TNI Terbuka KPK Lanjutkan Penyidikan Kasus Helikopter AW-101, tapi Tunggu Audit BPK

TNI juga masih menunggu audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), untuk mengetahui jumlah kerugian negara dalam perkara kasus tersebut.

TRIBUNNEWS/ANTARA FOTO/Widodo S Jusuf/Pool
Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa memastikan pihaknya terbuka jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melanjutkan proses penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter angkut Agusta Westland (AW)-101. 

WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa memastikan pihaknya terbuka jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melanjutkan proses penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter angkut Agusta Westland (AW)-101.

TNI juga masih menunggu audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), untuk mengetahui jumlah kerugian negara dalam perkara kasus tersebut.

"Sebetulnya kita juga menunggu (audit BPK), kan ada salah satu tanggung jawab BPK RI."

Baca juga: Polisi Ciduk Pemimpin Khilafatul Muslimin Abdul Qadir Baraja, Diduga Sebar Hoaks Hingga Bikin Gaduh

"Jadi kita masih terbuka kok, kita masih terbuka kalau memang ternyata dari KPK kan masih melanjutkan ya," kata Andika di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (6/6/2022).

Andika juga mempersilakan BPK untuk menyampaikan kepada publik, apabila proses auditnya telah rampung. Hingga saat ini TNI masih menunggu keputusan dari BPK.

"Kalau dari BPK RI sesuai dengan memang salah satu kewajiban dari BPK, kemudian harus menyampaikan ke publik apa pun hasilnya kita pasti terbuka."

Baca juga: Jabat Kabid Organisasi dan Kader, Yusuf Lakaseng Sebut Partai Perindo Jawaban Politik

"Kita terbuka, tapi yang jelas sekarang kita menunggu keputusan dari BPK RI," paparnya.

Andika memastikan TNI mengikuti keputusan BPK agar sejalan dengan penyidikan yang sedang dilakukan oleh KPK.

Oleh karena itu, pihaknya terbuka dan siap berkoordinasi, termasuk dengan KPK, untuk mengusut kasus tersebut.

Baca juga: Densus 88 Pastikan Penemuan Bahan Peledak dan Senjata Api di Bandung Tak Terkait Terorisme

"Kalau memang ternyata ada yang memang diduga, sehingga sejalan dengan penyidikan yang dilakukan KPK, dan bahkan proses hukum yang sudah berlangsung, ya kita pun harus ikut. Karena itu juga kewajiban kita," paparnya.

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menahan Irfan Kurnia Saleh (IKS) alias Jhon Irfan Kenway (JIK), Selasa (24/5/2022).

Sejak 2017, Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) dan pengendali PT Karsa Cipta Gemilang (KCG) itu merupakan tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter angkut AgustaWestland (AW)-101 di TNI Angkatan Udara tahun 2016-2017.

"Setelah tim penyidik memeriksa sekitar 30 orang saksi dan untuk keperluan proses penyidikan, tim penyidik melakukan upaya paksa penahanan IKS selama 20 hari pertama," kata Ketua KPK Firli Bahuri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa.

Baca juga: Rencana Penghapusan PPKM, Muhadjir Effendy: Tunggu Perintah Presiden

Irfan bakalan mendekam di Rutan KPK pada gedung Merah Putih, mulai 24 Mei 2022 hingga 12 Juni 2022.

Dalam konstruksi perkara, jelas Firli, pada sekira Mei 2015, Irfan selaku Direktur PT Diratama Jaya Selangor dan pengendali PT Karsa Cipta Gemilang bersama Lorenzo Pariani sebagai salah satu pegawai perusahaan AgustaWestland, menemui Mohammad Syafei

Syafei saat itu menjabat Asisten Perencanaan dan Anggaran TNI AU di wilayah Cilangkap, Jakarta Timur.

Baca juga: Kasus Dugaan Hepatitis Akut di Indonesia Bertambah Jadi 16, Terbaru di Banten dan Sulawesi Selatan

"Dalam pertemuan tersebut kemudian membahas di antaranya akan dilaksanakannya pengadaan helikopter AW-101 VIP/VVIP TNI AU," ungkap Firli.

Irfan yang juga menjadi salah satu agen AgustaWestland diduga selanjutnya memberikan proposal harga pada Syafei, dengan mencantumkan harga untuk satu unit helikopter AW-101 senilai 56,4 juta dolar AS.

Harga pembelian yang disepakati Irfan dengan pihak AW untuk satu unit helikopter AW-101 hanya senilai 39,3 juta dolar AS (ekuivalen dengan Rp514,5 miliar).

Baca juga: Bawaslu Bakal Gandeng Anak Muda Jadi Konten Kreator untuk Lawan Hoaks Soal Pemilu 2024

Kemudian, sekira November 2015, panitia pengadaan helikopter AW-101 VIP/VVIP TNI AU, mengundang Irfan hadir dalam tahap prakualifikasi, dengan menunjuk langsung PT Diratama Jaya Mandiri sebagai pemenang proyek.

"Dan hal ini tertunda karena adanya arahan pemerintah untuk menunda pengadaan ini, karena pertimbangan kondisi ekonomi nasional yang belum mendukung," jelas Firli.

Pada 2016, pengadaan helikopter AW-101 VIP/VVIP TNI AU kembali dilanjut dengan nilai kontrak Rp738,9 miliar, dan metode lelang melalui pemilihan khusus yang hanya diikuti oleh dua perusahaan.

Baca juga: Muhadjir Effendy: Enam Indikator Kesuksesan Mudik Lebaran 2022 Tercapai dengan Sangat Memuaskan

Dalam tahapan lelang ini, panitia lelang diduga tetap melibatkan dan mempercayakan Irfan dalam menghitung nilai HPS (Harga Perkiraan Sendiri) kontrak pekerjaan.

"Harga penawaran yang diajukan IKS masih sama dengan harga penawaran di tahun 2015 senilai 56,4 juta dolar AS dan disetujui oleh PPK," papar Firli.

Kata Firli, Irfan juga diduga sangat aktif melakukan komunikasi dan pembahasan khusus dengan Fachri Adamy selaku pejabat pembuat komitmen (PPK).

Baca juga: UPDATE Covid-19 RI 24 Mei 2022: 14 Pasien Wafat, 288 Orang Sembuh, 345 Positif

Untuk persyaratan lelang yang hanya mengikutkan dua perusahaan, Irfan diduga menyiapkan dan mengondisikan dua perusahaan miliknya mengikuti proses lelang ini, dan disetujui oleh PPK.

"Untuk proses pembayaran yang diterima IKS diduga telah 100 persen, di mana faktanya ada beberapa item pekerjaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi dalam kontrak, di antaranya tidak terpasangnya pintu kargo dan jumlah kursi yang berbeda," beber Firli.

Firli mengatakan, perbuatan Irfan diduga bertentangan dengan Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 17 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Pengadaan Alat Utama Sistem Senjata di Lingkungan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia.

Baca juga: Jubir Kemenkes: Cacar Monyet Bisa Sembuh Sendiri, Gejala Berlangsung Selama 14–21 Hari

"Akibat perbuatan IKS, diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara sejumlah sekitar Rp224 miliar dari nilai kontrak Rp738, 9 miliar," jelas Firli.

Atas perbuatannya, Irfan disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Perubahan Atas UU 31/1999 jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. (Chaerul Umam)

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved