PPKM Darurat
Kisah Para Sopir Bajaj: Triple Kill PPKM Darurat, Penghasilan Menghilang, Bansos pun Tak Dapat
Kisah para sopir bajaj yang ditemui Wartakotalive.com mengaku penghasilannya menghilang selama PPKM darurat, sudah begitu mereka tidak menerima bansos
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Rabu (7/7/2021), ba'da isya, tiga buah bajaj warna biru terparkir di Jalan Slamet Riyadi, Matraman, Jakarta Timur. Mereka berjejer di pinggir jalan, depan gedung Bank BRI.
Di atas trotoar terlihat tiga orang yang sedang duduk berselonjor melepas lelah.
Masing-masing dari mereka sedang menatap ponselnya. Dari jarak 10 meter, sosok mereka pun tidak tampak jelas.
Hanya terlihat sejumlah siluet yang saling menyahut. Maklum, di lokasi itu tidak ada lampu jalan yang menyala.
Penerangan hanya bersumber dari sorot lampu kendaraan yang hilir-mudik.
Di bawah cahaya temaram, tiga orang itu saling bercengkrama. Mereka adalah Yanto, Basuki, dan Subkhi.
Mereka merupakan supir dari tiga buah bajaj yang berjejer di depan gedung Bank BRI Slamet Riyadi.
Baca juga: Langgar PPKM Darurat Siap-siap Kena Denda Ratusan Ribu, Pengusaha: Kurang Sosialisasi
Baca juga: Wamenag Minta Tokoh Agama Jadi Garda Terdepan Sosialisasikan PPKM Darurat
Malam itu, tiga orang ini lebih memilih mangkal daripada keliling mencari penumpang.
“Kita kalau keliling cari penumpang jatuhnya malah hanya buang bahan bakar. Mending kita pangkalan bajaj di sini,” ucap Yanto.
Pilihan itu mereka ambil karena sepinya penumpang. Yanto pun mengatakan, sejak pukul 06.00 WIB hingga pukul 19.00 WIB, ia hanya memperoleh dua orderan, dengan jumlah total Rp 30.000.
“Dari sini (Jalan Slamet Riyadi) ke Stasiun Manggarai, dari stasiun lanjut lagi ke Terminal Manggarai.
Pria asal Tegal, Jawa Tengah tersebut mengungkapkan, sejak pelaksanaan PPKM darurat, jumlah penghasilannya menurun drastis.
Baca juga: VIDEO Pabrik Konveksi di Sukapura Langgar PPKM Darurat, Belasan Karyawan Reaktif Covid-19
“Setorannya Rp 120.000 per hari. Sedangkan hari ini baru dapat Rp 30 ribu. Sebelum PPKM darurat kita bisa dapat uang di luar setoran sebesar Rp 40.000-50.000,” ujar Yanto.
Pria berbadan jangkung ini menjelaskan selisih penghasilannya sebelum dan saat penerapan PPKM darurat.
“Perbedaan jauh banget. Kalau sebelum PPKM darurat, kita setoran itu masih dapat, makan masih bisa, ada simpanan juga,” ucap Yanto.
Hal yang sama juga dirasakan oleh Basuki dan Subkhi. Sejak pukul 08.00 WIB hingga pukul 19.00 WIB, Basuki hanya mendapat tiga kali order.
Masing-masing bernilai Rp 10.000, Rp 15.000, dan Rp 15.000.
Sementara Subkhi, selama sehari ini hanya mendapat dua penumpang dengan total jumlah penghasilan sejumlah Rp 30.000.
Yanto, Basuki, Subkhi menetap di satu wilayah yang sama. Mereka tinggal di daerah Bukit Duri, Jakarta Selatan.

“Jadi satu blok tapi lain kontrakan. Subkhi di ujung, saya di tengah, Basuki di pojok,” jelas Yanto.
Dari ketiga sopir bajaj ini, hanya Basuki yang tinggal bersama anak dan istri.
Yanto dan Subkhi menetap sendirian. Anak dan istri mereka tinggal di Tegal.
Selama pelaksanaan PPKM darurat, mereka bertiga mengalami sejumlah masalah yang sama.
Beberapa di antara masalah tersebut meliputi sulitnya membayar setoran harian dan penghasilan yang menurun.
Bagi Yanto dan Subkhi, mereka kesulitan untuk mengirim uang ke anak dan istrinya di kampung.
“Sudah tiga bulan ini belum bisa kirim uang. Mertua udah nanyain aja, mana kirimannya buat anak. Kasian,” ucap Yanto, menirukan ucapan mertuanya.
Di kampung halaman, Yanto memiliki dua orang anak. Satu laki-laki, satu perempuan.
Anak yang paling besar saat ini sudah menginjak bangku kelas 1 SMP, sementara anak nomer dua sudah duduk di kelas 6 SD.
Seperti halnya Yanto, Subkhi juga memiliki dua orang anak yang seluruhnya tinggal di Tegal.
“Sekarang susah, duitnya buat makan dan nalangin kerusakan bajaj aja gak ada, apalagi buat kirim ke kampung. Ini sudah 10 bulan belum pulang ke Tegal. Jadi Bang Toyib. Lebaran di sini,” keluh Subkhi, dengan nada tawa.
Bertahan di era modernisasi
Hingga saat ini Yanto, Basuki, dan Subkhi masih menggunakan cari konvensional untuk menarik calon konsumen.
Mereka tidak menggunakan sistem daring seperti moda transportasi umum lainnya.
“Ya sistemnya ya ngaweh aja. Misal kita dipanggil dari gang atau dari rumah,” ucap Basuki.
Ongkos setoran yang wajib mereka bayar pun sedikit berbeda.
Yanto dan Basuki ditarget Rp 120.000 per hari, sementara Subkhi Rp 800.000 per bulan.
Sejak PPKM darurat, mereka sering kali tidak bisa menutup target setoran harian.
Untungnya, mereka punya bos yang paham akan situasi di lapangan.
Mereka mengaku, pemilik bajaj memberi kemudahan untuk mencicil ongkos setoran jika kondisi jalanan sudah normal.
Di tengah obrolan, ponsel milik Subkhi berdering. Ia sedang menerima panggilan video dari keluarganya.
Dari percakapan tersebut, terdengar suara perempuan yang menanyakan kabar dan berpesan untuk menjaga kesehatan diri.
Selang beberapa menit, ponsel Yanto ikut berdering, setelah melihat ponselnya, ia kembali memasukkan ponsel itu ke saku depan dan memilih untuk tidak mengangkat panggilan itu.
Tunggak setoran, cicil kemudian
Perihal target setoran yang tak kunjung tercapai, Yanto, Basuki, dan Subkhi hanya bisa pasrah.
“Saya pasrah diri. Cuma ada duit segini. Jadi dihitung hutang. Misalnya, saya bawa duit Rp 20.000, saya ambil Rp 15.000. Sisanya Rp 5.000 saya setor," ucap Basuki.
Pria asal Purworejo, Jawa tengah ini juga bercerita, pemilik dari bajaj yang ia sewa memberi kesempatan kepada para sopir bajaj untuk membayar setoran secara dicicil.
“Nanti kalau penghasilan sudah normal ya dicicil. Rp 10.000, Rp 20.000. Yang penting faktor utama itu kita bertanggung jawab,” ujar Basuki.
Setoran yang tak kunjung mencapai target juga dirasakan oleh Yanto.
Pada hari minggu, 4 Juli lalu, Yanto dipanggil oleh pemilik bajaj. Ia ditanya soal kapan sanggup membayar tunggakan setoran.
“Kok banyak banget bos? Gak terasa. Jadi kapan bayarnya? Nanti aja bos kalau keadaannya sudah normal lagi. Nanti saya cicil tiap minggu. Utamakan kirim anak dulu, bos,” ungkap Yanto.
Di tengah situasi yang tak menentu, mereka tetap bersyukur. Mereka sering mendapat makan dari masyarakat.
“Kadang-kadang ada yang ngasih nasi. Bawa mobil atau motor,” cerita Subkhi.
Mereka lebih sering menerima bantuan dari sesama rakyat ketimbang bantuan pemerintah.
Dari tiga orang sopir bajaj itu, hanya Basuki yang menerima bantuan sosial (bansos) dari pemerintah.
Yanto dan Subkhi sama sekali belum pernah menerima bansos
"Nggak dapat. Kemarin kondisinya untuk dapat bansos harus pakai surat pindahan dulu, dari kampung ke DKI. Saya gak ada,” papar Yanto.
Hal serupa juga menimpa Subkhi, ia tidak mendapat bansos karena statusnya yang pendatang.
“Enggak dapat. KTP saya alamat kampung. Yang dapat itu kan yang punya rumah, saya di sini cuma ngontrak,” beber Subkhi.
Sebelum menjadi sopir bajaj, Yanto bekerja di sebuah usaha katering. Di sana, ia bekerja selama empat tahun.
“Saya di bajaj baru tiga tahun,” kata pria yang sudah tiga tahun tidak pulang ke kampung halaman tersebut.
Yanto diminta keluar dari usaha jasa katering karena pemutusan hubungan kerja.
Nasib serupa juga menimpa Basuki, ia juga diminta keluar dari tempat dulu ia bekerja. Basuki dulu adalah sopir travel antarkota dan provinsi.
“Saya kurang lebih tiga tahun di bajaj,” ujar Basuki.
Lain cerita dengan Subkhi, ia bisa dibilang sudah veteran sebagai sopir bajaj.
“Saya 31 tahun di bajaj. Dari tahun 1990. Umur 15 tahun lah udah narik bajaj,” ujar Subkhi.
Di antara sorot lampu kendaraan bermotor, wajah mereka tampak lelah. Rencananya, mereka akan pulang pada pukul 21.00 WIB.
Suasana malam di Jalan Slamet Riyadi, Matraman mulai sepi. Mobil dan motor yang lewat melaju dengan cepat.
Kondisi jalan tersebut kosong. Hanya ada tiga buah bajaj, satu sepeda motor, dan empat orang manusia (m29).