Berita Jakarta
Dirjen Kekayaan Intelektual Sebut UU Merek Terlampau Luas Pengertiannya dan Butuh Banyak Pembuktian
Dirjen Kekayaan Intelektual Sebut UU Merek terlampau luas pengertiannya dan butuh banyak pembuktian.
Penulis: Dodi Hasanuddin | Editor: Dodi Hasanuddin
Sementara itu, persepsi konsumen berubah bahwa ketika kata pasta gigi telah diganti menjadi ODOL.
Sengketa Merek
Ketua Komisi Banding Merek, Dr. Teddy Anggoro, S.H., M.H. di kesempatan yang sama mengatakan, ketika UU Merek pertama kali diberlakukan, ada 1,4 juta permohonan merek diajukan kepada pemerntah.
“Di Indonesia, merek bersifat konstitutif dan harus didaftarkan. Hak itu muncul ketika sudah ajukan permohonan. Jadi siapa daftarkan pertama maka dia yang dapatkan hak untuk merek tersebut," paparnya.
Namun, demikian, Teddy menegaskan bahwa di atas first to file atau pendaftaran secara hukum adalah itikad baik. Dalam hal ini ada peran besar dari konsultan HAKI.
Sebab, peran konsutan HAKI yang memilki itikad tidak baik dapat membuat ricuh hingga muncul sengketa merek.
“Jadi sebenarnya yang paling tinggi adalah itikad baik/goodwill,” katanya.

Dikatakan Teddy, istilah trademark infringement memiliki unsur sengaja melawan hukum dengan menunjukkan hal yang bertentangan dengan hukum yang ada.
“Misalnya daftar ulang merek yang sudah terdaftar atau membuat bajakannya. Akibatnya adalah ciptakan kekacauan mengenai asal-usul barang. Konsumen indonesia tahu barang itu palsu tapi malah ada yang cari barang tersebut, misalnya KW supernya,” papar Teddy.
Teddy juga menyoroti terkait penyelesaian sengketa merek di tingkat pengadilan. Sebab, pertimbangan dan pandangan hakim atas suatu kriteria merek terkenal seringkali berbeda.
Hal ini mengingat bahwa padanya praktiknya, kriteria atas keterkenalan suatu merek bisa saja berpedoman selain dari ketentuan UU Merek dan Permenkumham 67/2016 (misalnya berdasarkan best practice secara global/TRIPS Agreement).
Baca juga: Sidang Habib Rizieq Digelar Offline, Pengadilan Negeri Jaktim Pastikan tidak Ada Siaran Langsung
Perbedaan tolak ukur yang digunakan Hakim dalam penetapan status merek terkenal sering kali menimbulkan ketidakpastian hukum, khususnya dalam implementasi Permenkumham 67/2016.
“Apabila ada acuan yang digunakan kurang tepat, misalnya penetapan merek yang memiliki unsur kata umum sebagai merek terkenal, hal tersebut sangat berpotensi menghalangi pihak lainnya dalam menggunakan merek dengan unsur kata umum (descriptive) yang sama, dimanaa secara teori hukum, penggunaan kata umum (descriptive) seharusnya tidak dapat diberikan kepada satu pihak secara eksklusif,” pungkas Teddy.
Kriteria penetapan sebuah merek menjadi merek terkenal tentunya sangat dipengaruhi oleh banyak substansi yang telah diatur oleh tata aturan yang berlaku di Indonesia.
Oleh karena itu, larangan penggunaan kata umum oleh pemilik merek terkenal kepada pihak-pihak tertentu tentunya berpotensi untuk menimbulkan praktik usaha yang seolah-olah menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat.
“Kami berharap melalui diskusi virtual ini dapat memberikan gambaran dan pemahaman yang semakin komprehensif, baik bagi para pelaku usaha serta pemerhati kekayaan intelektual seperti konsultan KI dan akademisi tentang kriteria merek terkenal yang berlaku di Indonesia.” Yanne Sukma Dewi, S.H., M.H. – Sekretaris Jenderal MIAP.