Jalur Sepeda
Pajak Sepeda, Plombir, dan Kenangan Dikejar-kejar Tramtib Saat Razia Pajak Sepeda
Wacana pengenaan pajak sepeda ramai dibicarakan seiring meningkatnya animo warga Ibu Kota menggunakan sepeda sebagai sarana olahraga dan transportasi.
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Wacana pengenaan pajak sepeda ramai dibicarakan seiring meningkatnya animo warga Ibu Kota menggunakan sepeda sebagai sarana olahraga.
Kementerian Perhubungan sendiri tengah menggodok aturan untuk menjamin keselamatan para pengguna sepeda.
"Tidak benar kalau Kemenhub sedang menyiapkan regulasi terkait pajak sepeda. Wacana regulasi yang akan dibuat adalah untuk mengatur sisi keselamatan pengguna sepeda," kata Juru Bicara Kemenhub Adita Irawati dalam keterangan tertulisnya, Selasa (30/6/2020).
• Kemenhub Luruskan soal Isu Pajak Sepeda, Jubir: Kami Hanya Mau Atur Keselamatan Bersepeda
Sebelumnya, Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setiyadi menilai bahwa penggunaan sepeda perlu diatur mengingat kegiatan bersepeda semakin marak akibat pandemi Covid-19.
Berbicara tentang pajak sepeda, ingatan terlempar ke masa beberapa tahun silam saat pajak sepeda diterapkan di sejumlah daerah di Indonesia, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Warisan kolonial
Penerapan pajak sepeda sudah ada sejak masa pemerintahan kolonial.
• Kemenhub Bantah akan Kenakan Pajak Sepeda, Namun Siapkan Regulasi Mendukung Keselamatan Pesepeda
Melansir Kompas.com, 19 Maret 2012, pajak sepeda di Indonesia telah ada sejak masa pemerintahan kolonial dan dilanjutkan pada masa pemerintahan Jepang atau hingga awal kemerdekaan.
Bahkan, aturan soal pajak ini semakin ketat saat masa pendudukan Jepang.
• Pajak Sepeda Bakal Dipungut, Kemenhub Buka Wacana Pesepeda Bayar Pajak
Warga yang terlambat membayar pajak akan dikenai denda.
Pemerintah pendudukan Jepang pun seringkali mengingatkan masyarakat melalui pengumuman pada koran agar para pemilik sepeda dan kendaraan lain segera membayar pajak.
Bagi warga Jakarta dan sekitarnya, pengumuman tersebut dimuat dalam koran Asia Raya.
Berikut adalah contoh pengumumannya:
Jakarta Tokubetsu Shichoo mempermaklumkan bahwa: Pajak sepeda buat tahun 1945, banyaknya f 1, -atau f 0,75 harus dilunasi sebelum tanggal 1 bulan 3 tahun 1945;
Kini kepada mereka yang bersangkutan diberikan kesempatan untuk membayar pajak itu pada tiap-tiap hari kerja;
a. Di Kantor Bendahara Jakarta Tokubetsu Shi, Kebon Sirih No. 22 dari jam 9.30 -1.30 siang, kecuali hari Kamis dari jam 9.30 -12 (mulai tangal 16 sehingga 29 bulan 2 juga dari jam 4 -7 sore).
b. Di Kantor Kesehatan Kota, Jalan Kanna no. 10 dan di pasar-pasar: Jatinegara, Senen, Sawah Besar, Glodok dan di Tanah Abang dari jam 9.30 -1.30 ada kesempatan untuk membayar pajak itu. Tapi kesempatan untuk membayar ditempat-tempat tersebut hanya diadakan selama bulan Januari 1945. Sepeda harus dibawa.
Selain itu, disebutkan pula bahwa pemasangan tanda-tanda pajak tersebut dapat pula dilakukan di sekolah-sekolah, kantor-kantor perusahaan maupun tempat lain dengan syarat jumlah sepeda paling sedikit 50 dan uang pajak dibayar terlebih dahulu.
Pemasangan peneng
Adapun pembayaran pajak sepeda yang dilakukan setelah tenggat waktu akan ditambah sebesar 20 persen.
Akan tetapi, jumlah tambahan tersebut paling banyak pada f 1, untuk tiap-tiap kendaraan. Harga penerapan pajak f 1, -atau f 0,75 bergantung pada domisili pesepeda.

