Sumpah Pemuda

Terungkap Pemilik Gedung Museum Sumpah Pemuda yang Asli Adalah Sie Kong Lian

Gedung itu milik Sie Kong Lian, dalam buku-buku sejarah ditulis Sie Kok Liong. Itu nama yang keliru.

istimewa
Sie Kok Liang pemilik rumah yang dijadikan Museum Sumpah Pemuda 

Oleh Djulianto Susantio

Penulis masalah arkeologi, sejarah, museum, budaya, numismatik, astrologi, dan palmistri

WARTAKOTALIVE.COM -- Indonesia memiliki anugerah yang mahabesar, sangat indah, bukan hanya bhineka tapi super bhineka untuk kebudayaan, memiliki mineral/tambang/tanah subur, negara kepulauan terbesar di dunia, dengan sejarah amat panjang.

Ini dimulai dari manusia purba yang disebut Homo erectus (sekitar 1,5 juta tahun yang lalu) hingga Homo sapiens (60.000-70.000 tahun yang lalu). Kita ini keturunan Homo sapiens.

Begitulah pemaparan Pak Harry Truman Simanjuntak, pensiunan Profesor Riset dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, pada acara serial webinar "Nggosipin Tionghoa Yuk".

Baca juga: Sambut Sumpah Pemuda, Koalisi Aktivis Mahasiswa Indonesia Berbagi di Jakarta Timur

Baca juga: HUT Ke-75 TNI, Pesan Jenderal Gatot Nurmantyo Ingatkan Sumpah Prajurit dan Kobarkan Jiwa Pancasila

Pada serial ke-12 ini temanya "Sumpah Pemuda, Tionghoa Ikut?". Webinar diselenggarakan Senin, 19 Oktober 2020, malam.

Pak Truman kemudian bercerita tentang proses panjang perjalanan manusia purba ke Nusantara melalui empat proses, yakni migrasi, adaptasi, interaksi, dan evolusi.

Dalam masa-masa itu ada penerimaan dan pembaruan kebudayaan sehingga muncul pengayaan kebudayaan.

Museum Sumpah Pemuda di Jalan Kramat 106, Jakarta Pusat milik tokoh Tionghoa
Museum Sumpah Pemuda di Jalan Kramat 106, Jakarta Pusat milik tokoh Tionghoa (Wikipedia)

Penelitian arkeologi, kata Pak Truman, juga mendukung perkampungan-perkampungan awal leluhur Nusantara 4.000-2.000 tahun lalu.

Pada masa selanjutnya terjadi perdagangan yang melibatkan Nusantara. Ketika itu Nusantara berdagang dengan India dan Tiongkok.

Selain itu perdagangan dan pelayaran Nusantara menerima populasi baru dari Timur Tengah dan Eropa.

"Dengan demikian ada perkawinan campur dan percampuran budaya," kata Pak Truman.

Baca juga: Tantangan Sumpah Pemuda di Era Digital Harus Bisa Dijawab oleh Generasi Muda dengan Kreativitas

Menurut Pak Truman, jangan ada kelompok yang merasa tinggi.

Sebaiknya kita cerdik memilah budaya luar. Yang jelek disingkirkan, yang cocok kita terima untuk memperkaya budaya kita.

Kita keluarga besar, hidup bersaudara, saling membantu, dan gotong royong. Jangan ingkari itu. Yang penting stay safe dan stay human, kata Pak Truman.

Sumpah Pemuda 

Pak Udaya Halim menjadi pembicara berikutnya.

Dari koran lama beliau menginformasikan bahwa Kongres Pemuda ke-2 pada hari pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, diadakan di Gedung KSB (Katholieke Sociale Bond) di kawasan Gereja Kathedral.

Gedung Sumpah Pemuda (dok Slide Udaya) 

Pada hari kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, kegiatan dilakukan di Gedung Oost-Java Bioscop di Jalan Medan Merdeka Utara sekarang, dilanjutkan di Jalan Keramat 106, tempat Indonesische Clubhuis  atau  Clubgebouw (Gedung Pertemuan), tempat dicetuskannya Sumpah Pemuda.

Sekarang menjadi Museum Sumpah Pemuda.

Gedung itu milik Sie Kong Lian, dalam buku-buku sejarah ditulis Sie Kok Liong. Itu nama yang keliru.

Sie Kong Lian membeli rumah tersebut pada 1908 dan digunakan untuk rumah kos pelajar STOVIA.

Beliau sendiri menjadi pedagang ranjang dan kasur di Jalan Senen no. 95.

Pak Udaya bercerita tentang peran Yo Kim Tjan (1899-1968) yang merekam lagu Indonesia Raya. Beberapa orang Tionghoa yang ikut Sumpah Pemuda 1928 juga diungkapkan Pak Udaya.

Bahkan kata Pak Junus Satrio, arkeolog yang menjadi Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Nasional, ada dua orang Tionghoa yang ikut Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Setelah selama bertahun-tahun status Gedung Museum Sumpah Pemuda belum jelas, webinar Senin malam kemarin menjadi saksi sejarah serah terima hibah Gedung Sumpah Pemuda dari ahli waris kepada negara.

Pihak ahli waris diwakili Ibu Yanti Silman, cucu Sie Kong Lian. Sementara pihak negara atau pemerintah diwakili Pak Junus Satrio. 

Dulu memang orang tidak menyebut-nyebut ras atau etnis. Dalam Jong Sumatera, misalnya, ada pemuda Tionghoa.

"Dulu tidak ada mata sipit atau mata belo. Juga tidak ada rambut keriting dan rambut lurus. Semua berjuang untuk Indonesia," kata Pak Junus Satrio.

Sumber: Kompasiana

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved