Info Balitbang Kemenag

Pemerintah Kurang Perhatikan Layanan Pendidikan Anak Mantan Narapidana Terorisme

Kemenag perlu bekerja sama merancang dan menyediakan layanan pendidikan yang tepat bagi anak-anak narapidana dan mantan narapidana kasus terorisme.

Penulis: Hironimus Rama | Editor: Ichwan Chasani
Kompas.com/Kristianto Purnomo
SUASANA di dalam Mako Brimob Kelapa Dua, Kota Depok pasca-kerusuhan yang dilakukan narapidana terorisme, Kamis (10/5/2018). Sebanyak 145 narapidana terorisme yang menguasai Rutan Cabang Salemba Mako Brimob Depok menyerahkan diri setelah dilakukan operasi Polri. 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA — Pada pertengahan 2018 lalu, sejumlah serangan teror kembali terjadi di Tanah Air.

Sebut saja, serangan  kelompok tahanan teroris di rumah tahanan Markas Komando Brigade Mobil (Mako Brimob) Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat; serangan bom di tiga gereja Kristen di Surabaya; ledakan di sebuah apartemen di Sidoarjo; dan penyerangan Markas Kepolisian Resor Kota Besar (Mapolrestabes) Surabaya.

Lalu ada penyerangan Markas Kepolisian Daerah (Mapolda) Provinsi Riau di Pekanbaru; dan penyerangan Mapolres Indramayu. Rangkaian serangan teroris tersebut menewaskan 41 orang dan melukai sedikitnya 63 orang.

Fenomena yang mengejutkan publik dalam serangan teroris pada 2018 adalah keterlibatan keluarga sebagai pelaku bom bunuh diri, dengan melibatkan anggota keluarga yang masih anak-anak.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyebutkan bahwa berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tahun 2018 ada 500 orang teroris yang ditahan.

Terpidana Kasus Terorisme Umar Patek: Anak Muda Jangan Belajar Agama Hanya dari Internet

Jumlah anak dari 500 narapidana terorisme itu mencapai 1.800 anak. Belum lagi anak-anak mantan narapidana terorisme yang telah selesai menjalani hukumannya, yang tidak terdata secara baik (Prabowo 2019).

Pemerintah, melalui sejumlah kementerian, telah mengemukakan rencana untuk mendukung pembiayaan bagi pendidikan anak-anak pelaku terorisme (Sukmana 2018; Wibowo dan Florentin 2018). Namun, sampai dengan saat ini belum ada informasi seperti apa realisasi dari rencana pemerintah tersebut.

Layanan Pendidikan bagi Anak Mantan Narapidana Terorisme

Untuk memperoleh gambaran tentang kondisi layanan pendidikan yang diterima anak-anak dari mantan narapidana terorisme, Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta melakukan studi kasus terhadap 9 keluarga mantan pelaku tindak pidana terorisme di empat wilayah kabupaten dan kota di Jawa Barat dan Banten pada 2019 lalu.

Penelitian ini menemukan fakta bahwa anak-anak dari mantan narapidana terorisme umumnya memperoleh layanan pendidikan agama di lembaga pendidikan umum dan keagamaan yang tidak berafiliasi dengan kelompok atau jaringan ektremisme kekerasan dan terorisme.

Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan para mantan narapidana terorisme dalam mencari layanan pendidikan bagi anak mereka adalah porsi pendidikan agama yang lebih besar, tersedianya program hafalan (tahfiz) al-Quran, biaya terjangkau dan kemudahan akses.

Abu Rara Terdakwa Kasus Penusukan Wiranto Menolak Dituntut Tindak Pidana Terorisme, Ini Alasannya

Untuk kasus di mana pemilihan sekolah masih kuat dipengaruhi oleh ikatan dengan sesama mantan narapidana terorisme, pertimbangan jarak menjadi tidak terlalu penting.

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa belum terlihat peran pemerintah, baik Kementerian Agama maupun Dinas Pendidikan, dalam memberikan layanan bimbingan dan penyuluhan agama, maupun layanan pendidikan (termasuk pendidikan agama) bagi para mantan narapidana terorisme.

Baik pejabat struktural Kementerian Agama maupun pejabat fungsional, seperti penyuluh agama, bahkan mengaku tidak mengetahui jika di wilayah tugasnya terdapat mantan narapidana kasus terorisme.

Pihak Kementerian Agama menunjuk problem koordinasi dengan instansi terkait, baik kepolisian maupun lembaga permasyarakatan, sebagai penyebab utama ketidaktahuan terkait keberadaan mantan narapidana terorisme.

Sebagian lainnya mengaku tidak pernah mendapat pelatihan terkait pencegahan maupun penanggulangan terorisme.

Deradikalisasi

Absennya peran pemerintah mengakibatkan para mantan narapidana terorisme umumnya mencari sendiri layanan pendidikan untuk anak-anak mereka.

Dalam kasus masih kuatnya ikatan dengan kelompok-kelompok radikal dan ekstremis kekerasan, pilihan layanan pendidikan cenderung akan jatuh pada lembaga-lembaga pendidikan yang masih memiliki orientasi radikal atau ekstrem.

Pilihan mantan narapidana terorisme pada layanan pendidikan yang disediakan oleh lembaga-lembaga pendidikan yang tidak berafiliasi dengan kelompok radikal atau ekstrem memperlihatkan sejauh mana tingkat perubahan atau de-radikalisasi dialami para mantan narapidana terorisme.

Sebagian besar atau hampir seluruh kasus memperlihatkan proses deradikalisasi para mantan narapidana terorisme cenderung terjadi tanpa dukungan kuat dari intervensi pemerintah, melainkan terjadi karena dukungan dan ikatan positif yang terjalin dengan keluarga.

Penyesalan yang dikemukan sebagian mantan narapidana terorisme adalah terutama terkait dampak negatif keterlibatan mereka dalam aksi terorisme yang menimpa keluarganya.

Dampak psikologis yang dirasakan orang-orang terdekat mereka, baik orang tua maupun anak-anak mereka, tampaknya menjadi penggerak utama pelaku meninggalkan jalan kekerasan.

Hal ini sejalan dengan temuan studi Altier et al. (2014) bahwa ikatan positif dengan anggota keluarga yang tidak memiliki pandangan ekstrem dapat menyebabkan orang-orang radikal memikirkan ulang keyakinan mereka.

Dukungan dari pihak keluarga tampaknya menjadi faktor penting lain yang mendorong proses de-radikalisasi pada diri pelaku.

VIDEO: Penusuk Wiranto Menolak Dituntut dengan Pasal Tindak Pidana Terorisme

Pentingnya dukungan keluarga bagi proses de-radikalisasi juga ditemukan dalam studi Jacobson (2008), Bjørgo dan Horgan (2009), dan Sikkens et al. (2017).

Kesulitan finansial

Meski sebagian mantan narapidana terorisme mampu menuju perubahan positif tanpa dukungan pemerintah, namun sebagian besar dari mereka terlihat jelas mengalami kesulitan dari segi finansial dan mata pencarian.

Jika kebutuhan dasar mereka tidak terpenuhi, dan pengaruh kelompok-kelompok ‘lama’ terhadap mereka lebih kuat dari kelompok-kelompok alternatif yang akan mendorong pada perubahan positif, tidak mustahil mereka akan kembali terekrut ke dalam kelompok atau jaringan ekstremisme kekerasan dan terorisme.

Hal lain yang juga penting dicatat ialah kendati sebagian besar anak-anak dari mantan narapidana terorisme yang dikaji dalam studi ini tidak bersekolah di lembaga-lembaga pendidikan yang berhaluan ekstrem atau memiliki afiliasi dengan jaringan ekstremisme kekerasan, tidak ada penanganan khusus trauma yang dialami anak-anak pada saat terjadi penangkapan pelaku dan kawan-kawannya maupun penanganan dampak psikologis akibat perlakuan negatif lingkungan terhadap anak-anak dan keluarga pelaku.

Selain itu, perlu dicatat pula bahwa meski sebagian pelaku secara eksplisit menyatakan penyesalan atas keterlibatannya dalam aksi terorisme, mereka tidak secara terbuka memberikan penjelasan kepada anak-anaknya bahwa apa yang ia lakukan atau aksi-aksi teror yang dilakukan pelaku lain adalah sebuah kekeliruan.

Apakah hal tersebut menjadi satu titik penting yang akan memengaruhi keterlibatan anak-anaknya dalam kelompok atau aksi ekstremisme kekerasan di masa mendatang, masih perlu dibuktikan dengan berjalannya waktu.

Cegah Terorisme dan Radikalisme, TPDI Minta Polisi Ungkap Tuntas Kasus Temuan Bahan Peledak di NTT

Rekomendasi

Dengan mengacu pada fakta-fakta ini, Tim Peneliti Bidang Pendidikan Balai Litbang Agama Jakarta  memberikan beberapa rekomendasi.

Pertama, Kementerian Agama perlu menjalin kerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Detasemen Khusus 88/Anti-Teror Kepolisian RI dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme untuk merancang dan menyediakan layanan pendidikan yang tepat bagi anak-anak dari narapidana dan mantan narapidana kasus terorisme.

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Kementerian Agama dapat menunjuk atau bekerja sama dengan lembaga-lembaga pendidikan yang memiliki kompetensi dan tersertifikasi untuk menyediakan layanan pendidikan khusus bagi anak-anak dari narapidana dan mantan narapidana kasus terorisme.

Kedua, Kementerian Agama perlu menjalin kerja sama dengan pihak Kementerian Hukum dan HAM, Kepolisian RI dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, untuk merancang dan menyediakan layanan bimbingan dan penyuluhan agama bagi narapidana kasus terorisme.

Untuk memenuhi kebutuhan ini, Kementerian Agama juga perlu menyiapkan tenaga-tenaga penyuluh yang memiliki kompetensi dan tersertifikasi untuk melakukan tugas bimbingan dan penyuluhan agama kepada narapidana kasus terorisme dan keluarganya.

Ketiga, Kementerian Agama perlu meningkatkan koordinasi dengan aparat kepolisian dan lembaga pemasyarakatan terkait pemulangan narapidana terorisme setelah selesai menjalani masukan.

Hal itu agar dapat dibuat rencana aksi bersama terkait pembinaan kepada mantan narapidana teorisme menjelang atau setelah mereka kembali ke masyarakat. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved