B30: Langkah Awal Reformasi Energi di Indonesia untuk Tinggalkan Energi Fosil
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengembangkan B30 sebagai langkah awal reformasi energi di Indonesia.
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA-- Dalam rangka menggali peluang dan tantangan pengembangan B30 dalam pengendalian perubahan iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kembali menyelenggarakan Diskusi Pojok Iklim bertema 'B30: Langkah Awal Reformasi Energi'.
B30 merupakan bioenergi yang sangat besar kontribusinya untuk pencapaian target NDC di tahun 2030.
Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim, Sarwono Kusumaatmadja, dalam sambutan pengantarnya menyampaikan bahwa saat ini pemerintah sedang berupaya melakukan reformasi energi dengan beralih ke arah energi baru terbarukan dan meninggalkan energi fosil.
B30 ini merupakan langkah awal dari pengembangan bioenergi yang sangat banyak alternatif dan pilihannya.
“Oleh karena itu ada dua semboyan untuk melangkah menuju reformasi energi. Pertama "think globally act locally", dan kedua "think big and start small". Kalau kita petakan peralihan bioenergi dari energi fosil, masalahnya sangat kompleks, sehingga berbagai variabel harus didalami dan diperhitungkan. Mengingat biodiversitas kita sangat kaya, kedepan kita harus mengembangkan sumber biofuel dari sumber nabati yang beragam,” kata Sarwono, Rabu (23/6).
Baca juga: KLHK Lepasliarkan Satwa Dilindungi dan Restocking Satwa Hasil Penangkaran di Jambi
Baca juga: KLHK dan Tim Gabungan Tangkap Penjual Kulit dan Tulang Harimau Sumatera di Bengkulu
Selanjutnya, Koordinator Keteknikan Bioenergi, Direktorat Bioenergi, Ditjen EBTKE, Kementerian ESDM, Efendi Manurung mengatakan bahwa dari target bauran energi dari EBT sebesar 23% pada tahun 2025, saat ini telah tercapai sebesar 11,2%.
Program mandatori B30 merupakan salah satu upaya dari sektor energi untuk mencapai target pengurangan emisi sebagaimana dituangkan dalam Paris Agreement.
Upaya persiapan B30 di antaranya melakukan revisi SNI biodiesel, uji jalan atau fungsi B30, memastikan kesiapan produsen biodiesel, metode sistem handling dan penyiapan yang tepat, dan kesiapan infrastruktur, serta melakukan sosialisasi untuk memastikan penerimaan publik.
Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) harus mengikuti prinsip keberlanjutan, memaksimalkan keterlibatan petani, standar mutu yang semakin baik, proses yang makin efisien, harga biodiesel yang stabil dan terkendali.
“Biofuel ke depan tidak terbatas untuk biodiesel, tidak terbatas pada pengusahaan skala besar, tapi didorong yang berbasis kerakyatan, spesifikasi menyesuaikan dengan kebutuhan konsumen, pemanfaatan by product biodiesel, dan pemanfaatan hasil sawit non-CPO,” ujarnya.
Kemudian, Kepala Balai Teknologi Termodinamika Motor dan Propulsi, BPPT, Heri Setiapraja menyampaikan bahwa penerapan B30 di Indonesia telah melalui kajian yang melibatkan seluruh stakeholder terkait.
Rekomendasi kajian telah diimplementasikan melalui penetapan standar baru properti biodiesel, penanganan dan penyimpanannya.
Menurut Heri, kinerja kendaraan secara umum tidak berubah signifikan dari bahan bakar B20 menjadi B30.
“Penerapan energi B30 untuk teknologi Euro4 memerlukan kajian khusus yang lebih detail, terutama terkait kajian system exhaust after treatment,” jelas Heri.
Sementara itu, Kepala Sub Direktorat Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Bergerak, Direktorat Jenderal PPKL, KLHK, Ratna Kartikasari menjelaskan bahwa penggunaan bioenergi khususnya B30 dapat meningkatkan jumlah pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) jika dibandingkan B20.