Wisata Jakarta

Wisata Jakarta, Museum Joang 45 Jadi Saksi Perjuangan ‘Founding Father’ Indonesia

Wisata Jakarta di Museum Joang 45, Menteng, Jakarta Pusat menjadi saksi sejarah perjuangan founding father Indonesia dalam mewujudkan kemerdekaan.

Warta Kota/Leonardus Wical Zelena Arga
Wisata Jakarta di Museum Joang 45, Menteng, Jakarta Pusat menjadi saksi sejarah perjuangan founding father Indonesia dalam mewujudkan kemerdekaan. 

WARTAKOTALIVE.COM, MENTENG – Tertarik dengan sejarah seputar perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia? Maka Museum Joang 45 adalah salah satu tempat yang wajib dikunjungi.

Museum yang berlokasi di dalam Gedung Joang 45, Jalan Menteng Raya 31, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat ini, banyak menyimpan catatan sejarah perjuangan jelang kemerdekaan Republik Indonesia.

Seorang pemandu wisata Museum Joang 45, Muslim membenarkan bahwa Museum Joang 45 merupakan salah satu gedung yang cukup bersejarah.

“Memang gedung ini sendiri dibangun oleh Belanda. Namun pada saat itu dipakai oleh pemuda-pemuda Indonesia untuk melakukan pergerakan persiapan kemerdekaan Indonesia,” ujar Muslim di lokasi, Jumat (12/8/2022).

Muslim menceritakan Museum Joang 45 dahulu milik seorang warga keturunan Arab. Kawasan Menteng pada tahun 1926 masih termasuk Kota Batavia, di mana perdagangan berkembang dan maju sangat pesat.

Baca juga: VIDEO : Detik-Detik Ibu Muda di Tasik Meninggal saat Ikut Balap Karung, Baru Dua Bulan Melahirkan

Banyak para pejabat tinggi baik dari Eropa dan pribumi datang ke Kota Batavia pada saat pemerintahan masih dipegang oleh Hindia Belanda.

“Artinya, Pemerintah Hindia Belanda mencari tanah untuk dijadikan tempat pemukiman orang-orang Belanda yang ada di Kota Batavia. Nah kemudian, dipilihlah kawasan Menteng ini,” ujar Muslim.

Muslim mengatakan bahwa kawasan Menteng pada saat itu masih berupa hutan, namun hutan yang cukup asri.

Karena kawasan Menteng dimiliki oleh orang Arab, dan orang-orang Belanda ada rencana untuk membangun sebuah pemukiman, maka dibelilah kawasan Menteng oleh orang-orang Belanda dari tangan orang Arab.

Pada tahun 1930, kawasan Menteng dibeli oleh Pemerintah Hindia Belanda, kemudian dibangun untuk dijadikan perumahan elite oleh orang-orang Belanda di Kota Batavia.

Baca juga: Sejarah Jakarta, Sosok Gubernur Pertama Jakarta Raden Suwiryo yang Getol Indonesia Merdeka

“Kemudian ada seorang pengusaha Belanda, dia membuat sebuah gedung yang untuk dijadikan hotel pada saat itu. Nah gedungnya yang sekarang menjadi Museum Joang 45,” ujar Muslim.

Muslim menceritakan, ketika pertama kali dibangun untuk dijadikan hotel, namanya adalah Hotel Schomper. Nama tersebut diambil dari nama pemiliknya sendiri.

Pada saat itu Hotel Schomper merupakan salah satu hotel terbaik yang ada di Kota Batavia. Lebih lanjut Muslim menjelaskan bahwa Hotel Schomper tidak terlalu luas. Luasnya kurang lebih hanya 693 meter persegi.

Dengan luas tersebut, terbagi delapan ruangan yang terdiri dari: ruang tamu, ruang makan, dan enam kamar tidur.

“Lalu kenapa bisa dikatakan salah satu hotel terbaik? Ya dari interiornya, terus dari perlengkapan-perlengkapannya. Karena pada saat itu untuk menjadi hotel terbaik, harus dilihat dari interiornya,” ujar Muslim.

Baca juga: Kebakaran di Tambora Tewaskan Enam Orang, Ahmad Riza Patria Sebut Rumah Susun Jadi Solusi Tepat

Muslim lanjut menceritakan pada saat Jepang datang pada tahun 1942, Hotel Schomper diambil alih oleh Jepang. Tidak hanya itu, seluruh aset-aset Belanda mulai dari perumahan, perkantoran, hotel, semuanya diambil Jepang.

Karena pada saat itu Jepang sedang menghadapi peperangan Asia Timur Raya, maka Hotel Schomper diberikan kepada para pemuda Indonesia untuk dididik politik.

“Jadi pemuda-pemuda ini pada saat itu memang dipersiapkan oleh mereka untuk membantu mereka, untuk menyokong mereka, untuk dijadikan kader-kader mereka supaya memenangkan peperangan Asia Timur Raya,” ujar Muslim.

Pada tahun 1942, nama Hotel Schomper berubah menjadi Asrama Angkatan Baru Indonesia. Muslim menceritakan Asrama Angkatan Baru Indonesia jadi tempat pendidikan politik para pemuda Indonesia sebelum kemerdekaan.

Bahkan dari perguruan-perguruan tinggi yang ada di Jakarta, mereka (para pemuda Indonesia) ingin sekali belajar di Asrama Angkatan Baru Indonesia.

Baca juga: Ahmad Riza Patria Ingin Peristiwa Akses Jalan Ditembok Tetangga di Pulogadung Tidak Terulang Kembali

“Saking banyaknya dan tingginya antusias yang ingin belajar di sini, sampai-sampai gedung ini memang tidak mampu menampung pemuda-pemuda. Dan juga waktunya tidak kebagian,” ujar Muslim.

Kemudian akhirnya cara mengajarkannya dibagi menjadi tiga kelompok yang berbeda. Muslim mengatakan ada kelompok A, kelompok B, dan kelompok C.

Kelompok A adalah kelompok yang pertama. Para pemuda Indonesia yang tergabung dalam kelompok A, belajar dan tinggal di Asrama Angkatan Baru Indonesia. Bahkan untuk makan juga di asrama tersebut.

Seluruh anggaran pada saat itu dibiayai oleh Jepang. Untuk kelompok B, mereka belajar seluruh mata pelajaran di Asrama Angkatan Baru Indonesia. Namun, mereka tinggalnya di luar.

“Berikutnya kelompok C. Karena keterbatasan waktu dan tempat, makanya mereka hanya sebagian mata pelajaran yang mereka ikuti, dan mereka tinggalnya di luar dari gedung ini, karena memang keterbatasan waktu dan tempat,” ujar Muslim.

Baca juga: Menyambut HUT ke-77 RI, Anies Baswedan Bagikan Bansos pada Lansia dan Penyandang Disabilitas

Menurut Muslim, memang pada saat itu banyak sekali para pemuda Indonesia yang mau belajar di Asrama Angkatan Baru Indonesia.

Lebih lanjut Muslim menjelaskan, untuk guru-gurunya sendiri ada 11 orang. Delapan orang dari Indonesia, dan tiga lainnya merupakan orang Jepang.

Delapan orang Indonesia yang menjadi guru di asrama adalah Soekarno, Mohammad Hatta, Sunario, Muhammad Yamin, Amir Sjarifuddin, M Zain, Jambek, dan Ahmad Subardjo. Sedangkan tiga orang guru dari Jepang antara lain Bakki, Makatani, dan Hitoshi Shimizu.

“Kepada para pemuda Indonesia, mereka mengajarkan hal-hal tentang politik, ekonomi, tata negara, hukum, sosiologi, bahasa, agama, dan sejarah,” ujar Muslim.

Walaupun tujuan awalnya adalah pendidikan politik untuk menyiapkan kader-kader supaya memenangkan peperangan Asia Timur Raya, ternyata tujuan tersebut dibelokkan oleh para pengajar dari Indonesia.

Soekarno dan para pengajar Indonesia lainnya ternyata juga menanamakan untuk memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia kepada para pemuda tersebut.

Baca juga: Museum Joang 45 Alternatif Healing dan Pandai Bagi Generasi Muda Ketimbang ke Puncak

Namun, setelah kurang lebih sembilan atau sepuluh bulan Asrama Angkatan Baru Indonesia resmi berjalan, Jepang sudah mulai curiga.

Muslim menjelaskan bahwa pada tahun 1943 asrama tersebut dibubarkan, dan kemudian Jepang membuat organisasi baru bernama Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA).

Ternyata, organisasi PUTERA yang tepat didirikan pada 16 April 1943 itu diketuai oleh orang Indonesia juga yaitu: Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyur.  

“Setiap berpidato di depan masyarakat, para ketua PUTERA juga melakukan hal yang sama. Mereka selalu menanamkan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia,” ujar Muslim.

Muslim bercerita, akhirnya Jepang pun curiga lagi. Maka dari itu, pada tahun 1944 PUTERA dibubarkan. Kemudian, tepat pada tanggal 8 Januari 1944, Jepang membuat organisasi baru dengan nama Jawa Hokokai.

Jawa Hokokai dibentuk oleh panglima tentara Jepang yang ke-16, Jenderal Kumaikisi dengan tujuan untuk menumbuhkan persatuan dan semangat rakyat Indonesia.

Baca juga: Klaim Lunasi Janji Politik, Gubernur Anies Baswedan Resmikan 12 Lokasi Rusunawa Jakhabitat

“Jawa Hokokai ini bertahan mereka sampai kita merdeka tahun 1945. Nah setelah kita merdeka, kemudian pemuda-pemuda yang dulu pernah belajar di sini, kembali lagi ke gedung ini,” ujar Muslim.

Lebih lanjut Muslim menginformasikan, para pemuda tersebut menyebut dirinya adalah Menteng 31. Mereka balik lalu mengambil alih gedung ini, kemudian dijadikan kantor Van Aksi untuk melakukan berbagai macam aksi, untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Lalu, kenapa bisa ada Museum Joang 45? Kapan dibangun jadi museum? Setelah digunakan oleh para pemuda Menteng 31 untuk dijadikan kantor Van Aksi, ternyata setelah itu terdapat beberapa kali alih fungsi gedung.

“Namun, pada tahun 1972, gedung ini diserahkan kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, untuk kemudian direnovasi,” ujar Muslim.

Muslim mengatakan, saat itu gedung tersebut ditetapkan sebagai salah satu gedung bersejarah. Kemudian pada tanggal 19 Agustus 1974, Presiden Soeharto dan Gubernur Ali Sadikin meresmikan gedung yang telah direnovasi menjadi Museum Joang 45. (m36)

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved