Omnibus Law

Tertangkap Basah, Dua Pria Diduga Copet Dihujani Bogem Massa yang Unjuk Rasa di Kedubes Prancis

Puluhan massa sempat berkerumun di samping Gedung Kementerian Agraria dan Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).

Penulis: Desy Selviany | Editor: Feryanto Hadi
Warta Kota/Desy Selviany
Polisi bawa pria diduga pelaku copet di Sabang, Menteng, Jakarta Pusat usai unjuk rasa di Kedutaan Besar Prancis, Senin (2/11/2020) 

Produk Diboikot

Produk-produk Prancis diturunkan dari beberapa rak supermarket di Yordania, Qatar, dan Kuwait pada hari Minggu.

Produk kecantikan dan perawatan rambut buatan Prancis, misalnya, tidak lagi dipajang.

Di Kuwait, serikat pengecer besar telah memerintahkan pemboikotan barang-barang Prancis.

Serikat Masyarakat Koperasi Konsumen, yang merupakan serikat non-pemerintah, mengatakan telah mengeluarkan arahan sebagai tanggapan atas "penghinaan berulang" terhadap Nabi Muhammad.

Dalam sebuah pernyataan, Kementerian Luar Negeri Prancis mengakui langkah tersebut.

Ia menulis: "Seruan untuk boikot ini tidak berdasar dan harus segera dihentikan, beserta semua serangan terhadap negara kami, yang didorong oleh kelompok minoritas radikal."

Di dunia maya, seruan untuk boikot serupa di negara-negara Arab lainnya, seperti Arab Saudi, telah beredar.

Tagar yang menyerukan boikot jaringan supermarket Prancis, Carrefour, adalah topik paling tren kedua di Arab Saudi, ekonomi terbesar di dunia Arab.

Sementara itu, unjuk rasa anti-Prancis berskala kecil digelar di Libya, Gaza, dan Suriah utara, tempat yang dikuasai milisi yang didukung Turki.

Mengapa Prancis terlibat dalam perselisihan ini?

Pembelaan keras Macron terhadap sekularisme Prancis dan kritik terhadap Islam radikal menyusul pembunuhan Paty telah membuat marah beberapa sosok di dunia Muslim.

Presiden Erdogan bertanya dalam pidatonya: "Apa masalah individu bernama Macron dengan Islam dan Muslim?"

Sementara pemimpin Pakistan, Imran Khan menuduh sang pemimpin Prancis "menyerang Islam, jelas tanpa memahami apapun tentangnya".

"Presiden Macron telah menyerang dan melukai sentimen jutaan Muslim di Eropa dan di seluruh dunia," katanya dalam sebuah twit.

Awal bulan ini, sebelum pembunuhan sang guru, Macron mengumumkan rencana undang-undang yang lebih ketat untuk mengatasi hal yang ia sebut "separatisme Islam" di Prancis.

Ia mengatakan, kelompok minoritas Muslim di Prancis - terdiri dari kira-kira enam juta orang - berpotensi membentuk "masyarakat tandingan".

Ia menggambarkan Islam sebagai agama "dalam krisis".

Kartun yang menggambarkan nabi Muhammad memiliki warisan politik yang gelap dan intens di Prancis.

Pada 2015, 12 orang tewas dalam serangan di kantor majalah satir Prancis, Charlie Hebdo, yang menerbitkan kartun tersebut.

Beberapa komunitas Muslim terbesar di Eropa Barat menuduh Macron berusaha menekan agama mereka dan mengatakan kampanyenya berisiko melegitimasi Islamofobia.

Bagaimana dengan Indonesia?

Sebagai negara berpenduduk muslim terbesa di dunia, belum ada seruan boikot produk Prancis di Indonesia.

Kendati demikian,  Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muhyiddin Junaidi mengecam keras pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron tentang kartun Nabi Muhammad SAW.

Menurut Muhyiddin, pernyataan Macron ini telah membangkitkan gerakan Islamophobia.

"MUI menilai bahwa Macron secara tak langsung telah mendukung gerakan Islamphobia"

"Bahkan kecaman beliau terhadap pelaku pembunuhan atas wartawan Tabloid Charlile Habdo telah menempatkan Macron sebagai pemimpin Eropa yang menduiung tumbuh suburnya gerakan Islamophobia," ujar Muhyiddin melalui keterangan tertulis, Senin (26/10/2020).

Menurut Muhyiddin, Macron harus belajar banyak tentang toleransi beragama kepada Islam.

Dirinya menilai kebebasan tanpa batas dan melawan norma justru akan mengakibatkan kegaduhan dan kekacauan.

"MUI meminta kepada Menlu agar segera memanggil Dubes Prancis untuk Indonesia guna mendapatkan klarifikasi dan penjelasan komprehensif terkait sikap Pernyataan Presiden Emmanuel Macron," tegas Muhyiddin.

Muhyiddin mengatakan masyarakat muslim dunia sangat geram dan menyesalkan sikap Emmanuel Macron. Apalagi pengungkitan kasus Charlie Hebdo di tengah Pandemic Covid-19.

Menurut Muhyiddin Prancis harusnya belajar banyak dari negara Jerman.

Kanselir Jerman Angela Merkel dinilainya cukup dewasa dalam bersikap dan menghargai perbedaan sudut pandang di negara yang heterogen.

"Ternyata pernyataan Macron tentang Islam dan umat Islam sebagai main trigger di banyak kasus kekerasan di dunia, terutama jika umat islam mayoritas"

"Ini sangat berbahaya seakan menyamakan Islam agama kekerasan dan intoleran," kata Muhyiddin.

Padahal, menurut Muhyiddin, pertumbuhan Muslim di kalangan warga Prancis terus bertambah tiap tahunnya.

Menurutnya, muslim Prancis punya andil besar dalam membangun negara tersebut.

"Para pemain sepak bola muslim Prancis telah berkontribusi besar kepada bangsa dan negara Prancis," pungkas Muhyiddin.

Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved