Virus Corona Jabodetabek

Ketua KPK Singgung Buku How Democracies Die yang Dibaca Anies Baswedan, Ungkapkan Hal Ini

Ketua KPK singgung buku yang dibaca Anies Baswedan, begini pendapatnya. Katanya itu buku lama

Kolase foto istimewa/instagram
Ketua KPK Firli Bahuri singgung buku yang dibaca Anies Baswedan 

Buku itu terbit pada 2018 dalam bahasa Inggris dan dialih bahasa ke bahasa Indonesia oleh PT Gramedia Jakarta di tahun berikutnya.

Dalam buku itu, Levitsky-Ziblatt membeberkan catatan sejarah soal kematian demokrasi yang tak selalu dimulai oleh jenderal militer lewat kudeta. Kisah kematian demokrasi yang monumental justru datang dari proses paling demokratis.

How Democracies Die menjadikan karier politik Adolf Hitler, Benito Mussolini, dan Chavez sebagai contoh. Ketiganya gagal meraih tampuk kekuasaan lewat kudeta, tapi berhasil menjadi diktator usai melalui proses legal.

Dalam kudeta klasik, kata Levitsky-Ziblatt, kematian demokrasi tampak jelas. Istana dibakar dan presiden terbunuh, dipenjara, atapun diasingkan. Namun hal itu tak terjadi dalam kematian demokrasi lewat pemilu.

"Tak ada tank di jalanan. Konstitusi dan lembaga berlabel demokratis lainnya tetap ada. Rakyat masih memberi suara. Autokrat hasil pemilu mempertahankan tampilan demokrasi sambil menghilangkan substansinya," tulis Levitsky-Ziblatt dalam How Democracies Die.

Buku itu menyebut kematian demokrasi lewat jalur elektoral yang demokratis justru membuat warga tidak sadar. Banyak orang yang percaya mereka masih hidup dalam demokrasi meski tanda-tanda kediktatoran terjadi di depan mereka.

 "Ketika rezim jelas-jelas 'melewati batas' memasuki kediktatoran, tak ada yang bisa membuat alarm masyarakat berbunyi. Mereka yang mencela tindakan pemerintah barangkali dianggap berlebihan atau bohong. Erosi demokrasi itu hampir tak terasa bagi banyak orang," tulis Levitsky-Ziblatt.

Anies Baswedan Diklarifikasi Polisi Soal Acara Rizieq Shihab, Ketua DPRD DKI: Pokoknya Harus Tegas

Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi buka suara soal pemanggilan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan oleh Polda Metro Jaya, Selasa (17/11/2020).

Anies Baswedan beserta sejumlah anak buahnya diminta klarifikasi terkait kegiatan Front Pembela Islam (FPI) yang berdampak pada kerumunan orang di tengah pandemi Covid-19, di Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Sabtu (14/11/2020) lalu.

“Ini yang sering saya katakan untuk adanya ketegasan pemerintah di masa pandemi, karena Covid-19 ini bukan main-main."

Baca juga: Sepekan Terakhir Kasus Positif Covid-19 Naik 17,8 Persen, Jakarta Masuk 5 Besar Penambahan Terbanyak

"Sudah berapa banyak korban meninggal dunia, dan sudah berapa banyak keluarga yang ditinggalkan,” ujar Prasetyo melalui pesan singkat, Kamis (19/11/2020).

Menurutnya, selama masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi jilid II, seluruh teknis pelaksanaan di lapangan menjadi kewenangan Pemprov DKI Jakarta.

Karena itu, Pemprov DKI memang seharusnya tegas tanpa tebang pilih menghadapi sejumlah agenda publik yang menimbulkan kerumunan.

Baca juga: Ditanya DPR Kapan Vaksin Covid-19 Tersedia, Menkes Terawan: Wong Barangnya Belum Ada

Dalam hal ini, kata dia, DPRD DKI selalu mendukung upaya-upaya penegakan kepatuhan protokol kesehatan.

Peraturan Daerah (Perda) Penanggulangan Covid-19 bahkan sudah disahkan bersama Pemprov DKI Jakarta.

Halaman
1234
Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved