24 Tahun Tanpa Kejelasan, Pengacara Soerjadi dan Buttu Hutapea Minta Kasus 27 Juli Dituntaskan
Paskalis Pieter, mantan kuasa hukum almarhum Soerjadi dan Buttu Hutapea, meminta pemerintah segera menuntaskan kasus 27 Juli 1996.
WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Paskalis Pieter, mantan kuasa hukum almarhum Soerjadi dan Buttu Hutapea, meminta pemerintah segera menuntaskan kasus 27 Juli 1996.
Tujuannya, agar tidak membawa preseden buruk bagi penegakan hukum dan demokrasi di Indonesia.
“24 tahun berlalu, kasus 27 Juli tidak menunjukkan kejelasan penuntasan dan lambat laun akan menjadi kuda tuli," kata Paskalis lewat keterangan tertulis, Senin (27/7/2020).
• 6.051 Warga Positif di Bulan Juli, Anies Baswedan: Jakarta Tidak Tangani Covid-19 Setengah-setengah
Menurutnya, kasus 27 Juli merupakan kasus pelanggaran hukum, hak asasi manusia, dan demokrasi yang terbesar di era Soeharto.
Ekses Kasus 27 Juli pun telah memakan korban jiwa dan materi yang tak ternilai.
Ia pun menyebut, almarhum Soerjadi dan Buttu Hutapea pada 20 tahun silam telah diperiksa dan ditahan penyidik Mabes Polri, tetapi tidak jelas nasib hukumnya sampai meninggal.
• Bantu Modal Kerja, Jokowi Penasaran Pedagang Es Batu Bisa Dapat Omzet Rp 1 Juta per Hari
“Pemeriksaan dan penahanan terhadap kedua tokoh ini pun sarat dengan muatan politis ketimbang hukum."
"Padahal, secara yuridis, Soerjadi Cs tidak dalam kapasitas sebagaimana dituduhkan oleh Mabes Polri,” paparnya.
Paskalis menyayangkan seseorang ditahan tanpa sebuah proses hukum atau pertanggungjawaban yang tidak jelas.
• Masih Yakin Harun Masiku Ada di Indonesia, KPK Belum Niat Ajukan Red Notice ke Interpol
“Penahanan Drs Soerjadi dan Buttu Hutapea tidak diikuti dengan proses peradilan terhadap kedua tokoh ini secara jelas, telah membawa implikasi terjadinya pelanggaran hukum dan hak asasi manusia,” papar Paskalis.
Kasus yang saat ini sudah memasuki usia 24 tahun, kata Paskalis, selalu berbicara dan diperingati masyarakat umum dari tahun ke tahun.
“Pendapat umum mengatakan bahwa yang menjadi dalang kasus 27 Juli atau yang dikenal dengan penyerbuan Kantor DPP PDI pada waktu itu adalah keterlibatan militer Orba."
• Jawab Tuduhan Dinasti Politik, Gibran: Yang Diributkan Itu-itu Saja
"Tuduhan yang diarahkan kepada kelompok Soerjadi atau PDI dalam penyerbuan Kantor DPP PDI pada waktu itu adalah tidak beralasan dan merupakan pemutarbalikan fakta,” sambungnya.
23 tahun lalu, Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli menjadi tonggal reformasi politik dan sistem demokrasi di Indonesia. Inilah kronologi lengkap peristiwa yang mencekam itu.
Hari ini, 23 tahun lalu terjadi peristiwa mencekam yang mencoreng Indonesia.
• Baru Tahu Demokrat Tak Punya Kursi di DPRD Solo, PKS Belum Dapatkan Lawan Gibran
Sabtu pagi, 27 Juli 1996, terjadi peristiwa mengerikan, Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli atau biasa dikenal juga dengan sebutan kudatuli.
Peristiwa kudatuli sekaligus menjadi tonggak awal reformasi di Indonesia.
Pada hari itu, terjadi peristiwa "Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli" atau Kudatuli meletus berawal dari peristiwa di Kantor DPP PDI, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat.
• Berkoalisi dengan PDIP di Mataram dan Serang, Presiden PKS Bilang Pernyataan Djarot Tak Realistis
Kala itu, terjadi pengambilalihan paksa Kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jakarta Pusat oleh massa pendukung Soerjadi.
Kejadian ini ditengarai karena tidak terimanya kelompok pendukung Soerjadi (PDI Kongres Medan) dengan keputusan Kongres Jakarta yang memenangkan Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum.
Harian Kompas, 23 Juli 1993, memberitakan, Soerjadi secara aklamasi terpilih menjadi Ketua Umum PDI sekaligus menjadi ketua formatur penyusunan komposisi DPP.
• BREAKING NEWS: Polisi Simpulkan Yodi Prabowo Diduga Kuat Meninggal karena Bunuh Diri
Namun, Soerjadi disebut terlibat dalam penculikan kader sehingga PDI mengadakan Kongres Luar Biasa (KLB) di Surabaya.
Dalam kongres itu, Megawati dinyatakan sebagai Ketua Umum PDI.
Selanjutnya, diadakan Musyawarah Nasional (Munas) di Jakarta pada 22 Desember 1993 yang akhirnya menetapkan Megawati sebagai ketua umum untuk kepengurusan 1993-1998.
• Rekaman CCTV Tunjukkan Yodi Prabowo Cuma Butuh 8 Menit untuk Beli Pisau di Ace Hardware
Sedangkan Soerjadi terpilih berdasarkan hasil Kongres Medan pada 22 Juni 1996 untuk periode 1996-1998.
Menurut Kepala Staf Sosial Politik ABRI Letjen Syarwan Hamid, pemerintah mengakui DPP PDI hasil Kongres Medan.
Dengan demikian, pemerintah tidak mengakui adanya DPP PDI pimpinan Megawati.
• Yodi Prabowo Diduga Kuat Bunuh Diri, Polisi Tetap Membuka Diri Jika Ada Informasi Lain
Namun, dukungan untuk Megawati mengalir, terutama dari aktivis dan mahasiswa yang menentang rezim Soeharto.
Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro menjadi salah satu lokasi utama untuk pemberian dukungan kepada Megawati.
Berbagai upaya penyelesaian sengketa tidak berhasil hingga akhirnya terjadilah bentrokan pada Sabtu, 27 Juli 1996.
Kronologi
1. Seperti dikutip dari Harian Kompas, 29 Juli 1996, bentrokan diawali saat massa PDI pendukung Soerjadi mulai berdatangan pada pukul 06.20 WIB.
2. Massa pendukung Soerjadi saat itu mengenakan kaus berwarna merah bertuliskan "DPP PDI Pendukung Kongres Medan" serta ikat kepala.
3. Mereka datang dengan menggunakan delapan kendaraan truk mini bercat kuning.
4. Sebelumnya, massa melakukan dialog dengan massa pendukung Megawati yang meminta agar kantor dinyatakan status quo.
5. Kesepakatan tidak tercapai. Setelah itu, pada 06.35 WIB, terjadi bentrokan antara kedua kubu.
6. Massa pendukung Soerjadi melempari Kantor DPP PDI dengan batu dan paving block.
7. Massa pendukung Megawati pun membalas dengan benda seadanya di sekitar halaman kantor. Kemudian, mereka berlindung di dalam gedung kantor sebelum akhirnya diduduki massa pendukung Soerjadi.
8. Tepat pukul 08.00 WIB, aparat kemanan mengambil alih dan menguasai Kantor DPP PDI. Sebelumnya, bangunan kantor dikuasai oleh massa pendukung Megawati sejak awal Juni 1996.
9. Selanjutnya, Kantor DPP PDI dinyatakan sebagai area tertutup dan tidak dapat dilewati. Bahkan, pers tidak diperkenankan melewati garis polisi.
Kantor DPP PDI juga dijaga pasukan anti huru-hara.
10. Pada pukul 08.45 WIB, aparat mulai mengangkut sekitar 50 warga pendukung Megawati yang tertahan di kantor dengan menggunakan tiga buah truk.
Sementara, 9 orang lainnya diangkut dengan dua mobil ambulans.
11. Selepas itu, pada pukul 11.00 WIB, massa yang memadati ruas Jalan Diponegoro dan sekitarnya terus membengkak dari ratusan orang menjadi ribuan.
12. Sejumlah aktivis LSM serta mahasiswa menggelar aksi mimbar bebas di bawah jembatan layang kereta api, di dekat Stasiun Cikini.
13. Mimbar ini lalu beralih ke Jalan Diponegoro dan dengan cepat berubah menjadi bentrokan dengan aparat keamanan.
14. Bentrokan terbuka akhirnya meningkat pada pukul 13.00 WIB, yang membuat aparat menambah kekuatan.
15. Kemudian, massa terdesak mundur ke arah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan Jalan Salemba.
16. Dua jam setelahnya, massa mulai membakar tiga bus kota dan beberapa bus tingkat di Jalan Salemba.
Mereka juga membakar beberapa gedung yang ada di Jalan Salemba.
Merespons keadaan ini, aparat mendatangkan lima buah panser, tiga kendaraan militer khusus pemadam kebakaran, 17 truk, dan sejumah kendaraan militer lainnya pada pukul 16.35 WIB.
Setelah itu, massa membubarkan diri dan akhirnya pada pukul 19.00 WIB, api berhasil dipadamkan.
Setelah kejadian, sebanyak 171 orang ditangkap karena melakukan pengerusakan dan pembakaran.
Dari jumlah tersebut, 146 orang di antarnya merupakan massa pendukung Megawati dan oknum lain.
Sementara, 25 orang merupakan massa pro-Soerjadi.
Kerusuhan hari itu mengakibatkan 22 bangunan rusak yang terdiri seperti Gedung Persit Chandra Kartika milik Angkatan Darat lalu Bank Kesawan dan Bank Exim.
Massa juga membakar bangunan lain seperti Bank Swarsarindo Internasional, Show Room Toyota, Bank Mayapada, dan gedung Departeman Pertanian.
Kerusuhan juga mengakibatkan terbakarnya 91 kendaraan, termasuk lima bus kota dan 30 kendaraan yang ada di ruang pameran, serta dua sepeda motor. (Seno Tri Sulistiyono)