024 ditunda.

Baca juga: Penundaan Pemilu 2024 Memicu People Power, Jumhur Hidayat: Ujung-ujungnya Buruh Lagi yang Dirugikan!

Baca juga: Anggota KPU RI Sebut Tahapan Pemilu 2024 Tetap Berlanjut Sesuai dengan Peraturan yang Berlaku: Fokus

Baca juga: Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Soal Penundaan Pemilu 2024, KPU RI: Tidak Terganggu

Kelompok-kelompok yang ingin Pemilu 2024 ditunda, kata dia, bisa saja terorganisir secara rapi tapi bisa juga tidak terlalu terorganisir.

Namun demikian, kata dia, tujuan kelompok tersebut sama yaitu Pemilu 2024 ditunda.

Jauh sebelum putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut, kata dia, ia melihat adanya indikasi mobilisasi atau orkestrasi dalam memainkan isu-isu yang tujuannya untuk menunda Pemilu 2024.

Ia mencontohkan misalnya ada yang ingin masa perpanjangan presiden tiga periode.

Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Noory Okthariza dalam CSIS Media Briefing bertajuk Menanggapi Putusan PN Jakarta Pusat Nomor 757: Memastikan Pemilu Tepat Waktu di Auditorium CSIS Gedung Pakarti Centre Jakarta Pusat pada Jumat (3/3/2023). (Tribunnews.com/ Gita Irawan)

 

Ada yang meminta amandemen konstitusi, ada yang minta mengembalikan GBHN, ada yang memobilisasi ribuan kepala desa untuk menambah masa jabatan kepala desa, dan juga ada yang meminta agar gubernur di seluruh provinsi ditunjuk oleh DPRD dan bukan untuk rakyat.

Hal tersebut disampaikan oleh Noory Okthariza dalam CSIS Media Briefing bertajuk Menanggapi Putusan PN Jakarta Pusat Nomor 757: Memastikan Pemilu Tepat Waktu di Auditorium CSIS Gedung Pakarti Centre Jakarta Pusat pada Jumat (3/3/2023).

"Jadi saya melihat ini digerakan oleh kelompok yang relatif terorganisir, sistematis, dan semakin ke sini harus dianggap serius," kata Noory.

"Siapa mereka? Mungkin nggak perlu dibuka di sini. Tapi sebetulnya relatif gampang untuk dilacak jejak sosial medianya," sambung dia.

Noory mengatakan sulit untuk mengatakan secara pasti siapa mereka meskipun jejak digitalnya bisa dilacak.

Namun demikian, kata dia, kelompok-kelompok tersebut digerakkan oleh orang yang dekat dengan kekuasaan, punya akses dengan kekuasaan, dan punya sumber daya untuk menggerakkan isu-isu yang dimainkannya.

"Tetapi paling tidak kita tahu bahwa ini pasti digerakkan oleh orang yang dekat dengan kekuasaan, punya akses entah itu secara langsung atau enggak langsung dengan kekuasaan, dan pasti mereka punya resource untuk menggerakkan ini semua," kata Noory.

Ia juga melihat semakin mendekat ke tahun politik, dinamika yang terjadi akibat isu-isu tersebut kemudian dijadikan komoditas untuk political bargain.

"Dan itu sepertinya terjadi. Sekali di stop, munculin isu baru, sekali di stop munculin isu baru, dan itu menciptakan dinamika tertentu, dan dinamika itulah yang dijadikan bargain (daya tawar) oleh orang yang memainkan isu ini. Jadi isu dijadikan komoditas," kata Noory.

Noory menduga kuat ada sejumlah keuntungan yang mungkin dicari oleh kelompok-kelompok yang menginginkan penundaan Pemilu 2024.

Satu diantaranya, kata dia, adalah keuntungan ekonomi.

Apabila tesis oligarki yang sering dipakai dalam menjelaskan politik Indonesia diyakini, kata dia, maka kemungkinan ada elit-elit yang berkuasa saat ini memiliki kepentingan untuk mengamankan bisnisnya.

"Selain dia memiliki akses langsung kepada politik, dia juga punya kepentingan untuk mengamankan misalnya bisnisnya?"

"Mungkin iya, dan mungkin enggak. Kita tidak bisa melakukan verifikasi langsung kan kecuali kita punya buktinya," kata dia.

Keuntungan lainnya yang mungkin lebih nyata, kata dia, adalah keuntungan politik.

Salah satu keuntungan politik yang mungkin didapat oleh kelompok-kelompok tersebut adalah mereka dapat mereorganisasi lagi kekuatan-kekuatan politiknya.

"Dengan menunda pemilu, misalnya satu tahun, dua tahun, banyak cara misalnya untuk mereorganisasi lagi kekuatan-kekuatan politiknya," sambung dia.

Penundaan Pemilu 2024 Memicu People Power

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait penundaan Pemilu 2024 menghebohkan publik.

Pasalnya, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut berdasarkan gugatan dari Partai Rakyat Adil Makmur (Prima).

Namun, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Partai Prima agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) memulai dari proses awal Pemilu 2024 dinilai tidak masuk akal.

Tidak masuk akalnya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat meminta KPU memulai proses awal Pemilu 2024 ini dinyatakan Ketua Umum DPP KSPSI, Jumhur Hidayat.

Menurut Jumhur Hidayat, apabila terjadi penundaan pemilu, maka akan memicu people power.

Karena, menurutnya, pemilu adalah agenda sakral bangsa.

"Untuk gerakan buruh saya pastikan akan berbondong-bondong bersama mahasiswa mengepung DPR bila ada penundaan pemilu"

"Karena akan mengganggu kepastian berusaha. Ujung-ujungnya kan buruh lagi yang dirugikan," kata Jumhur dalam keterangannya, Jumat (3/3/2023).

Dia mengatakan bahwa keputusan sengketa seperti itu bisa mengganggu semua pihak di luar yang bersengketa.

Lebih parah lagi, menurut Jumhur, putusan ini bisa melewati ketentuan konstitusi yang mengharuskan pemilu digelar setiap lima tahun sekali.

"Sepertinya hakim-hakim yang menyidangkan kasus ini benar-benar buta hukum tata negara sehingga buat keputusan yang ngawur," kata Jumhur.

Namun begitu, Jumhur tidak langsung percaya bahwa hakim-hakim itu berdiri sendiri, bebas dari intervensi.

Kata dia, ada kemungkinan putusan PN Jakpus itu berada dalam satu orkestra dengan pihak-pihak petinggi negara dan pemerintahan yang menginginkan penundaan pemilu.

"Maksudnya ya untuk dijadikan serangkaian ‘alasan’ sekaligus test the water mengetahui tanggapan masyarakat," katanya.

"Kok semacam orkestra saja ya? Agak aneh kalau menyatakan bahwa keputusan hakim PN Jakarta Pusat itu berdiri sendiri tanpa ada bisikan-bisikan."

"Terlebih lagi saya kenal persis siapa itu Agus Jabo, Ketua Umum Partai Prima yang berjejaring juga dengan kekuasaan," ujarnya.

"Dengan petitum yang disodorkan ke majelis hakim harusnya dia tahu bahwa petitum itu anti-demokratis karena melawan konstitusi. Agus Jabo kan juga pejuang demokrasi," Jumhur menambahkan.

Kalau Partai Prima merasa dizalimi oleh KPU, kata Jumhur, harusnya KPU memberi kesempatan parpol itu untuk diverifikasi ulang.

"Termasuk dengan pemberian sejumlah ganti rugi yang bisa digunakan untuk biaya persiapan verifikasi ulang itu," katanya.

KPU RI: Tidak Terganggu

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait penundaan Pemilu 2024 menghebohkan publik.

Pasalnya, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut berdasarkan gugatan dari Partai Rakyat Adil Makmur (Prima).

Pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI pun menanggapi mengenai putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut.

KPU RI memastikan, tahapan Pemilu 2024 tidak akan terganggu.

Diketahui, setelah putusan, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memerintahkan KPU RI untuk menunda Pemilu 2024 atas gugatan Partai Prima.

Anggota KPU RI, Idham Holik menegaskan, saat ini tahapan Pemilu 2024 tetap berjalan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

"Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Ketua KPU tahapan tetap berlanjut, dan saat ini tahapan tidak terganggu sama sekali," ujar Idham, Jumat (3/3/2023).

Idham mengatakan, saat ini KPU tengah menyelesaikan proses pemutakhiran data pemilih, dan proses tersebut telah dilakukan sejak 12 Februari sampai 14 Maret 2023.

Kemudian, KPU juga tengah melanjutkan verifikasi faktual dukungan pemilih bakal calon anggota DPD.

Sebagai informasi, pendaftaran persyaratan calon DPD akan dilaksanakan 1-14 Mei 2023.

KPU juga tengah melakukan proses legal drafting rancangan PKPU terkait pencalonan anggota legislatif.

Sebab, Idham menyebutkan, berdasarkan UU Pemilu, KPU harus sudah menerima pengajuan bakal calon anggota legislatif 9 bulan sebelum hari pemungutan suara.

"Jadi sekarang kami fokus pada penyelesaian tahapan-tahapan penyelenggaraan Pemilu, sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 167 ayat 4 UU Nomor 7 Tahun 2017," ucap Idham.

"Dan saya yakin publik Indonesia mengetahui bagaimana Pemilu itu harus dilaksanakan di setiap 5 tahunnya, dan kita ketahui, demokrasi kita adalah Demokrasi konstitusional," tambah Idham.

Sorotan Media Asing

Media asing soroti putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait penundaan Pemilu 2024.

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu diketahui putusan terhadap gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima).

Berdasarkan penelusuran Tribunnews.com, ada tiga media asing yang turut memberitakan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Yakni yaitu Canberra Times (Australia), US News (Amerika Serikat), dan Channel News Asia (CNA).

Untuk Canberra Times, pihaknya menuliskan judul artikel yaitu "Indonesia Poll Body Rejects Election Delay Court Ruling".

Adapun artikel tersebut terbit pada Jumat (3/3/2023) pagi waktu setempat.

Pada awal artikel, Canberra Times menuliskan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan mengajukan banding terkait putusan PN Jakarta Pusat tersebut yang diumumkan pada Kamis (2/3/2023).

Lalu pada pertengahan artikel dikutip pernyataan dari Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto.

Hasto menyebut PN Jakarta Pusat tidak memiliki wewenang untuk memutuskan penundaan Pemilu 2024.

Ia pun meminta agar para hakim yang memimpin sidang agar diselidiki.

"PDIP menganggap keputusan pengadilan harus dianulir," ujarnya.

"Segala upaya untuk menunda pemilu adalah inkonstitusional," sambungnya.

Media asal Australia, Canberra Times turut menyoroti putusan PN Jakpus yang meminta KPU agar Pemilu 2024 lewat gugatan yang diajukan oleh Partai Prima.

 

 

Selain itu, Canberra Times turut mengutip pernyataan Ketua Umum Partai Prima ,Agus Jabo Priyono selaku penggugat.

Agus meminta agar seluruh partai politik (parpol) untuk menghormati putusan PN Jakarta Pusat itu.

Tak hanya itu, pengutipan juga dilakukan terhadap pernyataan Menteri Kementerian Hukum dan HAM, Yasonna Laoly.

"Dakwaannya salah, logikanya sangat sederhana. Sangat mudah untuk menolak dakwaan tersebut tetapi hal itu mungkin membuat adanya kontroversi," tuturnya.

Media asal Singapura, Channel News Asia (CNA) turut menyoroti putusan PN Jakarta Pusat yang meminta KPU menunda Pemilu 2024 pasca mengabulkan gugatan Partai Prima.

 

Sementara pemberitaan dari CNA menyoroti pernyataan dari Partai Buruh yang turut mengkritik putusan penundaan pemilu tersebut.

"Partai Buruh akan melakukan protes pada Jumat (3/3/2023) terkait putusan kontroversial dari pengadilan yaitu meminta KPU menunda Pemilu 2024," tulis artikel tersebut.

Selain itu, CNA juga meminta keterangan pengamat politik dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes.

Arya, dalam keterangannya, menyebut putusan ini justru memunculkan kembali isu masa jabatan Presiden tiga periode.

"Jika diskursus ini kembali dimunculkan maka akan semakin menambah ketidakpastian terkait Pemilu," ujarnya.

Media asing asal AS, US News pun turut memberitakan putusan PN Jakarta Selatan ini.

Pada artikel yang dituliskan itu, US News mengutip pernyataan Ketua KPU, Hasyim Asyari.

Hasyim menyebut putusan PN Jakpus itu tidak bisa mengubah regulasi terkait Pemilu 2024.

Media asal AS, US News turut menyoroti putusan PN Jakpus yang meminta KPU menunda Pemilu 2024 pasca mengabulkan gugatan Partai Prima.

 

"Segala regulasi hukum terkait jadwal dan proses Pemilu 2024 masih legal dan mengikat secara hukum," jelasnya.

Sebagai informasi, Majelis Hakim PN Jakpus mengabulkan gugatan Partai Prima dengan menghukum KPU agar menunda Pemilu 2024.

Adapun para hakim yang adili gugatan ini adalah T.Oyong (ketua majelis hakim), H. Bakri (hakim anggota) dan Dominggus Silaban (hakim anggota).

Pada putusannya, hakim menyatakan KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum dan diminta membayar ganti rugi materiil sebesar Rp 500 juta ke Partai Prima.

Fahri Bachmid: Potensial Terciptanya Kekacauan Ketatanegaraan

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Gugatan perdata kepada KPU yang diketok pada Kamis (2/3/2023) itu dilayangkan Partai Prima pada 8 Desember 2022 dengan nomor register 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pun memerintahkan KPU RI mengulang tahapan Pemilu dari awal hingga mengakibatkan penundaan Pemilu.

Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia, Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H. merespons serta soroti putusan tersebut.

Menurut Fahri Bachmid, secara hukum putusan hakim dalam perkara No. 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst berwatak dan bersifat "ultra vires" atau dengan kata lain "beyond the" power".

Sehingga konsekwensi yuridisnya dari status putusan yang demikian ini tergolong "null and void" atau bersifat "van rechtswege nietig atau null end void".

Alhasil tidak dapat dieksekusi, hal ini menjadi penting untuk melindungi kesisteman kerangka hukum Pemilu.

Berdasarkan desain konstitusional Pemilu yang berlaku saat ini, dimana berdasarkan bangunan hukum penyelesaian sengketa Pemilu sesuai UU No. 7/2017 tentang Pemilu, telah mengatur dan membagi frame penegakan hukum jadi dua jenis yaitu pelanggaran dan sengketa.

Pelanggaran di dalam UU Pemilu terbagi jadi tiga jenis yaitu pelanggaran administratif, pelanggaran kode etik dan pelanggaran pidana.

Sedangkan untuk sengketa terbagi menjadi dua yaitu sengketa proses dan sengketa hasil.

"Secara teknis sesungguhnya UU Pemilu telah mengkonstruksikan saluran hukum penyelesaian jika terdapat permasalahan berupa "dispute" baik pelanggaran maupun sengketa,"

"Secara spesifik UU Pemilu memberikan otoritas yang berbeda-beda sesuai dengan kompetensinya dalam penyelenggaraan pemilihan umum ke Bawaslu, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pengadilan Negeri (PN), Mahkamah Agung (MA) dan Mahkmah Konstitusi (MK) serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)" paparnya Fahri.

Fahri Bachmid berpendapat, penyelesaian sengketa proses Pemilu merupakan kewenangan dari Bawaslu dan PTUN sebagaimana diatur dalam ketentuan norma Pasal 467 ayat (1) yang mengatur (1) Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu kabupaten atau kota menerima permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU provinsi, dan keputusan KPU kabupaten atau kota.

Selanjutnya ketentuan Pasal 470 ayat (1) UU Pemilu mengatur (l) sengketa proses Pemilu melalui pengadilan tata usaha negara meliputi sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilu antara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten dan kota, atau partai politik calon peserta Pemilu atau bakal pasangan calon dengan KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten atau kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU kabupaten atau kota.

Sementara, ketentuan ayat (2) mengatur sengketa proses Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sengketa yang timbul antara KPU dan partai politik calon peserta Pemilu yang tidak lolos verifikasi sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU tentang penetapan partai politik peserta pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173.

Dia menambahkan, dengan demikian, karakter dari perkara yang diputus oleh PN Jakpus ini sesungguhnya adalah masuk pada ranah perkara sengketa.

Tentunya merupakan yurisdiksi atau kompetensi absolut dari PTUN, bukan PN Jakpus.

"Sehingga hemat saya, putusan ini dapat dikualifisir sebagai "never existed" oleh karena hakim mengokupasi kewenagan kekuasaan lembaga peradilan lain,” jelasnya.

Fahri Bachmid menilai, putusan pengadilan ini jika diterapkan, maka konsekuensinya sangat serius.

Yaitu potensial menciptakan kekacauan ketatanegaraan.

Dimana kekuasaan pemerintahan, baik presiden maupun lembaga legislatif akan kehilangan legitimasinya.

Sebab Pemilu tidak dapat diselenggarakan sesuai agenda konstitusional.

Misal, presiden akan berahir masa jabatannya pada 20 oktober 2024, dan tak ada pelantikan presiden yang baru berdasarkan mandat rakyat melalui suatu pemilihan umum yang legitimate.

Sebab UUD 1945 tak memberikan jalan keluar jika Pemilu tidak dapat dilanksanakan tepat waktu, atau tidak ada presiden yang terpilih sesuai agenda Pemilu yang telah ditetapkan.

"Ini akan jadi suatu keadaan kebuntuan konstitusional, sangat riskan, dan taruhannya terlalu mahal, itu salah satu impact yang cukup serius jika mengikuti nalar dari putusan ini,” tegasnya.

Fahri Bachmid berpendapat, idealnya putusan perbuatan melawan hukum (PMH) dalam sengketa perdata oleh pengadilan negeri, tak boleh berdimensi terhadap siklus serta agenda ketatanegaraan.

Seba,b sifat dari putusan perdata hanyalah mengikat para pihak dalam rezim sengketa dengan karakter "contentiosa".

“Artinya putusan PMH itu tidak bersifat "ergo omnes" yang mengikat pada lembaga-lembaga negara sebagai organ konstitusional yang umumnya melaksanakan kewenangan publik,"

"Apalagi berkaitan dengan pelaksanaan agenda ketatanegaraan terkait sirkulasi kepemimpinan nasional yang tentunya berlandaskan pada hukum publik" paparnya.

(Tribunnews.com/Gita Irawan/Ilham Rian Pratama/Yohanes Liestyo Poerwoto/Wartakotalive.com/M32/BAS)

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved