Berita Nasional
Menguak Fenomena Buzzer di Indonesia, Mulai Besaran Gaji, Sistem Kerja hingga Tebar Propaganda
Informasi seputar gaji buzzer di Indonesia pernah diungkap oleh sebuah riset khusus mengenai buzzer yang pernah diterbitkan University of Oxford
Di beberapa negara, tim muncul untuk sementara waktu di sekitar pemilihan atau untuk membentuk sikap publik seputar acara politik penting lainnya.
Fenomena Buzzer menurut Said Didu
Sebelumnya, mantan Sekretaris BUMN, Said Didu menanggapi aksi para buzzer yang kerap menyerang siapapun yang memberikan kritik kepada pemerintah dan mengangkat isu-isu yang berpotensi memecah belah persatuan.
Said Didu menilai, aksi para buzzer tersebut sudah keterlaluan dan bisa merusak iklim demokrasi.
Said Didu bercerita bagaimana awal mula penggunaan kelompok buzzer ini mulai marak, tepatnya pada saat Joko Widodo hendak mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama pada 2012 silam.
Saat itu, Tim Jokowi-Ahok mengerahkan pasukan medsos bernama Jasmev, atau Jokowi Ahok Social Media Volunteer.
"Saya pikir publik juga tahu apa sih awal penggunaan buzzer, itu untuk penggunaan kekuasaan. Itu diawali pada 2012 saat Pak Jokowi berniat maju sebagai gubernur. Kita lihat bagaimana buzzer dimanfaatkan sedemikian rupa, dan itu berhasil," ujar Said Didu dalam wawancara bersama wartawan senior Hersubeno Arief,
Baca juga: Said Didu Ingatkan Anies, Ada Arahan Kakak Pembina kepada Buzzer Belokkan Isu Kegagalan Pusat ke DKI
Keberhasilan buzzer Jokowi-Ahok kala itu yang dianggap turut memenangkan pasangan itu, menurut Said Didu, kemudian dilegitimasi bahwa peran buzzer sangat penting untuk memberikan pengaruh kepada publik.
Bahkan, menurut Didu, para buzzer yang ada saat ini pun memang dipelihara dan dibayar untuk tujuan tertentu.
"Nah sehingga metodologi kesuksesan itu, bagaimana sejauh mana buzzer itu mengkomunikasikan apa yang diinginkan. kemudian buzzer seolah-olah diformalkan pemerintah. Pemerintah memang memelihara dan memberikan anggaran kepada buzzer,; ungkapnya.
Hanya saja, makin lama menurut Didu rakyat makin sadar bahwa informasi-informasi yang disampaikan para buzzer hanya bersifat kepentingan semata.
Tidak jarang, buzzer digunakan untuk menutupi kekurangan dari pemerintah agar dilihat baik oleh rakyat yang mudah dipengaruhi.
Kemudian muncul perlawanan dari publik, yang tanpa dibayar.
"Sebenarnya buzzer ini gampang sekali dipatahkan. Karena informasi-informasi, kemampuan mereka sama sekali nggak ada. Nah kadang-kadang kita ketawa melihat. Buzzer seperti ini copy paste.
Dampaknya sekarang adalah pengusaha merekayasa alat untuk memecahbelah bangsa. Sehingga kata-kaya kasar semua keluar, kata-kata kasar diberikan kepada yang nggak sejalan dengan pemerintah," jelas Didu.