MPR Kaji Pemilu Setelah 2024 Pakai Sistem Tertutup

Badan Pengkajian MPR akan menyiapkan kajian soal sistem pemilu tertutup, untuk periode pesta demokrasi berikutnya.

TRIBUNNEWS/FRANSISKUS ADHIYUDA
Ketua Badan Pengkajian MPR Djarot Saiful Hidayat mengatakan, Indonesia harus berani kembali menggunakan sistem pemilu tertutup. 

WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Ketua Badan Pengkajian MPR Djarot Saiful Hidayat mengatakan, Indonesia harus berani kembali menggunakan sistem pemilu tertutup.

Namun, ia mengakui pemilu dengan sistem tertutup sulit diwujudkan pada Pemilu 2024, karena UU 7/2017 tentang Pemilu sudah tertutup untuk direvisi.

"Kalau 2024 mungkin susah ya, kita harus menyadari bahwa ini agak susah, tetapi tergantung kepada DPR Komisi II, apa memungkinkan."

"Karena kan sampai dengan 2024 UU tentang pemilu sudah tertutup untuk direvisi," kata Djarot usai menyambangi Kantor KPU, Jakarta Pusat, Rabu (21/9/2022).

Sehingga kata dia, Badan Pengkajian MPR akan menyiapkan kajian soal sistem pemilu tertutup, untuk periode pesta demokrasi berikutnya.

"Berarti kita menyiapkan kajian, untuk periode ke depan, supaya kita tidak terjerambap terus dengan persoalan-persoalan demokrasi liberal individual seperti ini," tuturnya.

Baca juga: Ketua KPU: Politik Uang Bunyi-bunyiannya Banyak, tapi Cari Buktinya Susah

Terkait sistem proporsional terbuka atau tertutup, Djarot menyebut hal itu sudah pernah dilakukan pada 2009 silam.

"Di reformasi juga dilakukan itu menjadi terbuka sejak 2009, itu menjadi terbuka sebelumnya tertutup."

"Saya mengalami 1999 itu tertutup, kemudian 2004 itu tertutup," ungkapnya.

Baca juga: Dewan Kolonel Baru Bergerak Jika Megawati Tunjuk Puan Maharani Jadi Capres PDIP

Mantan Gubernur DKI Jakarta ini mengakui sistem pemilu tertutup berpotensi rawan menjadi ladang korupsi.

Berkenaan dengan itu, Badan Pengkajian MPR serta sejumlah pihak, sedang mengkaji opsi tersebut, sebagai solusi atas evaluasi pemilihan kepala daerah langsung. Salah satunya adalah opsi menerapkan pilkada asimetris.

Pilkada asimetris yang ia maksud ialah di mana tak semua kepala daerah dipilih secara langsung.

Baca juga: Dewan Kolonel Pendukung Puan Maharani Jadi Capres Ternyata Dibentuk oleh Johan Budi

Djarot mencontohkan Provinsi DKI Jakarta di dalam Undang-undang Pilkada, hanya ada pemilihan di tingkat provinsi.

Sedangkan pemilihan wali kota dan bupati dipilih lewat mekanisme lelang jabatan. Hal ini karena otonomi di tingkat provinsi tidak ada pemilihan langsung wali kota dan bupati.

“Termasuk juga dalam pilkada, apakah dimungkinkan pilkada asimetris? Sehingga tidak semua dipilih langsung.”

“Artinya kita perlu mengkaji mana daerah yang betul-betul siap untuk pilkada secara langsung, dan mana yang cukup dipilih melalui DPRD,” bebernya. (Danang Triatmojo)

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved