ST Burhanuddin Dihukum Bilang Tragedi Semanggi Bukan Pelanggaran HAM Berat, Ini Sikap Kejagung
Kejaksaan Agung menilai keputusan majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta tidak tepat.
WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Kejaksaan Agung menilai keputusan majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta tidak tepat.
Hal itu terkait putusan sidang gugatan terhadap Jaksa Agung ST Burhanuddin soal ucapan 'Tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat.'
"Bahwa atas putusan Pengadilan TUN Jakarta tersebut, tim jaksa pengacara negara selaku kuasa tergugat sangat menghormati atas putusan Pengadilan TUN tersebut."
Baca juga: Bilang Tragedi Semanggi Bukan Pelanggaran HAM Berat, Jaksa Agung Divonis Bersalah oleh PTUN
"Namun putusan tersebut dirasakan tidak tepat," kata Kapuspenkum Kejaksaan Agung Hari Setiyono, Rabu (4/11/2020).
Hari mengatakan, pihaknya akan mengkaji untuk melakukan upaya hukum lain terkait keputusan tersebut.
Hal itu sesuai ketentuan pasal 122 maupun 131 UU 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha, sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU 51/2009.
Baca juga: UPDATE Kasus Covid-19 Indonesia 4 November 2020: Tambah 3.356, Pasien Positif Melonjak Jadi 421.731
"Tim jaksa pengacara negara selaku kuasa tergugat akan mempelajari terlebih dahulu atas isi putusan tersebut, dan yang pasti akan melakukan upaya hukum," tuturnya.
Sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memutuskan Jaksa Agung ST Burhannudin bersalah, dalam sidang gugatan pernyataan 'Tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat.'
Jaksa Agung dinyatakan bersalah dalam putusan nomor 99/G/TF/2020/PTUN.JKT yang diketok pada Rabu (4/11/2020).
Putusan itu ditandatangani oleh Hakim Ketua Andi Muh Ali Rahman dan Umar Dani sebagai hakim anggota.
Baca juga: Rizieq Shihab Mau Kembali, Polri: Ya Pulang Saja, Kita Tidak Pernah Usir
Dalam amar putusannya, majelis hakim juga mengabulkan gugatan para penggugat seluruhnya.
"Mengabulkan gugatan para penggugat seluruhnya," begitu kutipan putusan perkara yang diunggah secara online (sistem e-court) pada Rabu (4/11/2020)
Dalam putusan itu, tindakan Jaksa Agung yang menyebut Tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat, merupakan tindakan melawan hukum.
Baca juga: Salah Ketik UU Cipta Kerja, Arteria Dahlan: Jangan-jangan Ada Motif Memperkeruh, Harus Diusut Tuntas
Pernyataan tersebut disampaikan Burhanuddin saat rapat kerja antara Komisi III DPR pada 16 Januari 2016.
"Menyatakan Tindakan Pemerintah yang dilakukan TERGUGAT berupa Penyampaian dalam Rapat Kerja antara Komisi III DPR RI dengan Jaksa Agung pada tanggal 16 Januari 2020."
"Yang menyampaikan: "Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II yang sudah ada hasil rapat paripurna tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat."
Baca juga: Rizieq Shihab Pulang ke Indonesia Selasa 10 November 2020, Langsung Istirahat di Petamburan
"Seharusnya KOMNAS HAM tidak menindaklanjuti karena tidak ada alasan untuk dibentuknya Pengadilan ad hoc berdasarkan hasil rekomendasi DPR RI kepada Presiden."
"Untuk menerbitkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM" adalah Perbuatan Melawan Hukum Oleh Badan Dan/Atau Pejabat Pemerintahan," jelas putusan tersebut.
Jaksa Agung juga diwajibkan membuat pernyataan terkait penanganan dugaan pelanggaran HAM berat Semanggi II dan Semanggi II, sesuai keadaan sebenarnya, dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR berikutnya.
Baca juga: Bakal Tuntut Orang yang Menuduhnya Overstay di Arab Saudi, Rizieq Shihab: Buang ke Tong Sampah
"Selain itu menghukum untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp 285.000," bunyi putusan tersebut.
Jaksa Agung ST Burhanuddin digugat ke PTUN Jakarta karena pernyataannya yang menyatakan Tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat dalam rapat kerja Komisi III DPR, pada 16 Januari 2016.
Gugatan tersebut didaftarkan pada 12 Mei 2020 lalu.
Baca juga: Partai Demokrat Siap Lakukan Legislative Review untuk Revisi Undang-undang Cipta Kerja
Salah satu penggugatnya adalah Maria Catarina Sumarsih yang merupakan ibu dari almarhum Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan).
Wawan dikenal sebagai mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas saat Tragedi Semanggi I 1998.
Sebelumnya, Jaksa Agung ST Burhanuddin menyebut tragedi Semanggi I dan Semanggi II bukan merupakan pelanggaran HAM berat.
Baca juga: Pasien Covid-19 di Kabupaten Bogor Tambah 46 Orang, Kecamatan Sukamakmur Keluar dari Zona Merah
Hal itu ia katakan saat menyampaikan penanganan kasus HAM dalam rapat kerja (raker) bersama Komisi III DPR, Kamis (16/1/2020).
"Peristiwa Semanggi I, Semanggi II, telah ada hasil rapat paripurna DPR RI."
• Pengamat Bilang Banjir Jakarta 1 Januari 2020 Bukan Kiriman, Ini Buktinya
"Yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat," katanya di Ruang Rapat Komisi III DPR, Senayan, Jakarta.
Dalam rapat itu, Burhanuddin juga menjelaskan hambatan dalam menyelesaikan kasus HAM.
Ia mengatakan hambatan itu karena belum terbentuknya pengadilan HAM ad hoc dan ketersediaan alat bukti yang tidak cukup.
• Pria Disekap Teman Kantornya karena Gelapkan Uang Perusahaan, Makan Sehari Sekali dan Disundut Rokok
"Penanganan dan penyelesaian berkas hasil penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu menghadapi kendala, terkait kecukupan alat bukti," tuturnya.
Tragedi Semanggi merujuk kepada dua kejadian protes masyarakat terhadap pelaksanaan dan agenda Sidang Istimewa MPR yang mengakibatkan tewasnya warga sipil.
Tragedi Semanggi I terjadi pada tanggal 11-13 November 1998, masa pemerintah transisi Indonesia, yang menyebabkan tewasnya 17 warga sipil.
• Tawuran di Tanjung Duren Disiarkan Live Streaming, 10 dari 16 Tersangka Masih Bau Kencur
Tragedi Semanggi II terjadi pada 24 September 1999 yang menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa dan 11 orang lainnya di seluruh Jakarta serta menyebabkan 217 korban luka-luka.
Respons Menkumham
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly merespons pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin yang menyebut tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM Berat.
Yasonna mengakui belum mengetahui hal tersebut.
"Saya belum tahu. Nanti kita lihat dulu," kata Yasonna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (16/1/2020).
• PDIP Nilai Penangkapan Wahyu Setiawan Bukan OTT, Duga Ada Upaya Sistematis dari Oknum KPK
Lebih lanjut, Yasonna akan mempelajari tragedi Semanggi I dan II, apakah termasuk pelanggaran HAM berat atau bukan.
"Iya kita pelajari dulu. Kita pelajari lagi," ucap Yasonna.
Sementara, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam meminta Jaksa Agung ST Burhanuddin mengklarifikasi pernyataannya.
• Bukan PAW, PDIP Bilang Harun Masiku Diajukan untuk Penetapan Calon Terpilih
Ia juga meminta Burhanuddin memeriksa kembali informasi yang diperolehnya tersebut.
"Jika benar yang dikatakan oleh Kejaksaan Agung kasus Semanggi bukan pelanggaran HAM berat, ada baiknya kejaksaan Agung memeriksa kembali informasi yang diperoleh."
