Peretasan Data
Data Seluruh Anggota Diretas Menjadi Tanda Bahwa Sistem Keamanan Siber di Tubuh Polri Masih Lemah
Beberapa waktu lalu data personel Polri bocor dan diunggah oleh akun twitter @son1x777, Rabu (17/11/2021) siang.
Penulis: Desy Selviany | Editor: Sigit Nugroho
"Di lembaga yang masih tidak memprioritaskan keamanan siber, penanggungjawab sistem informasi ini tidak diberikan perhatian besar, artinya dari sisi SDM, infrastruktur dan anggaran diberi seadanya," bebernya.
Menurutnya, berbeda dengan di perusahaan teknologi, biasanya sudah ada direktur yang membawahi teknologi dan keamanan siber meski mereka masih mengalami kebobolan akibat peretasan.
Pratama mengingatkan di tanah air, upaya perbaikan itu sudah ada.
Misalnya pembentukan CSIRT (Computer Security Incident Response Team).
CSIRT inilah nanti yang banyak berkoordinasi dengan BSSN saat terjadi peretasan.
Ditambahkan olehnya, bahwa salah satu kekurangan yang cukup serius juga adalah tata kelola manajemen keamanan siber yang masih lemah.
Dalam kasus eHAC Kemenkes misalnya, pelaporan adanya kebocoran data sampai dua kali tidak direspon oleh tim IT Kemenkes.
Baru setelah laporan dilakukan ke BSSN, dalam waktu dua hari sistem eHAC di takedown. Ini pun harusnya bisa dilakukan langkah segera dalam hitungan jam.
"Kita jelas berharap, UU PDP ini nanti bisa hadir dengan cukup powerfull. Bisa memberikan peringatan sejak awal pada lembaga negara dan swasta sebagai penguasa data pribadi," harapnya.
Menurutnya, jika sejak awal tidak memperlakukan data pribadi dengan baik dan terjadi kebocoran akibat peretasan, maka ada ancaman bahwa lembaga itu akan kena tuntuan ganti rugi puluhan miliar rupiah.
Maka Pratama mendorong secara langsung upaya peningkat SDM, infrastruktur dan tata kelola manajemen sistem informasi lebih baik lagi, sehingga bisa mengurangi kebocoran data.