Virus Corona
Pakar Kesehatan Masyarakat UI Bilang Rapid Test Tak Perlu Dipakai Lagi, Ini Alasannya
Pandu Riono mengkritik soal masih diterapkannya rapid test dalam upaya penanganan Covid-19.
WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Pakar Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Pandu Riono mengkritik soal masih diterapkannya rapid test dalam upaya penanganan Covid-19.
Menurutnya, rapid test adalah sesuatu yang salah dalam persoalan penanganan pandemi Covid-19.
"Rapid test itu salah, karena di dalam masalah pandemi itu, kita harus mendeteksi orang yang membawa virus."
• UPDATE Kasus Covid-19 Indonesia 21 Agustus 2020: 149.408 Pasien Positif, 102.991 Orang Sembuh
"Kalau rapid test itu antibodinya seminggu kemudian," kata Pandu dalam diskusi virtual yang diselenggarakan ABC Indonesia, Jumat (21/8/2020).
Pandu mengamati kasus-kasus Covid-19 di beberapa daerah yang mengklaim sudah melakukan rapid test.
"Jadi banyaklah miss. Kasus di beberapa daerah, sudah melakukan rapid test massal di stasiun di mana-mana, nonreaktifnya banyak, padahal kalau diswab, itu positif semua," tuturnya.
• Pihak Istana Sebut Anggaran Rp 90,45 Miliar Bukan Semuanya untuk Influencer Seperti Tudingan ICW
Seharusnya menurut Pandu, rapid test untuk Covid-19 sudah tidak perlu dipakai lagi, terlebih di rumah sakit.
"Ngapain rapid test (di RS)? Akhirnya ahli kesehatan terjebak semua, oh ini negatif, tetapi membawa virus."
"Anggap saja semua orang kemungkinan membawa virus. Artinya apa, ya waspada. Kita harus waspada," tutur Pandu.
• Dirlantas Polda Metro Jaya Pastikan Ganjil Genap Sepeda Motor Belum Diterapkan
Ketimbang rapid test, Pandu menyarankan agar dilakukan serologi testing.
Kini ada kota di Jabodetabek yang tak disebutkan Pandu, tengah menerapkan serologi.
"Nanti DKI juga akan menyusul, bulan depan nih, karena DKI perlu persiapan yang lebih rumit," paparnya.
• Ormas Dapat Dana Hibah Tiap Tahun dari Pemprov DKI, Bisa Dimanfaatkan Jadi Relawan Mandiri Covid-19
Sebelumnya, Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menjawab soal ada warga yang melakukan rapid test sebanyak tiga kali, dinyatakan nonreaktif Covid-19.
Namun, saat melakukan tes PCR, dinyatakan positif Covid-19.
Menurut Wiku, rapid test hanya berfungsi sebagai screening masyarakat yang melakukan kontak dengan pasien Covid-19.
• DAFTAR 46 Daerah dengan Jumlah Kasus Aktif Covid-19 di Bawah 10 Persen, Semoga Tetap Terjaga
Hal itu disampaikan Wiku saat update penanganan Covid-19 melalui YouTube Sekretariat Presiden, Kamis (20/8/2020).
"Kami perlu sampaikan bahwa rapid test fungsinya adalah fungsi screening," kata Wiku.
Wiku menambahkan, rapid test tidak bisa dijadikan acuan untuk mendiagnosis seseorang terpapar Covid-19.
• Persentase Kematian Akibat Covid-19 di 21 Provinsi Ini di Bawah Rata-rata Dunia, Termasuk Jakarta
Maka dari itu, rapid test harus disertai tes lanjutan, seperti tes PCR.
"Apabila fungsi screening tersebut misalnya dites positif, harus dilanjutkan dengan tes PCR."
"Apabila rapid test-nya negatif tapi memiliki riwayat kontak dengan penderita, tentunya itu harus hati-hati dan melakukan isolasi mandiri," jelas Wiku.
• Ini Resep Sukses Bali Redam Keganasan Covid-19, Disiplin Hingga Inisiatf
Wiku mengatakan, hal yang diutamakan dalam melakukan rapid test adalah prinsip kehati-hatian.
Ia pun meminta semua fasilitas kesehatan yang menggunakan rapid test menjaga kualitasnya.
"Jadi kita semua prinsipnya harus berhati-hati."
• Polda Metro Jaya Periksa Hadi Pranoto Senin 24 Agustus 2020, Pertimbangkan Panggil Anji Lagi
"Demikian pula untuk penyelenggara rapid test, apa pun itu, fasilitas kesehatan mohon agar menjaga kualitas rapid test tersebut.
"Agar apabila digunakan dapat memberikan hasil yang optimal," pinta Wiku.
Wiku juga meminta laboratorium yang mengadakan tes polymerase chain reaction (PCR) Covid-19, juga melakukan optimalisasi dalam hasil tes.
• Tak Kunjung Jera, Pelanggar PSBB Transisi di Jakarta Timur Bakal Dihukum Jadi Asisten Petugas PPSU
Sebab, Wiku mengatakan, kenaikan pengetesan Covid-19 sangat tergantung pada kualitas laboratorium dan tenaga kesehatan.
Oleh karena itu, Wiku mengingatkan, reagen yang dimiliki harus dipastikan berkualitas baik, dan pelaksanaan tes juga dilakukan dengan protokol yang baik dan benar.
"Sambil menjaga keselamatan keamanan dari seluruh laboran yang bekerja di laboratorium."
• DAFTAR 13 Lokasi Pariwisata yang Boleh Beroperasi Selama Masa PSBB Transisi di Jakarta, Berkurang 10
"Karena seluruh petugas kesehatan ini adalah garda penting di dalam diagnosis atau identifikasi kasus," papar Wiku.
Sementara, Indikator Politik Indonesia mengeluarkan hasil survei Pemuka Opini dengan tema 'Efek Kepemimpinan dan Kelembagaan dalam Penanganan Covid-19', Kamis (20/8/2020).
Dalam survei itu, mayoritas responden menilai penggunaan rapid test sebagai identifikasi awal, dinilai kurang efektif dalam mencegah penyebaran Covid-19.
• Erick Thohir Pastikan Bahan Baku Vaksin Covid-19 dari Sinovac Tiba di Indonesia Mulai November 2020
"Mayoritas, di atas 50 persen, menyatakan rapid test tidak efektif sama sekali," ujar Direktur Eksekutif Survei Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, Kamis (20/8/2020).
Responden yang menilai rapid test tidak efektif terbagi kedua pilihan.
Sebanyak 40,8 persen responden menilai rapid test kurang efektif, sementara 16,1 persen menilai sama sekali tidak efektif.
• Tiga Gubernur Ini Dinilai Bisa Bertarung di Pilpres 2024 Jika Lolos Ujian Pandemi Covid-19
Sehingga, jika ditotal, akan tercatat 56,9 persen responden menilai rapid test tidak efektif secara keseluruhan.
"Total ada 56,9 persen elite yang menganggap rapid test ini tidak efektif," cetusnya.
Di sisi lain, Burhanuddin mengatakan hanya 3,3 persen responden saja yang menilai rapid test sangat efektif.
• Faisal Basri Prediksi Kementerian Keuangan Suatu Saat Menyerah Jadi Pemadam Kebakaran
Sedangkan 39,1 persen lainnya menilai rapid test cukup efektif untuk mengidentifikasi seseorang terserang virus atau tidak.
Adapun dalam survei kali ini, responden merupakan pemuka opini nasional dan daerah.
Total responden berjumlah 304 dan berasal dari 20 kota di Indonesia.
• Kasus Covid-19 Melonjak Lagi, DPRD Kota Bekasi: Tutup Tempat Hiburan Malam!
Mereka terdiri dari tokoh yang memiliki informasi lebih luas dibandingkan masyarakat umum tentang penanggulangan Covid-19 di Indonesia.
Mereka antara lain adalah akademisi yang menjadi rujukan media, redaktur politik dan kesehatan media, pengusaha, pengamat kesehatan, sosial dan politik, dan tokoh organisasi masyarakat.
Juga, organisasi keagamaan, LSM, dan organisasi profesi.
Berikut ini sebaran kasus Covid-19 di Indonesia per 20 Agustus 2020, dikutip Wartakotalive dari laman covid19.go.id:
DKI JAKARTA
Jumlah Kasus: 31.610 (21.1%)
JAWA TIMUR
Jumlah Kasus: 29.257 (20.0%)
JAWA TENGAH
Jumlah Kasus: 12.092 (8.3%)
SULAWESI SELATAN
Jumlah Kasus: 11.278 (7.9%)
JAWA BARAT
Jumlah Kasus: 8.988 (6.2%)
KALIMANTAN SELATAN
Jumlah Kasus: 7.544 (5.1%)
SUMATERA UTARA
Jumlah Kasus: 5.957 (4.1%)
BALI
Jumlah Kasus: 4.292 (2.9%)
SUMATERA SELATAN
Jumlah Kasus: 3.988 (2.8%)
PAPUA
Jumlah Kasus: 3.520 (2.5%)
SULAWESI UTARA
Jumlah Kasus: 3.401 (2.4%)
KALIMANTAN TIMUR
Jumlah Kasus: 2.697 (1.7%)
NUSA TENGGARA BARAT
Jumlah Kasus: 2.526 (1.7%)
BANTEN
Jumlah Kasus: 2.434 (1.6%)
KALIMANTAN TENGAH
Jumlah Kasus: 2.291 (1.6%)
GORONTALO
Jumlah Kasus: 1.875 (1.2%)
MALUKU UTARA
Jumlah Kasus: 1.761 (1.2%)
MALUKU
Jumlah Kasus: 1.611 (1.1%)
SUMATERA BARAT
Jumlah Kasus: 1.483 (1.0%)
SULAWESI TENGGARA
Jumlah Kasus: 1.277 (0.9%)
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Jumlah Kasus: 1.138 (0.7%)
ACEH
Jumlah Kasus: 1.137 (0.6%)
RIAU
Jumlah Kasus: 1.097 (0.7%)
KEPULAUAN RIAU
Jumlah Kasus: 680 (0.5%)
PAPUA BARAT
Jumlah Kasus: 640 (0.4%)
KALIMANTAN BARAT
Jumlah Kasus: 471 (0.3%)
LAMPUNG
Jumlah Kasus: 352 (0.2%)
KALIMANTAN UTARA
Jumlah Kasus: 337 (0.2%)
SULAWESI BARAT
Jumlah Kasus: 323 (0.2%)
BENGKULU
Jumlah Kasus: 286 (0.2%)
JAMBI
Jumlah Kasus: 250 (0.2%)
SULAWESI TENGAH
Jumlah Kasus: 233 (0.2%)
KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
Jumlah Kasus: 220 (0.2%)
NUSA TENGGARA TIMUR
Jumlah Kasus: 165 (0.1%). (Reza Deni)