PSHK Sebut Peraturan Pelabelan BPA Pada Galon Polikarbonat Beresiko Masuk Judicial Review MA
Fajri menyebut sebaiknya ada semacam ruang penyelesaian ketidaksepakatannya sebelum tahap harmonisasi, dengan mempertemukan pihak-pihak terkait saja.
“Yang saya herankan, kenapa kita sering terlalu cepat mewacanakan suatu kebijakan tanpa terlebih dahulu mengkaji secara mendalam dan komprehensif berbagai aspek yang akan terdampak,” cetusnya lagi.
Dia mengutarakan seharusnya BPOM perlu mempertimbangkan beberapa hal sebelum membuat wacana pelabelan itu.
Misalnya, kata Edy, BPOM harus melihat negara mana yang sudah meregulasi terkait BPA ini, adakah kasus yang menonjol yang terjadi di Indonesia ataupun di dunia terkait dengan kemasan yang mengandung BPA ini.
Serta adakah bukti empiris yang didukung scientific evidence, dan apakah sudah begitu urgen kebijakan ini dilakukan.
“Itu pertimbangan yang perlu dilakukan sebelum BPOM mewacanakan kebijakan terkait kemasan pangan yang mengandung BPA itu. Dalam situasi pandemi, dimana ekonomi sedang terjadi kontraksi secara mendalam, patutkah kita menambah masalah baru yang tidak benar-benar urgen?” tukasnya mempertanyakan wacana kebijakan BPOM itu.
Dia juga menyoroti dampak yang akan ditimbulkan kebijakan itu nantinya terhadap investasi kemasan galon guna ulang yang existing yang jumlahnya tidak sedikit dan terhadap psikologis konsumen.
“Bagaimana dampaknya terhadap investasi kemasan galon guna ulang yang existing yang jumlahnya tidak sedikit? Bagaimana dengan dampak psikologis masyarakat yang selama ini mengkonsumsi kemasan guna ulang?” tuturnya.
Seharusnya, kata Edy, BPOM perlu lebih berhati-hati dalam melakukan setiap kebijakan yang akan berdampak luas terhadap masyarakat. “Mestinya setiap kebijakan harus ada RIA (Risk Impact Analysis) yang mempertimbangkan berbagai dampak, antara lain teknis, kesehatan, keekonomian, sosial, dan lain-lain,” katanya.
Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian juga merasa terkejut mendengar adanya rencana BPOM yang akan melakukan pelabelan BPA terhadap kemasan air minum dalam kemasan (AMDK) galon polikarbonat tanpa memperhatikan keberatan dari para pelaku industri.
“Karenanya, saya meminta agar BPOM menyampaikan presentasinya terlebih dulu terkait pro kontra terkait rencana kebijakan itu sebelum mengeksekusinya,” ujar Asisten Deputi Pangan Kemenko Perekonomian, Muhammad Saifulloh, dalam acara diskusi media bertema “Regulasi Kemasan Pangan dan Dampaknya Pada Iklim Usaha dan Perekonomian” akhir tahun lalu.
Dia mengatakan Kemenko Perekonomian akan menjadikan apa yang disampaikan Kemenperin dan Aspadin sebagai base line utama untuk melihat secara ideal terkait Perubahan Kedua atas Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan itu.
“Masalah nanti BPOM ingin meng-goal-kan regulasi yang sekarang ini, harus menyampaikan dulu presentasi secara pro-kontranya,” tukasnya.
Menurutnya, dalam menyusun kebijakan label BPA terhadap galon polikarbonat itu, BPOM seharusnya juga melihat keseimbangan usaha di Indonesia.
“Saya pikir BPOM tidak bisa secara serta merta secara sendiri mengeksekusi regulasi itu,” ucapnya.
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin baru-baru ini bahkan menegaskan bahwa air kemasan galon guna ulang aman untuk digunakan, baik oleh anak-anak dan ibu hamil.
Menurutnya, isu-isu seputar bahaya penggunaan air kemasan air guna ulang yang dihembuskan pihak-pihak tertentu adalah hoax.
