Berita Ekonomi
Jangan Sampai Ekonomi Amerika Pulih Duluan, Dampaknya Bisa Mengerikan
Agustinus menjelaskan, pulihnya ekonomi Amerika Serikat menyebabkan terjadinya peningkatan suku bunga.
Sementara, AS dan Indonesia bertemu secara teratur untuk membahas masalah-masalah bilateral di bawah perjanjian Kerangka Kerja Perdagangan dan Investasi bilateral tahun 1996.
Perdagangan barang dan jasa AS dengan Indonesia mencapai 31,8 miliar dolar ASpada 2019, menurut data kantor Perwakilan Dagang AS.
"Upaya untuk memerangi perubahan iklim diharapkan memainkan peran kunci ketika para menteri keuangan G-20 bertemu kembali melalui konferensi video pada awal April sehubungan dengan pertemuan musim semi Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia," tutup keterangan tersebut.
Sementara itu, Rektor Unika Atma Jaya Agustinus Prasetyantoko menyatakan, ekonomi Indonesia belum akan pulih di 2023 seperti ketika sebelum pandemi Covid-19.
Karena itu, dia menilai pemerintah terlalu optimistis defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bisa kembali di bawah 3 persen pada dua tahun lagi.
"Saya melihat bahwa mungkin pada waktu itu pemerintah masih berpikir dan kita semua saya kira bahwa krisis ini akan segera bisa diatasi. Karena itu, janji pemerintah sendiri waktu itu defisit akan kembali menjadi di bawah 3 persen tahun 2023," ujarnya dalam video conference, kemarin.
Agustinus menjelaskan, ini menjadi poin utama yang menjadi sorotannya karena tampaknya sulit untuk terwujud karena ekonomi masih catatkan minus di 2020.
"Saya sampaikan nampaknya situasi tidak memungkinkancbegitu untuk kembali balik ke 3 persen tahun 2023, kenapa? Kita lihat pertumbuhan ekonomi masih minus," katanya.
Meskipun, sebetulnya dampak pandemi ke Indonesia tidak terlalu dalam seperti negara-negara lain, tetapi satu-satunya faktor yang bisa membangkitkan ekonomi sekarang adalah pemerintah.
"Bagi saya, catatan yang penting adalah bahwa pemerintah mesti menyiapkan diri untuk defisit kembali ke 3 persen di 2023 sulit dilakukan," pungkas Agustinus.
Agustinus mengatakan, selagi fiskal melonggarkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), di sisi moneter juga sudah menurunkan suku bunga ke level terendah sepanjang masa.

"Moneter kita tahu juga sudah didorong sedemikian rupa, sehingga suku bunga itu sudah terendah dalam sejarah ya 3,5 persen," ujarnya.
Situasi tersebut, kata dia, tentu menimbulkan 1 dilema karena harusnya suku bunga rendah tentunya berpotensi menggerakkan ekonomi.
"Tetapi, masalahnya ekonomi itu tidak bergerak bukan karena likuiditas tidak ada, uang ada tetap di bank. Ini karena ya sektor usaha riil belum bergerak," kata Agustinus.
Sementara itu, dia menambahkan, pemerintah juga harus mewaspadai ekonomi dunia yang bisa saja pulih lebih cepat.
"Dengan suku bunga rendah di satu sisi dan di sisi lain tampaknya ini tantangan yang penting yakni emulihan di tingkat global itu mungkin lebih cepat terjadi," pungkasnya.
(Yanuar Riezqi Yovanda)