Beda Pendapat Soal Presidential Threshold, Dua Hakim MK: Mengapa Dipertahankan Ketika Menyimpang?
Permohonan yang diajukan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Joko Juliantono itu tak diterima.
WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Dua hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra dan Suhartoyo berbeda pendapat alias dissenting opinion, dalam putusan perkara nomor 66/PUU-XIX/2021 terkait gugatan presidential threshold dalam UU 7/2017 tentang Pemilu, Kamis (24/2/2022).
Permohonan yang diajukan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Joko Juliantono itu tak diterima, karena pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan perkara dimaksud.
Namun, hakim konstitusi Saldi Isra dan Suhartoyo punya pendapat berbeda.
Baca juga: Siap-siap, Siti Nadia Tarmizi Prediksi Indonesia Segera Masuki Puncak Gelombang Ketiga Pandemi
Pemohon harusnya dinilai punya kedudukan hukum, lantaran telah menjelaskan kualifikasi dan persyaratan kerugian konstitusional yang selama ini dijadikan parameter pengajuan perkara konstitusionalitas.
Terhadap pokok perkara yang diajukan, Saldi Isra dan Suhartoyo mengatakan, mempertahankan ambang batas dalam proses pengisian jabatan eksekutif, jelas memaksakan sebagian logika pengisian jabatan eksekutif dalam sistem parlementer ke presidensial.
"Padahal, salah satu gagasan sentral di balik perubahan UUD 1945 adalah untuk memurnikan sistem pemerintahan presidensial di Indonesia."
Baca juga: Kerja Sama dengan Kemenkes Berlanjut, Aplikasi Ini Teruskan Fokus Perawatan Proaktif Pasien Covid-19
"Pertanyaan elementer yang niscaya diajukan: mengapa ambang batas pengajuan calon presiden dan wakil presiden dipertahankan, ketika keberadaannya menyimpang dari logika sistem presidensial?" Tutur Suhartoyo dan Saldi Isra
Saldi Isra dan Suhartoyo menyatakan, studi komparasi menunjukkan, Amerika Serikat yang selalu menjadi rujukan utama praktik sistem pemerintahan presidensial, sama sekali tidak mengenal aturan ambang batas dalam pengusulan calon presiden dan wakil presiden.
Logika lain yang selalu dikembangkan, ambang batas pengajuan calon presiden dan wakil presiden diperlukan untuk menjaga stabilitas pemerintah dalam membangun hubungan dengan lembaga legislatif.
Baca juga: Sempat Raib, Pengguna iPhone Kini Bisa Akses Aplikasi PeduliLindungi Lagi
"Bilamana pembentuk undang-undang membelokkan atau menggeser teks konstitusi, adalah menjadi kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi untuk meluruskan dan sekaligus mengembalikannya kepada teks konstitusi sebagaimana mestinya."
"Dengan demikian, sulit diterima penalaran yang wajar apabila Mahkamah justru membiarkan adanya kebijakan pembelokan norma konstitusi dengan dalil open legal policy pembentuk undang-undang," beber Saldi dan Suhartoyo.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) tak menerima gugatan presidential threshold dalam UU 7 /2017 tentang Pemilu, yang diajukan oleh Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Joko Juliantono.
Baca juga: Gugatan Gatot Nurmantyo Tak Diterima MK, Wasekjen: Mari Bergabung Bersama PKB
MK tak menerima permohonan Ferry, karena yang bersangkutan dianggap tidak punya kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan.
Gugatan Ferry yang teregistrasi dengan perkara nomor 66/PUU-XIX/2021 menyoal ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden 20 persen yang tertuang pada Pasal 222 UU 7/2017 tentang Pemilu.
Baca juga: Usulkan Penundaan, Gus Muhaimin: Pemilu 2024 Jangan Sampai Ganggu Prospek Ekonomi
"Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo," kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman membaca konklusi, di ruang sidang MK, Jakarta Pusat, Kamis (24/2/2022).