Ratusan Napi Koruptor Dapat Remisi Hingga Peredaran Narkoba di Lapas, Ini Tanggapan Pengamat dan ICW
Tanggapan pengamat hingga ICW soal maraknya peredaran narkoba di Lapas hingga remisi untuk narapidana koruptor.
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Tengah ramai diperbincangkan publik soal adanya ratusan narapidana koruptor mendapat remisi.
Adanya kebijakan koruptor dapat resmisi ini jadi pertanyaan mengenai kinerja Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS).
Ditjen PAS dinilai tak kunjung tunujukkan perbaikan setelah satu tahun lebih.
Padahal, sudah beragam kebijakan dikeluarkan kerap menjadi sorotan karena dianggap bertentangan dan buang-buang anggaran.
Baca juga: Koruptor Dapat Remisi, Pengamat Hukum: Sah-sah Saja karena Berbasis Undang-undang
Baca juga: DAFTAR Lengkap 214 Koruptor Penerima Remisi HUT ke-76 RI, Termasuk Djoko Tjandra
Baca juga: Pengamat Ini Bilang Koruptor Mendapat Remisi Itu Sah-sah Saja: Ini kan Sudah Diatur dalam Peraturan
Diketahui, kebijakan itu ialah pemindahan narapidana narkotika ke lapas Nusakambangan.
Pasalnya, peredaran narkotika masih terus marak dan semua bermuara dibalik jeruji besi.
Sosok Reynhard Silitonga, memang memiliki rekam jejak sebagai Direktorat Narkoba di dua Polda.
Namun hal itu tak jadi jaminan.
Sebab, hingga kini Rutan dan Lapas masih jadi tempat paling aman berbisnis narkoba bagi para bandar berstatus napi.
Harapan Menkumham Yasonna Laoly sewaktu memilih Dirjen PAS, yakni dengan maksud memberantas peredaran narkoba di rutan dan Lapas, nyatanya tidak terealisasi.
Namun Badan Narkotika Nasional (BNN) sebut 80 persen peredaran narkotika yang selama ini diungkap pihaknya berujung di dalam penjara.
"Bandarnya tak bisa dihalangi, karena mau pindah kemana bandar tetap aja bandar. Lapas ini tidak ada cara untuk menghambatnya, semua masuk Lapas sama," ujarnya Pengamat Kebijakan Lembaga Universitas Indonesia, Arthur Josias Simon Runturambi, Selasa (24/8/2021).
Kini, kebijakan yang jadi perbincangan publik ialah kebijakan pemberian remisi kepada 214 narapidana koruptor.
Kebijakan tersebut, dinilai cederai masyarakat setelah sebelumnya merugikan negara atas korupsi yang dilakukan.
Pasalnya, mereka selama ini mencuri uang rakyat malah bebas lewah awal setelah dapat pemotongan hukuman.
Pihak Indonesia Corruption Watch (ICW) mengaku heran dan pertanyakan remisi yang diberikan Kemenkum HAM.
Contohnya resmisi kepada narapidana korupsi Djoko Tjandra.
Sebab Djoko Tjandra dinilai melakukan tindakan melawan hukum karena melarikan diri sebelum putusan perkara dibacakan.
"ICW mempertanyakan alasan Kemenkum HAM memberikan pengurangan hukuman berupa remisi umum hari kemerdekaan kepada Joko S Tjandra."
"Betapa tidak, narapidana itu sebelumnya bertindak melawan hukum dengan melarikan diri sebelum putusan itu dibacakan pada tahun 2009 lalu," kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, kemarin.
Menurut Kurnia, persyaratan pemberian remisi tak hanya bagi narapidana yang telah menjalani 1/3 masa tahanan, akan tetapi napi yang memiliki kelakuan baik.
"Apakah kelakuan baik Djoko Tjandra baik dan napi koruptor lainnya baik juga? Jangan lupa, syarat mendapatkan remisi"
"Sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (3) PP Nomor 28 Tahun 2006 tidak hanya mensyaratkan jalani 1/3 masa pidana, melainkan juga berkelakuan baik," tutur dia.
"Maka, pertanyaan lanjutannya: apakah seseorang melarikan diri selama sebelas tahun dianggap berkelakuan baik oleh Kemenkum HAM?" tambahnya.
Maka, harapnya, dari kebijakan yang dikeluarkan Ditjen PAS, Menkumham diminta segera bertindak cepat.
Koruptor Dapat Remisi, Pengamat Hukum: Sah-sah Saja
Pantaskah koruptor mendapatkan remisi?
Bagi Pengamat komunikasi politik Emrus Sihombing, sah-sah saja koruptor dapat remisi.
Menurut Emrus Sihombing, remisi koruptor merupakan kebijakan Kemenkumham RI.
Sebab, pendekatan secara normatif, remisi bagi narapidana pasti telah dikaji dengan berbagai hal dan regulasi yang ada.
"Remisi bagi warga binaan pemasyarakatan (WBP) yang dikeluarkan Kemenkumham berbasis pada undang-undang (UU)."
"Ini kan sudah diatur dalam peraturan, jadi sah-sah saja," ujarnya Emrus Sihombing, kepada wartawan, pada Sabtu (21/8/2021).
Kendati demikian, menurutnya, bila remisi khususnya bagi narapidana tindak pidana korupsi (Tipikor) dikaji dari perspektif kritis, maka para narapidana Tipikor tidak layak menerima remisi.
Sebab perilaku koruptif tersebut merupakan penyakit sosial.
"Ini kenapa? Agar ada efek jera. Agar masyarakat lain agar tidak melakukan atau berpikir berkali-kali untuk lakukan Tipikor."
"Di semua lini sudah banyak perilaku koruptif. Ini penyakit sosial (Patologi sosial) jadi harus diberikan sanksi keras," ujar Dosen Universitas Pelita Harapan (UPH) ini.
Dia melihat Kemenkumham melakukan pendekatan normatif atau obyektif berdasarkan UU pada remisi yang diberikan kepada paKara koruptor.
Sebab, pemberian remisi bagi WBP tidak bisa merujuk pada dua pendekatan sekaligus.
Karena pendekatan normatif dan pendekatan kritis saling berseberangan.
"Pendekatan kritis di sini juga harus merujuk pada landasan hukum yang ada. Bila tidak, Menteri Hukum dan HAM bisa saja memberikan remisi bagi terpidana korupsi atau pidana lainnya," katanya.
Hal senada diungkapkan Pengamat Hukum Masthuro, mengatakan remisi bagi narapidana teroris dan koruptor diberikan dengan mempertimbangkan rasa keadilan di mata hukum.
Sebab, menurut dia, dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945 disebutkan semua warga negara miliki kedudukan sama di mata hukum.
"Pemerintah tentu memiliki pertimbangan lain (tidak membedakan hak warga negara), seperti asas keadilan di mata hukum untuk mengeluarkan remisi bagi narapidana koruptor dan terorisme," ujar Masthuro.
Masthuro sebut, remisi diberi ke narapidana dengan pertimbangan yang matang dan sesuai dengan ketentuan UU seperti memiliki perilaku yang baik dan menyesali perbuatannya.
Remisi, lanjutnya, diberi pemerintah saat momentum tertentu seperti HUT kemerdekaan RI, Hari Raya keagamaan dan lainnya.
"Setiap penerapan kebijakan (remisi bagi korupsi dan terorisme) menuai pro-kontra itu wajar saja. Pasti ada like and dislike," katanya.
Menyikapi hal tersebut, Kepala Bagian Humas dan Protokol Ditjenpas Kemenkumham Rika Aprianti mengatakan hak remisi dari warga binaan pemasyarakatan itu sama.
”Semua berhak mendapatkan remisi apabila telah memenuhi persyaratan. Yang tidak memenuhi pesyaratan, maka warga binaan tersebut tidak diberikan remisi,“ ujar Rika.
Rika mengatakan berdasarkan Pasal 34 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006, dinyatakan narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, kejahatan transnasional akan diberikan remisi apabila memenuhi persyaratan yakni berkelakuan baik dan telah menjalani satu per tiga masa pidana.
“Pasal 14 ayat 1 huruf (i) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyatakan narapidana berhak mendapatkan remisi," kata Rika.
(Wartakotalive.com/CC/Tribunnews.com/Vincentius Jyestha Candraditya)
Sebagian Artikel telah tayang di Tribunnews.com dengan judul "Pemberian Remisi Koruptor, kata Pengamat Sah-sah Saja Karena Kemenkumham Berbasis UU"