Pilpres 2024
Setuju dengan Ketua KPK, Legislator PAN Bilang Presidential Threshold Lari dari Semangat Reformasi
Guspardi menilai, presidential threshold membuat demokrasi di Indonesia masih diwarnai biaya politik tinggi.
WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Anggota Komisi II DPR Fraksi PAN Guspardi Gaus mendukung pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri, yang menilai presidential threshold harus ditiadakan, untuk mengentaskan korupsi di Tanah Air.
Guspardi menilai, presidential threshold membuat demokrasi di Indonesia masih diwarnai biaya politik tinggi.
Menurutnya, sudah seharusnya pilpres yang membutuhkan ongkos politik mahal dihilangkan.
Baca juga: Anggota Komisi II DPR Bantah Sepakat dengan Pemerintah Pemilu 2024 Digelar pada 15 Februari
"Bisa dibayangkan, bila ada figur yang kredibel, berintegritas, dan hebat mau maju menjadi calon pemimpin bangsa, tetapi tak punya kapital yang memadai?"
"Dan ini yang dijadikan peluang bagi oligarki untuk mensponsori figur yang ingin maju dalam pemilihan presiden."
"Setelah sosok pemimpin yang dibiayainya itu terpilih, maka kepentingan para oligarki tentu harus diakomodir."
Baca juga: NasDem Bakal Pilih Pemimpin yang Bisa Lanjutkan Pembangunan yang Dilakukan Jokowi
"Sehingga tersandera kepentingan pihak lain yang mendorong terjadinya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)," kata Guspardi kepada wartawan, Senin (13/12/2021).
Guspardi mengatakan, penerapan sistem presidential threshold terkesan sebagai upaya membatasi hak konstitusional rakyat dalam menentukan calon pemimpinnya.
"Presidential threshold juga lari dari semangat reformasi, lantaran tidak membuka ruang demokrasi, guna memberikan kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk memilih mana calon yang terbaik."
Baca juga: Vaksinasi Covid-19 untuk Anak Usia 6-11 Tahun Dimulai Besok, Pakai Sinovac
"Tanpa perlu diatur dan diseleksi terlebih dahulu oleh mekanisme ambang batas," tuturnya.
Legislator asal Sumatera Barat itu menilai, dengan dihapusnya aturan presidential threshold, dapat menjadi salah satu jalan keluar guna mencegah polarisasi di tengah masyarakat.
Jangan sampai pesta demokrasi yang seharusnya disikapi dengan kegembiraan, justru menciptakan permusuhan yang berkepanjangan di antara anak bangsa.
Baca juga: ASN Tetap Dilarang Cuti Nataru dan Bepergian ke Luar Daerah Meski Tak Ada PPKM Level 3 Nasional
Oleh karena itu, setiap partai politik seharusnya diberikan hak konstitusional mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden.
"Bagaimanapun pengalaman kontestasi Pilpres 2019 lalu, seharusnya bisa menjadi pelajaran penting, bahwa penetapan presidential threshold telah mengakibatkan rakyat terpolarisasi menjadi dua kubu yang saling berhadapan."
"Akibatnya terjadi berbagai pembelahan yang membuat terjadinya persekusi, timbulnya fitnah, merajalelanya hoaks, dan lain-lain."
Baca juga: UPDATE Vaksinasi Covid-19 RI 13 Desember 2021: Dosis Pertama 146.875.959, Suntikan Kedua 103.098.857
"Lalu dilanjutkan dengan narasi-narasi yang menjatuhkan pasangan lawan atau kubu lawan."
"Sikap semacam ini dapat menciptakan konflik horizontal maupun vertikal yang berujung pada tindak kekerasan di tengah-tengah masyarakat," beber anggota Baleg DPR tersebut.
Sebelumnya, Ketua KPK Firli Bahuri menyinggung ambang batas pencalonan presiden alias presidential threshold (PT), yang sering dan masih digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Baca juga: Kortas Korupsi Sudah Digagas Sejak Era Tito Karnavian, Diwujudkan oleh Listyo Sigit Prabowo
"Sekarang orang masih heboh dengan apa itu pak, parlemen treshold, president treshold."
"Seharusnya kita berpikir sekarang bukan 20 persen, bukan 15 persen. 0 persen dan 0 rupiah."
"Itu pak kalau kita ingin mengentaskan dari korupsi," kata Firli pada acara Silatnas dan Bimtek Anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota Se-Indonesia Partai Perindo, di Jakarta Concert Hall, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Jumat (10/12/2021).
Baca juga: Mulai 2022, Vaksin Sinovac Digunakan Khusus Anak Usia 6-11 Tahun
Menurut Firli, dengan PT 0 persen dan 0 rupiah, tidak ada lagi demokrasi di Indonesia yang diwarnai dengan biaya politik yang tinggi.
Sehingga, hal itu berpotensi menyebabkan adanya politik transaksional.
Padahal, di era reformasi yang sudah bertransformasi ini, keterbukaan merupakan ruh daripada demokrasi di Indonesia.
Baca juga: Bukti Awal Tunjukkan Omicron Kurangi Efektivitas Vaksin dan Penyebarannya Bisa Lampaui Delta
Dengan keterbukaan, kata dia, seharusnya tidak ada lagi celah untuk korupsi, tidak ada lagi transaksional di ruang gelap yang kelam dan saat malam gelap gulita.
"Maknanya apa? Maknanya kita setelah tertutup seharusnya semuanya transparan, semuanya akuntabel, semuanya bisa dipertanggungjawabkan."
"Tidak perlu lagi adanya politik yang mahal, tidak perlu," tegasnya. (Chaerul Umam)