Indikasi Kerugian Negara Akibat Korupsi Pengadaan Satelit di Kemenhan Tembus Rp515 Miliar
Dalam gelar perkara ini diputuskan adanya unsur pidana dari keterlibatan pihak sipil dan militer.
WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Indikasi kerugian negara dari kasus pengadaan satelit slot orbit 123 derajat bujur timur (BT) di Kementerian Pertahanan (Kemenhan) tahun 2015-2021, mencapai Rp515 miliar.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM-Pidsus) Febrie Adriansyah mengatakan, jumlah tersebut masih dugaan sementara yang ditemukan oleh tim jaksa penyidik.
“Ada indikasi kerugian negara dalam sewa tersebut, sudah kita keluarkan sejumlah uang yang nilainya (Rp)515 miliar."
Baca juga: Pemerintah Tetap Tanggung Biaya Perawatan Pasien Covid-19 Meski Tak Punya BPJS Kesehatan
"Untuk sementara, ini yang kita temukan,” ujar Febrie dalam diskusi virtual, Senin (14/2/2022).
Febrie juga menyampaikan pihaknya telah melaksanakan gelar perkara kasus tersebut.
Gelar perkara bersama dilakukan dengan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Militer (JAM-Pidmil) serta pihak lain dari unsur militer serta Kemenhan.
Baca juga: Sebaiknya Lakukan Tes Antigen Atau PCR? Ini Kata Dokter Reisa
Menurut Febrie, hasil gelar perkara tersebut untuk mendalami proses penyewaan satelit, proses pembayaran, serta pemaparan adanya indikasi kuat yang melawan hukum berdasarkan alat bukti yang ditemukan
Dalam gelar perkara ini diputuskan adanya unsur pidana dari keterlibatan pihak sipil dan militer.
"Oleh karena itu kita usul ke Pak Jaksa Agung agar ditangani koneksitas."
Baca juga: Menteri Kesehatan Prediksi Pekan Ini Jakarta Alami Puncak Kasus Omicron, Setelah Itu Bakal Melandai
"Maka tindak lanjut kasus itu dilakukan oleh Pak JAM-Pidmil,” jelas Febrie.
Gelar perkara dihadiri oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin, Jampidsus berserta jajaran, serta tim penyidik JAM-Pidmil, POM TNI , Babinkum TNI, serta Kemenhan.
Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan, hasil gelar perkara menyatakan ada dua unsur tindak pidana korupsi dalam kasus pengadaan satelit Kemenhan, di antaranya dari unsur TNI hingga sipil dalam kasus tersebut.
Baca juga: Lima Obat Tak Dipakai Lagi untuk Pasien Covid-19, BPOM Ungkap Alasannya
“Berdasarkan hasil materi paparan tim penyidik disimpulkan terdapat dua unsur tindak pidana korupsi yang diduga ada keterlibatan dari unsur TNI dan sipil,” ungkap Burhanuddin secara virtual, Senin (14/2/2022).
Atas dasar itu, Burhanuddin menyatakan kasus dugaan korupsi pengadaan satelit di Kemenhan tersebut akan ditangani secara koneksitas.
Burhanuddin pun memerintahkan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Militer (JAM-Pidmil) untuk berkoordinasi dengan Pusat Polisi Militer (POM) TNI dan Badan Pembinaan Hukum (Babinkum) TNI untuk membentuk tim koneksitas perkara tersebut.
“Diharapkan tim penyidik koneksitas segera dapat menetapkan tersangka,” ucap Burhanuddin.
Berpotensi Rugikan Negara Rp800 Miliar
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengungkapkan dugaan pelanggaran hukum di balik kontrak pembuatan satelit komunikasi pertahanan di Kementerian Pertahanan pada 2015 silam.
Akibat dugaan pelanggaran ini, Indonesia dijatuhi putusan oleh pengadilan arbitrase internasional Inggris dan Singapura, yang mewajibkan pembayaran uang dengan total Rp800 miliar.
Potensi kerugian negara ini masih bisa bertambah, jika pihak lain yang dirugikan turut menggugat Indonesia ke pengadilan arbitrase.
Baca juga: WHO Bilang Pemberian Vaksin Booster yang Sama Seperti Dosis Lengkap Bukan Langkah Tepat
"Kementerian Pertahanan pada tahun 2015 melakukan kontrak dengan Avanti, padahal anggarannya belum ada, dia kontrak."
"Kontrak itu mencakup dengan PT Avianti, Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat," ungkap Mahfud dalam konferensi pers di Kemenkopolhukam, Jakarta, Kamis (13/1/2022).
Kemhan membuat kontrak dengan 6 perusahaan, dengan menyalahi prosedur dan melanggar hukum, untuk pengadaan satelit komunikasi pertahanan Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur.
Baca juga: Terapkan Transparansi, PBNU Bakal Publikasikan Laporan Keuangan Secara Berkala
Sebab, saat penandatanganan kontrak, belum ada anggaran dalam APBN untuk pengadaan tersebut.
"Itu terjadi dalam kurun waktu 2015-2016."
"Kontrak kontrak itu dilakukan untuk membuat Satelit Komunikasi Pertahanan, dengan nilai sangat besar, padahal anggarannya belum ada," jelas Mahfud.
Baca juga: Tak Setuju Seragam Satpam Diganti, Legislator Gerindra: Kalau Perlu Dibikin Lebih Mirip Polisi Lagi
Oleh karena kontrak tanpa anggaran negara menyalahi prosedur, pihak yang ikut perjanjian, yakni Avanti, menggugat Pemerintah Indonesia di London Court of International Abitration, lantaran Kemhan tak membayar sewa satelit sesuai nilai kesepakatan kontrak.
Pada 9 Juli 2019, pengadilan arbitrase di Inggris menjatuhi putusan Pemerintah Indonesia wajib membayar uang sewa satelit Artemis plus biaya arbitrase, konsultan, dan biaya filling dengan nilai Rp515 miliar.
Pemerintah Indonesia juga menerima putusan serupa dari pengadilan arbitrase Singapura, untuk membayar 20,9 juta dolar AS atau setara Rp304 miliar kepada Navayo.
Baca juga: Dorong Jokowi Menjabat Hingga 2027, Waketum Kadin: Pilpres Belum Tentu Lahirkan Presiden Mumpuni
"Selain dengan PT Avanti tadi, juga pemerintah baru saja diputus oleh arbitrase di Singapura untuk membayar lagi, nilainya sampai sekarang itu 20,9 juta dolar AS ke Navayo, yang 20 juta ini nilainya Rp304 miliar," beber Mahfud.
Potensi kerugian negara ini bisa terus membengkak jika perusahaan lain seperti Detente, Airbus, Hogan Lovel, dan Telesat turut menggugat Indonesia ke pengadilan arbitrase.
Berkenaan dengan ini, Mahfud telah meminta Kejaksaan Agung mempercepat proses penanganan masalah tersebut.
Baca juga: Warna Baru Seragam Satpam Bakal Diperkenalkan pada 31 Januari 2022
"Ini sudah lama jadi perhatian Kejaksaan Agung, dan kami sendiri melakukan audit investigasi."
"Kami mengonfirmasi bahwa benar Kejaksaan Agung sedang sudah cukup lama menelisik masalah ini, dan kami sampaikan konfirmasi kami bahwa itu memang benar."
"Sehingga kami menyampaikan ke Kejaksaan Agung untuk segera ditindaklanjuti, karena kalau ada suatu pelanggaran hukum dari sebuah kontrak kalau kita harus bayar, itu kita harus lawan," ucap Mahfud. (Igman Ibrahim)