"Dan melakukan klarifikasi," kata Anam ketika dikonfirmasi Tribunnews.com, Kamis (16/1/2020).
• Sprinlidik Bocor ke Tangan Masinton Pasaribu, KPK Ragukan Keaslian dan Tegaskan Tak Pernah Edarkan
Menurutnya, di antara berkas yang telah dikirim oleh Komnas HAM dan juga telah mendapatkan respons dari Kejaksaan Agung, kasus Semanggi adalah pelanggaran HAM berat.
"Kasus ini masuk dalam berkas laporan penyelidikan proyustisia Komnas HAM untuk Peristiwa Trisaksi, Semanggi I, dan Semanggi II," ungkap Anam.
Setidaknya ada 12 berkas penyelidikan pelanggaran HAM berat yang telah diserahkan Komnas HAM kepada Kejaksaan Agung, yakni:
• Sisa APBD Kabupaten Bekasi Rp 1 Triliun, DPRD Minta Pejabat yang Tak Serap Anggaran Disanksi Tegas
1. Peristiwa 1965-1966;
2. Peristiwa Petrus 1982-1985;
3. Peristiwa Talangsari 1989;
4. Peristiwa Kerusuhan Mei 1998;
5. Peristiwa Dukun santet 1998;
6. Peristiwa Rumoh Geudong 1989-1998;
7. Peristiwa Simpang KKA 1999;
8. Peristiwa Trisakti, Semanggi I, Semanggi II;
9. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998;
10. Peristiwa Wasior 2001;
11. Peristiwa Wamena 2003;
12. Peristiwa Jambu Keupok 2003;
Anam juga meminta Presiden Joko Widodo untuk menjelaskan kepada publik, mengapa pelanggaran HAM berat dinilai stagnan dan terkesan mundur.
Hal ini menurutnya tercermin dari sikap dan pernyataan Burhanuddin tersebut.
"Atau justru Presiden Jokowi sendiri yang enggan melakukan penuntasan pelanggran HAM berat tersebut."
• SALUT! Warga di Bekasi Sukses Terapkan Larangan Parkir Mobil di Jalan Kampung Tanpa Perda dan Denda
"Mulai dari periode pertama sampai saat ini, narasi yang dibangun oleh pemerintahan Presiden Jokowi, yang dicerminkan oleh sikap dan pandangan Jaksa Agung."
"Itu jelas sikap dan pandangan yang enggan melakukan penegakan hukum untuk pelanggaran HAM berat," papar Anam.
Ia pun mengingatkan, kasus pelanggaran HAM berat tidak hanya merupakan kebutuhan korban.
• Disebut Jokowi Sebagai Calon Penggantinya, Begini Peluang Sandiaga Uno di Pilpres 2024
Namun, juga kebutuhan bangsa dan negara ini untuk memastikan kasus serupa tidak akan berulang kembali.
"Ini menjadi amanat reformasi," tegas Anam.
Ia menilai, sikap yang dinilai berulang dan selalu dinyatakan oleh Jaksa Agung tersebut, bertolak belakang dengan pernyataan Presiden Jokowi, yang akan menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat.
• Sohibul Iman Bilang Nama Ahmad Syaikhu Dicopot dari Daftar Cawagub, PKS DKI Malah Tanya Buktinya
Perbedaan itu menurutnya harus dijelaskan oleh Presiden, agar tidak menimbulkan kegaduhan dan salah tafsir.
Ia mengaskan, Komnas HAM masih berpegang teguh pada pernyataan Presiden kepada Komnas HAM, ketika bertemu pada 2018 lalu.
Termasuk, hal yang diungkapkannya dalam Pidato Kenegaraan pada Agustus 2018.
"Bahwa kasus pelanggaran HAM berat akan diselesaikan sesuai dengan hukum yang berlaku," ucap Anam. (Igman Ibrahim)