Selain itu, juga dibedakan dari segi kepemilikan, antara anak-anak sekolah hingga para pekerja.
Pajak sepeda f 0,75 hanya diberikan untuk sepeda-sepeda anak sekolah yang menurut daftar sekolah (dengan surat keterangan Kepala Sekolah) tercatat sebagai anak kedua atau selanjutnya dari suatu keluarga.
• Lagi, Pesepeda Meninggal Mendadak di Jalanan, Ini Tips dan Video Latihan Bersepeda dengan Aman
Penerapan pajak juga bergantung pada bahan sepeda, seperti ban yang dipakai. Untuk sepeda yang telah dibajar pajaknya, akan diberi "peneng".
Melansir Kompas.com, 22 Juni 2020, peneng berwujud lempengan besi/emblem yang dipasang di sepeda, sebagai penanda bahwa sepeda tersebut telah tedaftar sebagai objek pajak.
Tanpa peneng, pesepeda akan dikenakan denda jika terjaring razia.
Disebut plombir
Setelah Indonesia merdeka, pajak sepeda tidak langsung dicabut.
Sejumlah daerah masih memberlakukan pajak ini hingga tahun 1980-1990-an.
Pajak tersebut dikenal juga dengan sebutan "plombir".

Beberapa daerah tersebut di antaranya adalah Yogyakarta, Kudus, Kediri, Banyuwangi, Malang, dan Bandung.
Misalnya, di Yogyakarta, mengutip Harian Kompas, 12 Februari 1970, Pemerintah Daerah Yogyakarta mengeluarkan kartu kendaraan tidak bermotor.
• Jumlah Pengguna Meningkat, Pemprov DKI Berharap Sepeda Dijadikan Alat Transportasi
Meskipun kartu tersebut tercetak tahun 1964, tetapi digunakan sebagai pajak sepeda tahun 1969. Kemudian, pemungutan pajaknya dilakukan pada awal Februari 1970.
Para RT dan RK dalam wilayah pun melakukan penagihan pajak sepeda dengan mendatangi rumah-rumah penduduk.
Jumlah sepeda di tiap rumah dikontrol dan dikenakan biaya sebesar Rp 50,- untuk masing-masing sepeda.
• Diskusi Menggugat Negara Atas Hak Rasa Aman bagi Pesepeda di Jalan Raya Diserang Hacker
Melansir Harian Kompas, 2 Agustus 1974, pemilik sepeda di Bandung juga masih harus membayar peneng sepeda dua kali dalam setahun, masing-masing Rp 50,-.
Dikejar Tramtib
Cahyo Prakoso, Manajer Building Management di Kompas Gramedia Property mengenang masa-masa kecilnya saat bersepeda dipenuhi rasa was-was akan razia sepeda di Malang.
Saat itu tahun 1973-1976 ketika masih bersekolah SD, Cahyo sering menyaksikan razia sepeda di seputaran Alun-alun Kota Malang.
"Waktu itu ke sekolah pakai sepeda almarhum bapak, kalau dikasih tahu ada cegatan atau razia peneng paling takut. Orang-orang kotamadya berjaga di sekitar Alun-alun dan mengejar-ngejar sepeda yang tidak ada penengnya," tuturnya sambil tertawa.

Cahyo yang masih aktif bersepeda dari rumah ke kantor mengatakan, sepeda yang tidak dilengkapi peneng diminta membayar sekitar Rp 70 sesuai nilai pajak sepeda saat itu.
Kalau tidak bisa membayar, sepeda ditahan. Mirip razia sepeda motor masa kini.
Anggota Kompas Gramedia Cyclist itu menambahkan, suasana was-was akan razia sepeda itu tergambar di jalan-jalan yang dipenuhi sepeda.

Mobil dan motor masih sangat sedikit karena termasuk barang mewah yang hanya terjangkau kalangan tertentu.
Adapun nilai pajak sepeda tergolong besar bagi sebagian warga saat itu sehingga banyak juga sepeda yang tak berpeneng dan dihinggapi rasa was-was di perjalanan seputar kota.
"Jadi setiap mau jalan itu ada perasaan was-was dan saling mengingatkan kalau ada cegatan di jalan ini itu. Ya, mirip-mirip razia kendaraan bermotor jaman sekarang inilah," tuturnya.
Seingat Cahyo, tidak ada penjelasan atau sosialisasi mengenai pemanfaatan dana yang didapat dari pajak sepeda atau peneng itu.