Wawancara Eksklusif
Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi Skrining APBD DKI 2019 hingga Surplus Rp 1 Triliun (2)
Nama Ketua DPRD DKI Jakarta, Prasetio Edi Marsudi muncul dalam pemberitaan kasus dugaan korupsi pembelian tanah yang dilakukan Perumda Sarana Jaya.
Penulis: Fitriyandi Al Fajri | Editor: Lucky Oktaviano
Bagaimana pembahasan anggaran yang dilakukan Pemprov DKI dengan DPRD DKI saat itu?
Secara mekanisme aturan, bahwa pembahasan itu (anggaran) adanya di Banggar dengan TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah) bukan keputusan, perorangan (Ketua DPRD DKI Jakarta).
Di dalam pembahasan-pembahasan itu semua dibahas secara detail sebelum menuju ke Banggar, itu ada di Komisi (rapat kebijakan umum anggaran-prioritas plafon anggaran sementara/KUA-PPAS) masing-masing, kemudian dibawa ke Banggar.
Setelah di Banggar, rekomendasi keluar dari Komisi A sampai Komisi E yang hasilnya defisit anggaran.
Saya bilang sama Pak Sani sekali lagi, tolong disisir ulang agar yang di luar RKPD dikeluarkan dulu.
Setelah disisir dari Komisi A sampai Komisi E, ternyata kelebihan anggaran banyak sekali, hingga saya potong.
Di dalam pembahasan Banggar, itu bisa plus dan minus.
Saat itu yang memimpin rapat Banggar adalah Pak Sani dan Ketua Komisi B saat itu Pak Suhaimi (dari Fraksi PKS) dan Koordinator Komisi B Pak Ferrial Sofyan.
Dari situ jelas, saya tidak ada kepentingan apa-apa, memang saya mengawasi karena saat itu pembahasan anggaran saya serahkan kepada Pak Sani.
Apa respons Anda ketika sekarang disebut dalam pemberitaan salah satu media Jakarta pada kasus dugaan korupsi pembelian tanah?
Tentu saya kaget dan saya bingung kalau DP 0 rupiah kan rencananya Pak Anies dan Pak Sandi (Sandiaga Uno).
Seperti halnya Pak Jokowi (Joko Widodo) dan Pak Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) punya terobosan Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan Kartu Jakarta Sehat (KJS).
Cuma pada saat itu berhasil, dan ini bermasalah di ranah hukum.
Saya minta kepada Pak Gubernur Anies Baswedan dengan BUMD terkait, coba dong bicara karena setelah diketok (disetujui), saya serahkan anggaran lagi ke BUMD melalui TAPD.
Setelah duitnya sampai di sana, kami kan enggak tahu mereka mau beli apa. Misalnya mau beli kerupuk satu kontainer enggak masalah, itu hak mereka.