Polemik Partai Demokrat Hingga Yusril Ihza Mahendra Jadi Kuasa Hukum, Begini Tanggapan Fahri Bachmid

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia, Dr Fahri Bachmid turut angkat bicara mengenai Polemik Partai Demokrat.

Editor: PanjiBaskhara
Istimewa
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia, Dr Fahri Bachmid turut angkat bicara mengenai Polemik Partai Demokrat. 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Kisruh Partai Demokrat kubu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko masih berlanjut dan hangat diperbincangkan publik.

Bahkan, Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra yang ditunjuk menjadi kuasa hukumnya eks Kader Partai Demokrat membuat suasana makin memanas.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia, Dr Fahri Bachmid turut angkat bicara soal permasalahan ini.

Tidak hanya itu, Fahri pun turut merespon mengenai pendapat Pemerhati Politik dan Kebangsaan M Rizal Fadillah.

Baca juga: Pemilu 2024, Partai Demokrat: Uji Materiil SK Pengesahan Perubahan AD/ART Dapat Jadi Preseden Buruk

Baca juga: Partai Demokrat Terus-menerus Digoyang, SBY: Mungkin Hukum Bisa Dibeli, tapi Tidak untuk Keadilan

Baca juga: Kisruh Partai Demokrat, Yusril Ihza Mahendra Disindir, Bappilu PBB: Tidak Usah Digiring ke Mana-mana

Diketahui, Rizal Fadillah menjelaskan langkah hukum dilakukan Yusril Ihza Mahendra dengan mendampingi empat mantan anggota Partai Demokrat kubu Moeldoko.

Rizal menerangkan, langkah hukum Yusril Ihza Mahendra mengajukan judicial review (JR) atau uji materi terhadap AD/ART Partai Demokrat Tahun 2020 ke Mahkamah Agung (MA), dinilai berbahaya.

Maka itu, menurut Fahri, pendapat yang dilontarkan Rizal direspon secara proporsional dan objektif.

Hal itu dilakukan agar tidak menciptakan suatu analisis yang distorsif di tengah politik.

Basis analisis Rizal dalam konteks ini, menurut Fahri, adalah sangat politis dan subjektif dengan tidak memandang persoalan tersebut.

Ia menilai, persoalan itu dianggap tidak memandang secara lebih substansial dan komprehensif denga memakai optik teori ilmu hukum atau secara akademik, mengunakan parameter yang jauh lebih filosofis untuk memahami pokok persoalan yang sesungguhnya.

"Sebenarnya persoalan perselisihan hukum kader (Partai Demokrat) yang telah dipecat oleh AHY merasa memiliki kepentingan hukum untuk mengajukan judicial review (JR) AD/ART ke Mahkamah Agung dengan menunjuk Yusril Ihza Mahendra sebagai kuasa hukumnya," kata Fahri dalam siaran persnya.

Menurutnya, jika konteks perselisihan ini kemudian dibawa ke ranah hukum, maka tentunya semua pihak harus menghormatinya sebagai konsekuensi penerapan prinsip negara hukum, dan pengadilan adalah alat penyelesaian sengketa yang bermartabat dan terhormat.

"Seharusnya perdebatan ini idealnya jangan dicampuradukan secara politis, agar terbangun dengan spirit serta kehendak pencari keadilan itu sendiri, yang mana mengarahkan perselisihan ini ke koridor hukum," paparnya.

Perselisihan ini, kata Fahri, sejatinya terkait dengan permohonan pengujian formil atas prosedur pembentukan AD/ART Partai Demokrat tahun 2020 yang telah disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.H-09.AH.11.01 Tahun 2020 tentang Pengesahan Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Demokrat pada 18 Mei 2020.

”Ini murni masalah hukum yang tidak perlu ditafsirkan atau sengaja membangun tafsir yang bercorak politis."

"Dengan demikian, sangatlah elok, jika segala berdebatan sedapat mungkin diorientasikan pada perdebatan yang jauh lebih akademik dan konstitusional, dan bukan perdebatan kusir yang bersifat politis,” tegasnya.

Fahri Bachmid, menambahkan, permohonan JR AD/ART Partai Demokrat era AHY ke MA tersebut merupakan suatu isu sekaligus permasalahan negara yang harus dipecahkan secara serius dan tuntas melalui suatu terobosan hukum.

Saat Yusril Ihza Mahendra ajukan permohonan ini ke MA, lanjut Fahri, secara sadar harus mahfum bahwa masalah AD/ART partai politik dari sisi peraturan perundang-undangan dalam hal penormaan, memang luput menjangkau serta mengatur soal masalah pelembagaan pranata pengujian norma AD/ART parpol tersebut.

”Karena UU No. 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik hanya mengharuskan bahwa AD/ART sebuah parpol memuat visi dan misi, azas dan ciri, nama, lambang, tanda gambar, kepengurusan dan mekanisme pemberhentian anggota"

"Tak ada satupun perintah bersifat imperatif dan mewajibkan bagi parpol agar AD/ART mereka sejalan dengan tujuan parpol yang dimandatkan, oleh norma peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi di atasnya," papar Fahri.

Kata Fahri, jika dilihat secara lebih seksama dan mendalam, terkait ketiadaan aturan hukum legal vacuum yang dapat menjangkau fenomena hukum tersebut di internal parpol, jika suatu AD/ART melanggar konstitusi atau UU di atasnya, maka yang dibutuhkan adalah suatu langkah terobosan breakthrough secara hukum sema-mata untuk tercipta tertib norma hukum secara berjenjang.

Fahri juga menilai, proses pengajuan judicial review AD/ART Partai Demokrat ke MA tersebut secara yuridis akan berimplikasi.

Yakni menjadi terobosan hukum rule breaking penting dan signifikan dalam tata hukum nasional oleh pihak MA RI.

Sehingga, lanjutnya, secara teoritik hal tersebut sangat dibolehkan kalau bukan dikatakan dianjurkan.

Artinya, kata Fahri, ada implikasi yang ditimbulkan dengan adanya kekosongan hukum terhadap hal-hal atau keadaan yang tidak atau belum diatur itu dapat terjadi ketidakpastian hukum itu sendiri.

Ataupun ketidakpastian peraturan perundang-undangan di masyarakat, yang lebih jauh lagi akan berakibat kepada kekacauan hukum rechtsverwarring itulah urgensi dan pentingnya dari lagal action ini sesungguhnya.

”Berangkat dari keadaan serta kebutuhan itu, maka idealnya pengaturan terhadap produk AD/ART partai politik harus diciptakan pranata pengujiannya oleh kekuasaan yudisial sesuai orientasi cita-cita negara hukum."

"Sebab, partai politik berkedudukan sebagai badan hukum publik sesuai putusan MK. Pasal 3 ayat (1) UU 2/2011 menyebutkan partai politik harus didaftarkan ke kementerian untuk menjadi badan hukum,” jelasnya.

Fahri Bachmid, menjelaskan, Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 34 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Pendirian Badan Hukum, Perubahan AD/ART, serta Perubahan Kepengurusan Partai Politik (Permenkumham 34/2017) menyebutkan bahwa pendaftaran partai politik adalah pendaftaran pendirian dan pembentukan partai politik untuk mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum partai politik.

Selanjutnya, Pasal 1 angka 2 Permenkumham 34/2017 kemudian menyebutkan Badan Hukum Partai Politik adalah subjek hukum berupa organisasi partai politik yang telah mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, eksistensi Parpol sebagai Badan Hukum Publik juga telah ditegaskan dalam putusan MK Nomor 60/PUU- XV/2017 dan Putusan Nomor 48/PUU- XVI/2018.

Di mana MK telah menerima permohonan sebagai pihak pemohon dan membenarkan kedudukan hukum (legal standing) pemohon sebagai badan hukum publik sesuai ketentuan Pasal 3 Peraturan MK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang Undang.

"Dengan demikian, judicial review atas legalitas suatu AD/ART partai sesungguhnya merupakan kontrol hukum terhadap proses politik, yaitu penyusunan AD/ART yang dilakukan oleh internal partai politik," bebernya.

Dia menjelaskan, urgensi judicial review sebagai alat kontrol yudisial terhadap konsistensi norma atas produk hukum partai politik dalam bentuk AD/ART dengan UU sebagai peraturan yang lebih tinggi.

Hal itu dalam rangka menegakkan aturan-aturan hukum, termasuk dan tak terkecuali AD/ART partai politik.

Sehingga diperlukan adanya institusi serta instrumen kekuasaan kehakiman judicative power yang diselenggarakan oleh badan-badan peradilan negara.

"Tugas pokok badan peradilan adalah memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan masyarakat pencari keadilan."

"Pelaku inti yang secara fungsional melaksanakan kekuasaan kehakiman adalah hakim,” terangnya Fahri.

Persoalan dan konteks ini harus diletakan pada suatu pemahaman, bahwa ini merupakan suatu langkah secara legal konstitusional ditempuh untuk mengatasi kekosongan hukum problem pengujian norma AD/ART parpol.

Selain itu, sebagai kontrol yudisial atas fenomena praktik despotisme, opresif dan oligarkis partai politik dalam pembentukan aturan pokok partai politik.

(Wartakotalive.com/CC)

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved