Opini
21 Mei 1998, Runtuhnya Rezim Soeharto, Menyaksikan Kejatuhan 3 Presiden RI
Soeharto tidak mau bicara dengan Habibie, menteri kesayangannya selama bertahun tahun. Konon karena menolak tuntutan Soeharto supaya mereka mundur.
Saya ikut rombongan sebagai wartawan The Jakarta Post.
12 Mei 1998, menjadi tragedi nasional dengan gugurnya 4 mahasiswa Trisakti yang ditembak oleh aparat. Jakarta rusuh.
Baca juga: Warga Etnis Tionghoa di Indonesia Merayakan Imlek Sembunyi-sembunyi di Era Rezim Orde Baru Soeharto
Kami sudah di Kairo ketika itu. Kemudian Soeharto membuat pernyataan di KBRI Kairo.
Intinya, dia bersedia mundur sebagai presiden. Kalimatnya dibungkus secara tersamar.
Pak Dubes Hassan Wirajuda mengizinkan wartawan menggunakan telefon kantornya untuk mengirim berita.
Besok paginya Menlu Ali Alatas meminta saya dan J Osdar wartawan harian Kompas untuk menghadap ke kamar hotelnya.
Kalau tidak salah Hotel Sheraton tempat delegasi resmi menginap.
Baca juga: Kala Mbak Tutut Jadi Comblang Wismoyo Arismunandar dan Siti Harijanti Adik Ibu Tien Soeharto
Intinya, Presiden Soeharto marah karena kami memelintir beritanya.
Sepertinya beliau menyesal mengatakan bersedia mundur.
Jujur saja saya dan Osdar sangat ketakutan, karena Protokol Istana bilang, paspor kami berdua hilang. Mereka yang simpan.
Artinya kami tidak bisa pulang ke Jakarta.
Osdar memegangi kedua tangannya, seperti sikap orang yang sedang diinterogasi oleh tentara.
Pak Alatas bicara halus sekali. Tetapi berjanji akan membantu.
Baca juga: Terjawab Mengapa Soeharto Tidak Ikut Diculik Bersama 7 Jenderal di Malam 30 September 1965
Kemudian Presiden Soeharto kembali ke Jakarta. Diantar ke pesawat oleh President Mesir Hosni Mubarak.
Saya dan Osdar boleh ikut pulang. Suasana di pesawat mencekam karena ada laporan Jakarta masih rusuh.