Omnibus Law

Yusril Ihza Mahendra Bilang Pemerintah Berpotensi Lumpuh Jika UU Cipta Kerja Tak Segera Diperbaiki

Pemerintah tak punya pilihan kecuali bekerja keras memperbaiki UU Cipta Kerja, pacsa-putusan MK, Kamis (25/11/2021).

Dok pribadi
Yusril Ihza Mahendra menanggapi putusan MK yang menyatakan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja, inkonstitusional secara bersyarat. 

WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Pemerintah tak punya pilihan kecuali bekerja keras memperbaiki UU Cipta Kerja, pacsa-putusan MK, Kamis (25/11/2021).

Hal itu dinyatakan oleh mantan Menkumham dan Mensesneg Yusril Ihza Mahendra, menanggapi putusan MK yang menyatakan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja, inkonstitusional secara bersyarat.

"Jika dalam dua tahun UU tersebut tidak diperbaiki, maka UU itu otomatis menjadi inkonstitusional secara permanen."

Baca juga: UPDATE Covid-19 di Indonesia 25 November 2021: 372 Orang Positif, 293 Sembuh, 16 Meninggal

"MK juga menyatakan, jika dalam dua tahun tidak dioerbaiki, maka semua UU yang telah dicabut oleh UU Cipta Kerja itu otomatis berkaku kembali."

"Ini jelas dapat menimbulkan kekacauan hukum," kata Yusril, Kamis (25/11/2021).

Dalam putusan tersebut, MK juga melarang pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana terhadap UU Cipta Kerja, selain yang sudah ada.

Baca juga: 35 Tahun Jadi Guru, Ibu Arteria Dahlan Sebut Insiden Cekcok dengan Anggiat Pasaribu Cukup Menakutkan

MK juga melarang pemerintah mengambil kebijakan-kebijakan baru yang berdampak luas, yang didasarkan atas UU Cipta Kerja, selama UU itu belum diperbaiki.

Yusril menilai putusan MK itu mempunyai dampak yang luas terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo yang kini tinggal lebih kurang tiga tahun lagi.

Kebijakan-kebijakan super cepat yang ingin dilakukan pemerintah Presiden Joko Widodo, sebagian besar justru didasarkan kepada UU Cipta Kerja itu.

Baca juga: Khawatir Ditegur MKD Jika ke Polres Cabut Laporan, Arteria Dahlan Bakal Koordinasi dengan Kapolda

"Tanpa perbaikan segera, kebijakan-kebijakan baru yang akan diambil Presiden otomatis terhenti."

"Ini berpotensi melumpuhkan pemerintah yang justru ingin bertindak cepat memulihkan ekonomi yang terganggu akibat pandemi," tuturnya.

Pemerintah, menurut Yusril, dapat menempuh dua cara mengatasi hal tersebut.

Baca juga: Wakil Ketua Komisi III DPR: Tidak Semua Korupsi Harus Berujung Hukuman Mati

Pertama, memperkuat Kementerian Hukum dan HAM sebagai law centre dan menjadi leader dalam merevisi UU Cipta Kerja.

Kedua, pemerintah dapat segera membentuk Kementerian Legislasi Nasional yang bertugas menata, mensinkronisasi, dan merapikan semua peraturan perundang-undangan dari pusat sampai ke daerah.

Yusril menilai, sejak awal UU Cipta Kerja yang dibentuk dengan cara meniru Omnibus Law di Amerika dan Kanada itu, bermasalah.

Baca juga: Dijemput Kendaraan Dinas TNI, Anggiat Pasaribu: Rindu Cuma Numpang, yang Bawa Mobil Suami Saya

Menurutnya, Indonesia mempunyai UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Setiap pembentukan peraturan maupun perubahannya, secara prosedur harus tunduk pada UU itu.

MK yang berwenang menguji materil dan formil terhadap UU, menggunakan UUD 1945 sebagai batu ujinya jika melakukan uji materiel.

Baca juga: Menangis Cium Tangan Arteria Dahlan Lalu Peluk Wasmiar, Anggiat: Rindu Minta Maaf Sudah Kurang Ajar

Sementara, jika melakukan uji formil, MK menggunakan UU 12/ 2011 itu.

"Sebab itu, ketika UU Cipta Kerja yang dibentuk dengan meniru gaya Omnibus Law diuji formil dengan UU No 12 Tahun 2011, UU tersebut bisa dirontokkan oleh MK."

"MK akan memutus bahwa prosedur pembentukan UU Cipta Kerja menabrak prosedur pembentukan UU, sebagaimana diatur oleh UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan," ulasnya.

Baca juga: Hormati Putusan MK, Airlangga Hartarto: UU Cipta Kerja Tetap Berlaku Sampai Diperbaiki

Oleh karena itu, menurut Yusril, dia tidak heran dan tidak kaget jika MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional.

Masih bagus MK hanya menyatakan inkonstitusional bersyarat.

Kalau murni inkonstitusional, maka pemerintah Presiden Jokowi benar-benar berada dalam posisi yang sulit.

Baca juga: BREAKING NEWS: MK Nyatakan UU Cipta Kerja Inkonstitusional Jika Tidak Diperbaiki dalam Waktu 2 Tahun

"Karena itu, saya menyarankan agar Presiden Joko Widodo bertindak cepat melakukan revisi menyeluruh terhadap UU Cipta Kerja, tanpa harus menunggu dua tahun," sarannya.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Undang-undang Cipta Kerja Nomor 11/2020,  bertentangan dengan UUD 1945.

"Menyatakan pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 6573) bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945."

Baca juga: KRONOLOGI Cekcok Ibu Arteria Dahlan di Bandara, Anggiat Pasaribu Ternyata Pengidap Leukimia

"Dan tidak mempunyai ketentuan hukum yang mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang yang disiarkan Chanel YouTube MK, Kamis (25/11/2021).

MK pun memerintahkan DPR dan pemerintah memperbaiki UU Cipta Kerja dalam jangka waktu 2 tahun ke depan.

"Dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU 11/2020 tentang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen," kata Anwar.

Baca juga: Diperiksa Polisi karena Mimpi Bertemu Rasulullah, Haikal Hassan: Terjadi Saat Anak Saya Meninggal

Anwar juga mengatakan, jika tak dilakukan perbaikan, maka materi muatan atau pasal UU yang dicabut UU Cipta Kerja harus dinyatakan berlaku kembali.

"Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas."

"Serta tidak dibenarkan pula menerbitkan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja," ucap Anwar.

Baca juga: AHY: Moeldoko Tidak akan Berhenti Sampai Keinginannya Tercapai, Bahkan Menghalalkan Segala Cara

Dalam putusan ini, empat hakim MK menyatakan dissenting opinion, yakni Anwar Usman, Daniel Yusmic, Arief Hidayat, dan Manahan MP Sitompul.

Putusan MK ini merujuk pada uji formil yang diajukan oleh lima penggugat terdiri dari seorang karyawan swasta bernama Hakiimi Irawan Bangkid Pamungkas.

Lalu, seorang pelajar bernama Novita Widyana, serta tiga orang mahasiswa, yakni Elin Diah Sulistiyowati, Alin Septiana, dan Ali Sujito.

Uji formil tersebut tercatat dalam 91/PUU-XVIII/2020. (Vincentius Jyestha)

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved