Peretasan Data
Bagaimana Sejarah 1965 yang Jadi Pemicu Hacker Bjorka Bobol Data Lembaga Negara?
Cuitan hacker Bjorka kembali mengorek luka lama yang pernah dialami sejarah Indonesia di tahun 1965.
Penulis: Desy Selviany | Editor: Desy Selviany
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA Cuitan hacker Bjorka kembali mengorek luka lama yang pernah dialami sejarah Indonesia di tahun 1965.
Kala itu, sejumlah Warga Negara Indonesia atau WNI dibuang dan hilang kewarganegaraan lantaran situasi politik yang kelam.
Dalam akun twitter yang dibuatnya, Bjorka mengaku motif dari meretas sejumlah data lembaga negara lantaran dipicu dari seorang temannya di Warsawa, Polandia.
Ia mengaku temannya banyak menceritakan soal Indonesia yang kini dalam keadaan memprihatinkan.
Hacker Bjorka menyebut bahwa temannya itu kini sudah tidak berkewarganegaraan Indonesia lantaran menjadi salah satu korban politik 1965.
Ia dibuang ke negeri entah berantah karena terdorong situasi politik saat itu.
“Saya punya teman orang Indonesia yang baik di Warsawa, dan dia bercerita banyak tentang betapa kacaunya Indonesia. Aku melakukan ini untuknya,” pengakuan akun anonim itu.
Baca juga: Hacker Bjorka Mengaku Bobol Data Menkoinfo untuk Temannya WNI di Polandia
Lalu apa yang terjadi di tahun 1965? Kenapa harus ada WNI sipil yang menjadi korban situasi politik kala itu?
Dikutip dari Kompas.com, Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama Ari Junaedi mengatakan bahwa kasus 1965 tidak hanya sekedar penculikan sejumlah perwira TNI AD yang kemudian mendorong adanya Supersemar.
Sejarah kelam itu juga bercerita tentang ribuan warga sipil Indonesia yang semena-mena dicap kiri dan dicabut paksa identitasnya.
"Jutaan korban nyawa karena perbedaan politik, penggulingan kekuasaan Soekarno dengan skema Supersemar, penangkapan dan penahanan semena-mena tanpa proses peradilan yang benar, perampasan harta dan perkosaan serta labeling dan stigma “kiri” atau komunis serta Partai Komunis Indonesia (PKI) yang terus dipertahankan lestari menjadi kisah sejarah yang harus diketahui generasi mendatang dengan fair dan transparan," tulis Ari Junaedi.
Ary Junaedi mengatakan dari data yang dikumpulkannya hingga 2007 saat memulai penelitian disertasi doktoral, ada 2.000 mahasiswa Indonesia yang tengah berada di luar negeri saat Peristiwa 1965 terjadi.
Mereka tengah menempuh pendidikan di negara Eropa, China, Korea Utara dan hampir ke seluruh pelosok tanah air.
Mayoritas mahasiswa itu loyal terhadap Soekarno, sebagian kecil pro PKI, dan ogah mengakui rezim Soeharto.
Konsekuensinya, paspor para mahasiswa ikatan dinas ini tidak bisa diperpanjang.
Jadilah mereka stateless alias tidak memiliki berkewarganegaraan.
Tunjangan biaya hidup pun dihentikan. Keluarga di tanah air diawasi oleh aparat.
Surat-surat yang mereka kirim kepada sanak saudara dan kerabat di tanah air disensor dan dirampas aparat.
Ada yang kembali dengan “selamat” ke tanah air setelah melalui screening ketat.
Yang tidak “bersih diri” seperti Soesilo Toer harus mendekam di penjara.
Soesilo dianggap "tidak bersih" karena bersaudara kandung dengan Pramoedya Ananta Toer.
Kajian keilmuan politik dan ekonomi yang dipelajari Soesilo di Uni Soviet, dianggap Orde Baru bisa mengganggu stabilitas dan keamanan saat itu.
Sudah galib di masa Soeharto berkuasa, dosa sebagai kaum “kiri” ditimpakan baik ke garis keturunan atas, bawah, samping kanan dan kiri.
Dari sejumlah tekanan politik itulah sejumlah WNI harus hidup luntang-lantung di negara orang maupun di negara sendiri.
Misalnya Soesilo Toer yang harus dipaksa hidup melarat usai pulang ke Indonesia.
Selain harus hidup di Nusakambangan, adik penulis populer Pramoedya Ananta Toer itu juga harus hidup melarat di Blora, Jawa Tengah.
Hingga akhir hayatnya, lulusan pascasarjana University Patrice Lumumba dan doktor dari Institut Plekhanov itu harus hidup melarat sebagai pemulung.
Pun tidak jauh berbeda dengan Genong Karsono.
Genong Karsono ialah aktivis Pemuda Rakyat, organisasi mantel atau onderbow Partai Komunis Indonesia (PKI).
Empat tahun sebelum Tragedi 1965 pecah, usai menyelesaikan sarjana ekonominya di Universitas Res Publica (kini Universitas Trisakti, Jakarta) Genong mendapat beasiswa pascasarjana di Uni Soviet. Istrinya tidak ikut pergi ke Soviet.
Ketika Peristiwa 1965 meletus dan merembet ke berbagai daerah, istrinya di Tanah Air terbunuh karena dianggap simpatisan PKI.
Ayah Genong dan Kakak Genong, Kartina Kurdi, dibekuk aparat.
Ayah Genong adalah aktivis PKI yang punya kelompok kesenian ketoprak.
Sementara, Kartina Kurdi adalah Sekretaris Jenderal Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), onderbow PKI yang luas jaringannya di kalangan perempuan.
Setelah menyelesaikan pendidikan masternya, Genong menyusul teman-temannya ke Peking. Namun nasib rupanya kurang berpihak kepada Genong.
Keterbatasan informasi saat itu membuat Genong tidak tahu kalau RRT tengah dilanda revolusi kebudayaan.
Bersama eksil dari Indonesia lainnya, Genong diisolasi di daerah pedalaman dengan alasan pemerintah RRT ingin menjamin keselamatan tamu-tamu dari Indonesia.
Masa "isolasi" tersebut berlangsung lama, 8 tahun.
Kehidupan yang susah di RRT membuat Genong mulai berpikir untuk hengkang keluar dari Tiongkok.
Kembali ke tanah air bukan pilihan yang tepat.
Dari informasi yang didapat, Jerman Barat adalah surganya para pelarian politik.
Pemerintah Jerman Barat ketika itu (saat masih terpisah dengan Jerman Timur) sangat terbuka dan menjunjung tinggi penghormatan terhadap jaminan hak asasi manusia.
Setengah dari hidupnya, Genong Karsono harus hidup tanpa identitasnya di Jerman.
Mulai dari tukang cat, tukang kebun, pegawai pabrik kertas hingga pekerja pabrik pengolahan kopi pernah dilakoninya untuk bertahan hidup.
Genong meninggal pada 2008. Sepanjang hidupnya, ia yang berkewarganegaraan Jerman, begitu merindukan kampung halamannya, Yogyakarta.
Berangkat dari kisah pilu WNI sipil yang terbuang itu, Ari Junaedi mengatakan bahwa peristiwa di sekitaran 1965 menjadi memori sejarah bangsa yang begitu kelam dan selalu menarasikan kebenaran tunggal.
Sudah menjadi tekad bersama bahwa komunisme dan segala ajarannya adalah hal yang terlarang di bumi Pancasila ini.
Sejarah memang ditentukan oleh pemenang. Namun, kisah sejarah tidaklah obyektif jika hanya ditulis oleh pemenang.
Maka dari itu kata Ari Junaedi, agar perjalanan bangsa ke depan menanggalkan dendam kesumat yang tiada habisnya termasuk ke cucu cicit canggah atau generasi mendatang, akan lebih elok jika rekonsiliasi menjadi kata kunci dari penyelesaian-penyelesain kasus lama termasuk Tragedi 1965.
Memaafkan konflik masa lalu diharapkan mampu menjadi perekat bagi para pelaku sejarah, termasuk keturunannya.
Kata Ari, kita juga harus mulai menyadari, pendidikan sejarah kita tidak mengakomodasi kesadaran dan praksis kelompok marginal untuk memberikan alternatif penafsiran atas peristiwa-peristiwa bersejarah.