Gratifikasi
Karena Lukas Enembe, Masyarakat Adat Papua Pernah Denda KPK Rp 10 Triliun
Gubernur Papua Lukas Enembe ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Sementara KPK pernah didenda adat Rp10 Triliun oleh masyarakat adat Papua.
Penulis: Budi Sam Law Malau | Editor: Budi Sam Law Malau
Jika KPK tidak merespon denda adat yang dijatuhkan masyarakat adat Papua, kata Roy maka ada konsekuensi yang akan diterima KPK.
"Yakni penegakan hukum oleh KPK di Papua tidak akan efektif. Pemberantasan korupsi oleh KPK di Papua, tidak akan berjalan maksimal. Sebab masyarakat Papua sudah tidak percaya, akibat KPK tidak mentaati dan menghormati serta mengkomunikasikan denda adat yang diputuskan oleh masyarakat adat Papua kepadanya," kata Roy.
Seperti diketahui akibat peristiwa di Hotel Borobudur, Sabtu (2/2/2019) tengah malam lalu, KPK dan Pemprov Papua saling melaporkan tindak pidana ke Polda Metro Jaya.
KPK melaporkan dugaan pengeroyokan terhadap penyelidiknya oleh pegawai Pemprov Papua ke Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, sesuai Pasal 170 KUHP, serta Pasal 211 KUHP dan atau Pasal 212 KUHP tentang menghalang-halangi petugas negara, Minggu (3/2/2019).
Saat itu pegawaI KPK sedang ditugaskan untuk melakukan pengecekan lapangan merespon laporan masyarakat tentang adanya indikasi korupsi saat rapat evaluasi anggaran Pemprov Papua digelar di sana.
Dalam rapat, hadir Gubernur Papua Lukas Enembe serta jajarannya, anggota DPRD Papua dan pihak Kemendagri.
Menyayangkan KPK
Terkait penetapan tersangka Lukas Enembe dalam kasus suap dan gratifikasi, Koordinator tim kuasa hukum Gubernur Papua Lukas Enembe, Stefanus Roy Rening mengaku menyayangkan hal tersebut.
"Saya mendapat informasi bahwa perkara ini sudah penyidikan, itu artinya sudah ada tersangka. Ada surat dari KPK, 5 September bapak gubernur sudah jadi tersangka, padahal pak gubernur sama sekali belum didengar keterangannya," kata Roy.
Roy menegaskan KUHP menyatakan bahwa seseorang yang dijadikan sebagai tersangka harus ada dua alat bukti dan sudah diperiksa sesuai keputusan MK Nomor 21 tahun 2014.
"Kita menyayangkan sikap KPK yang tidak profesional seperti ini," sambung Roy.
Roy menjelaskan gratifikasi dana sebesar Rp 1 miliar yang masuk ke rekening Lukas Enembe adalah dana pribadi yang bersangkutan untuk berobat di Singapura pada Maret 2020.
"Uang itu dikirim Mei 2020 karena pak gubernur mau berobat. Kalau dibilang kriminalisasi, iya kriminalisasi karena memalukan seorang gubernur menerima gratifikasi Rp 1 miliar, gratifikasi kok melalui transfer, memalukan," tuturnya.
Baca juga: Pergi ke Papua Nugini tanpa Izin, Mendagri Beri Teguran Keras kepada Gubernur Papua Lukas Enembe
Selain itu, Roy menegaskan bahwa proses hukum tersebut sangat aneh karena sebelumnya Lukas Enembe pernah dipanggil KPK sebagai saksi atas kasus berbeda.
Namun Lukas Enembe belum dapat memenuhi panggilan tersebut karena alasan kesehatan.