Berita Nasional

Hanya Berbekal Putusan BANI, Dirjen AHU Diminta Revisi Keputusan soal Konflik Lahan Tambang Nikel

Perusahaan nikel PT CLM diduga menjadi korban kejahatan mafia tambang dengan modus pencaplokan perusahaan

Editor: Feryanto Hadi
Kompas.com
Ilustrasi tambang (TOTO SIHONO) 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA-- Direktorat Jenderal (Dirjen) Administrasi Hukum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) RI diharapkan merevisi keputusan yang dibuat hanya berdasarkan putusan akhir Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) 

 Direktur Utama PT Citra Lampia Mandiri (CLM) Helmut Hermawan menyebut, putusan badan arbitrase yang menjadi penengah dalam konflik saham itu, keluar saat Perjanjian Pemegang Saham (PPS) masih berlaku.

"Padahal, PPS otomatis berakhir ketika PT Aserra Mineralindo Investama (AMI) tidak memenuhi ketentuan perihal pelunasan Perjanjian Jual Beli Bersyarat (PJBB) dalam jangka waktu 6 bulan," ungkapnya melalui keterangan tertulisnya, Senin (6/2/2023)

Sebagai informasi, perusahaan nikel PT CLM diduga menjadi korban kejahatan mafia tambang dengan modus pencaplokan perusahaan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) ilegal dan penyerobotan lahan pertambangan oleh PT AMI.

Baca juga: VIDEO : Ngeri! Dua Pekerja Tewas Terbakar Akibat Ledakan Tungku Smelter Pabrik Nikel di Morowali

Ada pun, konsesi lahan tambang yang dimaksud terletak di Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan

“Hanya bermodal keputusan BANI, mereka (Dirjen AHU Kemenkumham) mengambil keputusan tanpa mendalami apa isi perjanjian saham secara keseluruhan, yang menjadi dasar keluarnya BANI. Padahal BANI itu keluar sebelum PPS berakhir karena ada wanprestasi dari pihak AMI. Mestinya tidak begitu. Prosedurnya tidak pas, apalagi polisi kemudian mengabulkan eksekusi dalam waktu yang sangat singkat berdasarkan laporan palsu,” ujarnya 

Helmut menambahkan, PPS dan PJBB yang dibuat serta ditandatangani pada 14 Mei 2019 antara AMI, APMR dan pemegang saham lain – dalam hal ini Thomas Azali – terdapat fakta bahwa AMI belum dapat melakukan penutupan transaksi atas PJBB sebesar US$ 21,5 juta setelah pemberian deposit dan pelaksanaan due diligence.

Sementara pasal 7 dalam PPS itu juga menyebutkan beberapa ketentuan yang dapat menyebabkan berakhirnya perjanjian. Antara lain jika dalam jangka waktu 6 bulan sejak tanggal perjanjian terlampaui, kesepakatan tersebut tidak terpenuhi, bantuan modal kerja (BMK) yang telah diberikan wajib dikembalikan kepada AMI dalam jangka waktu 14 hari kalender sejak berakhirnya PPS, dan saham perseroan akan dikembalikan AMI kepada pemegang saham awal.

Baca juga: Diduga Kuat Terlibat Kasus Penipuan Perizinan Tambang Nikel, Eks Bos Perusahaan Oli Belum Ditangkap

Tetapi kenyataannya, pelunasan transaksi jual beli saham CLM oleh AMI tidak terjadi dan tidak berhasil dilaksanakan.

Hal Ini berarti, sesuai ketentuan AMI mestinya mengembalikan kepemilikan saham 50 persen kepada APMR. Apalagi APMR juga sudah mengembalikan BMK senilai Rp 20 miliar pada 4 Oktober 2019.

“Karena pihak APMR sudah mengembalikan BMK yang 20 miliar itu, maka seharusnya kewajiban untuk memberikan saham menjadi gugur karena transaksi tidak terpenuhi sesuai ketentuan dalam perjanjian,” ujar Helmut.

Helmut juga menambahkan, putusan BANI sebenarnya justru menguatkan bahwa jumlah saham AMI adalah nol, bukan 50 % karena PJBB sudah batal. “Dan faktanya lagi, sampai saat ini tidak pernah ada BAP penyerahan saham,” lanjutnya.

Menilik putusan BANI, lanjut Helmut, seharusnya saham yang diberikan kepada AMI pun hanya 50 % .

Namun pada kenyataannya, berdasarkan Penetapan Sita Eksekusi, AMI bermohon kepada PN Jaksel agar APMR menyerahkan saham 100 persen yang bertentangan dengan putusan BANI

Baca juga: Uni Eropa dan WTO Gugat Larangan Ekspor Nikel Indonesia, Presiden Jokowi Beberkan Golnya

Halaman
12
Sumber: Warta Kota
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved